Marina hanya bisa menunduk sedih sambil menangis saat sang ayah memarahinya ketika mengetahui bahwa ia menyerempet seseorang dengan mobilnya.
“Kamu tuh coba sesekali, otaknya dipakai! Fokus! Sudah umur berapa sih?! Apapun yang kamu lakukan selalu ceroboh!” tegur Pak Herman kesal walau nada suaranya terdengar rendah. Suasana makan malam di rumah itu tampak tak menyenangkan karena kabar tak mengenakan itu.
Marina menghapus air matanya kasar dan menatap Geno kesal. Walau ia tahu, bahwa cepat atau lambat sang ayah akan mengetahui tentang kecelakaan itu tapi hatinya masih ingin menyalahkan Geno yang seolah tak membelanya di depan sang ayah. Untuk Marina, Pria itu minim simpati.
Malam itu hanya ada empat orang dimeja makan. Marina, pak Herman, Geno dan Linda. Walau sudah menikah, Linda tak ingin pindah dari kediaman orangtuanya. Dewo saat itu belum pulang, sedangkan Geno sengaja datang karena disuruh memberikan laporan tentang kecelakaan Marina. Tentu saja itu menjadi kesempatan Geno untuk bisa bertemu Marina kembali. Ia hanya ingin memastikan bahwa kejadiannya bersama Marina tak akan membuat pak Herman marah.
Tak lama pak Herman memutuskan untuk meninggalkan meja makan untuk istirahat. Sedangkan Linda mengajak Geno untuk bersantai sambil menikmati hidangan penutup di samping kolam renang.
“Aku harus bicara dengan Marina dulu, Lin,” tolak Geno halus.
“Dari tadi siang kita sudah bicara, mau bicara apa lagi sih?” ucap Marina kesal.
“Mau bicarakan soal kamu mabuk dan akhirnya make out sama Geno,” celetuk Linda sedikit mengejek sambil tersenyum jail.
Wajah Marina terlihat memerah karena malu dan marah pada Geno.
“Kenapa gak bahas sekalian juga soal kalian berdua yang berselingkuh dibelakang mas Dewo?!” ucap Marina geram membalas ejekan Linda. Sejak sang ibu meninggal, Linda selalu menyalahkan Marina dan bersikap tak bersahabat padanya. Linda selalu senang membuat Marina menangis seolah melampiaskan kemarahannya atas kematian sang ibu.
“Kamu?!” pekik Linda tiba-tiba marah karena Marina mengetahui kenakalan Linda dan Geno.
“Sudah diam!” ucap Geno cepat sebelum adik kakak itu kembali seperti anjing dan kucing.
“Berikan aku waktu bicara Mar, kita harus bicara serius berdua…,” pinta Geno dengan suara lembut berharap Marina melunakkan hatinya.
“Bicara apa lagi?! Kamu tak perlu menikahi gara-gara hal kemarin,” ucap Marina cepat, rasanya ia ingin segera berdiri meninggalkan meja makan.
“Tentu saja Geno gak perlu nikahin kamu, wong kamu sendiri yang memancing drama dengan memabukkan diri. Laki-laki dikasih daging segar gitu mana bisa nolak?!” cibir Linda sambil menghabiskan makanannya.
Mata Marina membulat, tangannya terkepal kesal sekaligus panik karena ia seperti diposisi yang salah.
“Tapi tetap saja mas Geno seharusnya tak memanfaatkan aku!”
“Lagian kamu ngapain juga sih begitu? Merasa apa yang dilakukan Dea adalah trik yang bagus untuk menjebak seseorang agar bisa dinikahi, jadi kamu meniru begitu?”
“Udah dong, Lin!” ucap Geno gusar karena Linda terus mengganggu perasaan sang adik.
Mata Marina berkaca-kaca saat mendengar ucapan Linda.
“Ayo kita bicara di tempat lain,” ajak Geno melembut saat melihat Marina tampak terpojok.
“Aku gak mau! Sudah ya mas, aku istirahat dulu,” pamit Marina dengan suara pelan, ia tak ingin Linda melihat air matanya jatuh. Geno ikut berdiri dan mengikuti langkah Marina lalu menahan pintu agar Marina tak masuk ke dalam kamar.
“Sudah, tak usah dipikirkan ucapan Linda, kamu tahu sendiri kan kakak kamu itu memang sarkas,” bujuk Geno kasihan pada Marina yang tampak seperti orang linglung. Bagaimanapun kondisi mentalnya saat ini kurang stabil karena kegagalan pernikahannya.
“Udah ya mas, aku mau istirahat dulu. Aku cape. Tenang saja, kali ini aku tak akan kemana-mana. Aku sendiri takut pada diriku sendiri. Apapun yang aku lakukan saat ini akhirnya berujung salah.”
Mendengar ucapan Marina, spontan Geno menarik perempuan itu ke dalam pelukannya. Merasakan dipeluk dengan hangat membuat airmata Marina kembali tumpah. Saat ini ia benar-benar membutuhkan teman tapi tak ada yang mau menemaninya. Hanya Geno yang saat ini mau menawarkan bahunya sebagai tempat Marina untuk menangis.
Geno menepuk- nepuk punggung Marina lembut. Ia tak tahu mengapa ia spontan memeluk perempuan ini. Padahal sebenarnya mereka tidak pernah dekat tapi keadaan seolah memaksa dirinya dan Marina untuk saling berbicara.
Selesai mengantar Marina ke kamar, Geno kembali ke ruang keluarga di kediaman pak Herman. Ia melihat Linda tengah asik duduk menemani sang suami Dewo sambil sesekali berciuman mesra. Geno hanya tersenyum dan melambaikan tangannya saat Dewo melihat dan memanggilnya untuk duduk bersama.
“Baru pulang mas?” tanya Geno basa-basi sembari duduk bergabung dengan suami istri itu.
“Gimana? Jadi mau nikahin Marina?” ucap Dewo balik bertanya sambil melonggarkan dasi dan mengeluarkan kemejanya dari dalam celana agar lebih santai. Sedangkan Geno hanya diam.
“Apaan sih kamu mas? Nanya kok nodong gitu?” ucap Linda mencoba menetralisir suasana dan mengajak dua pria itu untuk merokok sambil menikmati hidangan penutup disamping kolam.
Dewo dan Geno pun setuju, mereka pun langsung berpindah tempat dan duduk sambil menyalakan rokok di kursi santai.
“Aku serius bertanya padamu Gen,” ucap Dewo sambil menyalakan rokoknya. Kali ini nada suaranya terdengar berbeda dan tampak tulus.
“Aku menikahi Linda karena aku mencintainya, terlepas ia anak siapa. Aku menikahinya dengan tulus dan sangat berharap bisa segera tambah anak sehingga rumah kami lebih ramai. Tetapi kondisi di dalam rumah ini tak seperti keluarga pada biasanya. Bukannya aku tak menyukai ayah mertuaku, bertahun-tahun menikahi Linda membuatku mengetahui wataknya.” Dewo menghembuskan asap rokoknya panjang sebelum ia menoleh dan menatap Geno dalam.
“Jika kamu ingin menikahi Marina, menikahlah dengan niat serius untuk membangun rumah tangga. Apa yang ditawarkan papi memang menggoda iman, tapi gadis di dalam itu adalah gadis baik, hanya saja ia kurang perhatian dan kasih sayang. Selain itu, menurutku sekali kamu bergabung dalam deretan kekuasaan bersama papi, kamu harus bertahan disana selamanya. Jika tidak, ia akan mengambil kembali dan menghabisi semua kemampuanmu sampai ke akar-akarnya.”
Geno tersentak mendengar ucapan Dewo. Kedua pria itu saling bertatapan sesaat. Keseriusan Dewo mengatakan hal itu membuat Geno merasa sedikit terintimidasi. Ia seolah terbaca oleh Dewo hanya mengincar kekuasaan dan harta dari pak Herman.
“Jadi itu alasan mas Dewo tak ingin bergabung di dalam perusahaan keluarga pak Herman?” tanya Geno santai. Dewo pun mengangguk tanpa ragu.
“Walau tak bisa menghasilkan sebanyak yang mereka hasilkan, tapi aku cukup bangga bisa memenuhi semua kebutuhan dan keinginan istri dan anakku. Bahkan jika Linda tak bekerja sekalipun, aku akan berusaha memenuhi semuanya, tapi bukan dari dalam perusahaan ini.”
“Papi membutuhkan penerus yang tangguh, aku pikir ia melihat itu dari kamu sehingga ia menawarkan kamu menjadi bagian dari dalam keluarga, karena tak mungkin ia memberikannya pada orang lain. Sedangkan anaknya, Linda? Walau memiliki jabatan tinggi, sifat Linda yang egois, tak sabaran dan mudah emosional akan mengaburkan keputusan yang ia buat jika ada apa-apa.”
Geno hanya diam dan membenarkan ucapan Dewo. Bukan dia yang memanfaatkan pak Herman, tapi sebaliknya. Bos besarnya itu akan menggunakannya sebagai tameng dan kepala, sedangkan pak Herman yang akan jadi lehernya untuk mengarahkannya kesana dan kemari.Jaminannya hanya satu. Marina.