Marina mengemasi barang-barang diatas meja kerjanya dan mencoba tak mengindahkan pandangan orang-orang disekitarnya. Tentu saja mereka memperhatikan Marina secara diam-diam apalagi setelah kejadian memalukan di acara pernikahan Henry dan Dea.
Marina tersenyum sinis dan tertawa sendiri. Ia dan Henry bertemu di kantor ini, cinta mereka berkembang dan dikhianati ditempat yang sama. Betapa sedih dan merasa bodohnya Marina, saat ia menyadari mungkin saja kerabat kerjanya mengetahui perselingkuhan Henry dan Dea tapi tak ada yang peduli. Saat ini pun, menurut akal sehatnya seharusnya mereka menunjukan simpati pada Marina yang tak jadi menikah, tapi apa yang ia dapatkan? Hanya pandangan ingin tahu dengan sikap Marina jika ia bertemu dengan Henry dan Dea yang mungkin saja baru pulang bulan madu.
Setelah dua minggu tak masuk untuk bekerja, akhirnya Marina memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Tentu saja ia sudah tak mampu lagi menghadapi kedua orang yang paling membuat hidupnya terasa pahit saat ini.
Masih terbayang di ingatan Marina saat pertama kali Marina masuk dan bekerja di kantor ini. Tak ada yang mengetahui bahwa ia anak orang kaya. Hanya wajahnya yang cantik yang sering membuat iri beberapa teman kerja wanitanya dan mengatakan bahwa ia mendapatkan deal besar karena ia memiliki fitur tubuh dan wajah yang bagus, soal kerjaan ia selalu dianggap biasa saja. Marina yang ceroboh berusaha berubah semakin baik setiap harinya. Kini ketika ia mendapatkan posisi yang cukup baik, semua orang tahu bahwa ia memiliki orang tua yang kaya membuatnya semakin sering direndahkan dibelakang. Wajah yang cantik, uang yang banyak dan pacar yang memiliki posisi tinggi di kantor. Marina adalah kambing yang siap diterkam oleh singa-singa lapar rasa iri.
“Marina,” panggilan seseorang membuat tubuh Marina mematung sesaat sebelum akhirnya ia kembali sibuk membereskan barang-barangnya lagi. Ia berusaha tetap tenang dan tak mempedulikan suara yang selalu memanggilnya lembut dan menenangkan. Ia bisa melihat dari sudut matanya, mata-mata teman-teman kantor yang seolah ingin tahu apa yang akan terjadi saat melihat Henry menghampiri dirinya.
“Permisi,” pinta Marina perlahan saat Henry menghalangi langkahnya untuk merapikan barangnya di sudut lain.
“Mar, kita harus bicara,” pinta Henry perlahan setengah berbisik dan tak mempedulikan pandangan orang-orang yang ingin tahu.
“Apalagi yang perlu dibicarakan mas? Semuanya sudah selesai. Tolong jangan semakin mempermalukan aku disini,” jawab Marina setengah berbisik dan terus menyelesaikan pekerjaannya.
Henry segera mengangkat box besar yang Marina tutup saat ia selesai.
“Ayo, aku antar ke mobil,” ucap Henry cepat berjalan dengan tenang melewati ruangan yang tampak hening karena ingin menyimak apa yang terjadi. Bahkan ia melewati meja Dea yang duduk dengan kikuk dengan tenang.
Perlahan Marina mengatur nafasnya agar tak terlihat bahwa ia sebenarnya kakinya terasa lemas tak mampu berjalan mengikuti Henry. Tapi ia berusaha kuat dan melangkah dengan tenang melewati semua orang.
Di dalam lift tak ada pembicaraan diantara mereka berdua. Henry terus melangkah di depan Marina dan segera mengambil kunci mobil dari tangan gadis itu cepat lalu membuka bagasi dan memasukan barang- barang Marina lalu membukakan pintu pengemudi, menyalakan mesin mobil dan menghalangi Marina saat akan masuk lalu membukakan pintu yang lain dan menyuruh Marina untuk masuk sedangkan Henry segera masuk dari pintu pengemudi.
“Kita mau kemana? Bukankah seharusnya kamu kembali keatas dan bekerja?” tanya Marina pelan saat Henry menyalakan mobil dan mengemudikannya keluar dari basement parkiran.
“Kita akan berputar-putar sebentar, aku butuh bicara denganmu.”
“Lebih baik kembali ke kantor, tak perlu kemana-mana. Jika mas mau bicara, sekarang saja.”
Henry hanya diam sesaat, tenggorokannya terasa tercekat. Sejak ia menemui keluarga Marina untuk memutuskan hubungan mereka, baru kali ini mereka berdua kembali bertemu dan berbicara.
“Maafkan aku Marina … aku salah … “ ucap Henry perlahan sambil terus menatap lurus ke arah jalan. Ia tak mampu untuk bisa menoleh dan menatap Marina secara langsung setelah apa yang telah ia lakukan pada gadis itu.
“Aku benar-benar khilaf…”
“Aku tahu.” Marina menjawab Henry cepat dan membuat Henry terdiam.
“Kamu tahu?” Henry balik bertanya tak percaya dengan ucapan Marina.
“Iya, aku tahu. Awalnya pasti kamu khilaf… karena aku telah mencoba melakukan hal yang sama denganmu mas. Tapi setelah itu apa mas? Kau terus melanjutkannya bukan?”
“Sebentar, apa maksud kamu telah melakukan hal yang sama?” tanya Henry cepat.
Marina terdiam, ia menyadari bahwa ia keceplosan dan mencoba menepis kejadian yang terjadi antara dirinya dan Geno seminggu yang lalu.
“Apa yang sudah kamu lakukan Mar?”
“Apa peduli mu dengan apa yang aku lakukan? Bukankah disini kita akan mendengar permintaan maafmu yang basa-basi itu?!”
“Aku tidak basa-basi.”
“Ya sudah. Aku sudah mendengarnya, apalagi yang harus dibicarakan?”
“Gak gitu, aku tak ingin hubungan kita berakhir seperti ini!”
“Hubungan kita sudah berakhir sejak kamu datang bersama keluargamu dan Dea! Apalagi yang mau kamu lakukan mas? Kamu mau minta aku bersikap baik padamu dan Dea seolah tak terjadi apa-apa? Atau kamu mau minta aku untuk ikhlas? Begitu?!”
“Mar … aku masih mencintaimu …”
“Untuk apa lagi sih kamu ucapkan kata-kata itu? Kamu tuh gak cinta sama aku mas! Kalau kamu cinta kamu tak akan melakukan semua ini!” isak Marina mulai menangis hatinya terluka mendengar ucapan Henry.
“Aku benar-benar seperti orang bodoh dihadapan kalian berdua! Jika memang kamu tak cinta lagi, seharusnya kamu bilang sama aku mas!”
“Aku masih mencintaimu Marina! Aku khilaf! Tapi hatiku masih untukmu!”
Diantara logika yang mengatakan bahwa Henry telah melakukan kesalahan, di hati Marina mengiyakan jika ia merasa senang mendengarkan kalimat Henry dan berharap bahwa semua ini hanya mimpi dan menginginkan kekasihnya kembali.
“Aku benar-benar khilaf dan melakukan kesalahan, tapi perasaanku tak bisa bohong kalau aku mencintaimu Marina. Andai kamu tahu betapa hancur hatiku melihatmu begitu marah dan terluka di acara itu … aku …”
“Trus apa mas? Trus kita mau apa? Kamu sudah menikah!”
“Marina… “
“Sudahlah, ayo kembali ke kantor dan turunlah disana! Tinggalkan aku! Aku benar-benar tak sanggup bersama dirimu lagi saat ini,” pinta Marina sambil menangis terisak.
“Aku masih mencintaimu Marina,” lagi-lagi Henry mengulangi ucapannya.
“Trus kita bisa apa mas? Bagaimanapun kamu sudah menikah dan ada anak yang akan lahir dari rahim Dea. Kalau kamu benar-benar mencintaiku, seharusnya kamu tak pernah melakukan itu,”
Hening. Tak ada pembicaraan lagi di antara Henry dan Marina. Betapa inginnya Henry memeluk Marina saat itu. Ketenangan Marina selalu meluluhkan perasaannya. Ia menyesal melepaskan perempuan disisinya yang selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya tapi kadang ia merasa bahwa itu hal yang membosankan sehingga tergelincir dalam hubungan yang dianggap lebih menggairahkan dan membuatnya lebih hidup.
Tak lama kemudian mobil itu berhenti di lobby kantor lalu Henry pun turun dari kursi pengemudi.
“Hubungi aku jika butuh bantuan apapun ya,” bisik Henry sambil memandangi Marina yang tengah mengenakan safety belt.
“Tenang saja, sebentar lagi aku menikah kok mas. Sudah akan ada orang lain yang akan mengurusi diriku nanti. Sudah ya, aku pamit.”
“Apa maksud kamu Mar? Marina tunggu!” Henry mencoba membuka pintu mobil Marina tapi Marina telah menguncinya dan mulai mengemudikan mobilnya perlahan meninggalkan lobby.
Di tempat lain, Geno tengah mencoba menghubungi Marina tapi perempuan itu tak pernah mau mengangkat teleponnya. Setelah kejadian malam itu, Marina cenderung menghindari Geno. Mungkin sudah ratusan miscall dan pesan ia kirim untuk Marina tetapi tak pernah ada balasan. Geno melemparkan handphonenya ke atas meja dan ingin kembali fokus pada pekerjaannya saat handphone itu berdering. Melihat nama Marina tertera disana, Geno segera mengangkatnya.
“Halo, Marina… aku…”
“Mas, tolong aku … aku rumah sakit…” potong Marina cepat. Mendengar hal itu Geno segera berdiri dan menanyakan dirumah sakit mana ia berada.
Hampir 45 menit kemudian Geno tiba dengan tergesa-gesa dan melihat Marina tengah terduduk diruang tunggu igd.
“Marina, kamu tidak apa-apa?” tanya Geno cepat sambil mencoba melihat apakah Marina terluka.
“Bukan aku … aku tak sengaja menyerempet seseorang…” ucap Marina pelan. Matanya tampak sembab dan sedih. Geno hanya bisa menatap Marina lalu menghubungi seseorang untuk membantunya menyelesaikan masalah ini.
Sejak meninggalkan kantor, Marina menangis histeris dalam mobil sehingga ia tak memperhatikan jalanan dengan baik dan tak sengaja menyerempet motor yang ada di sampingnya sehingga pengemudinya terjatuh dan sedikit terseret. Untung saja jalanan saat itu kosong dan Marina segera sadar dan menolong sang pengemudi motor itu. Marina bersyukur karena si pengemudi tak mengalami luka berarti tapi kakinya tampak bengkak dan memar karena tertimpa motornya sendiri.
Geno menghembuskan nafas lega saat mendengar sang pengemudi motor itu tak menuntut apa-apa pada Marina. Setelah bernegosiasi dan mengurus beberapa hal akhirnya ia merasa lega bisa membawa Marina pulang dan tak perlu sampai membuat laporan ke kantor polisi.
“Ayo pulang,” ajak Geno pada Marina.
“Tapi, pria itu?”
“Nanti pak Wirawan yang akan mengurusnya. Alhamdulilah dia tak ingin menuntut, aku sudah minta pak Wirawan untuk memberikannya kompensasi yang bagus untuk korban.”
Marina menunduk lalu berdiri mengikuti langkah Geno yang telah berjalan lebih dulu.
“Ikut mobilku saja, nanti biar supir kantor yang mengambil mobilmu,” ucap Geno memberikan jalan pada Marina agar melangkah lebih dulu dihadapannya.
Selama perjalanan pulang Geno sibuk menghubungi banyak orang dan tak banyak berbicara dengan Marina.
Sesampainya dirumah Marina merasa heran karena Geno ikut turun dan masuk ke dalam rumah.
“Aku istirahat dulu ya mas,” pamit Marina dengan raut wajah lemas.
“Tunggu, aku harus berbicara denganmu!”
“Aku sedang tidak mau berbicara dengan siapapun hari ini…”
“Sebentar saja Mar, kita harus bahas kejadian minggu lalu…”
“Akh, aku gak mau bahas itu!” ucap Marina sambil menutup kedua kupingnya. Ia merasa sangat malu karena terlalu mabuk dan berakhir telanjang bersama Geno.
“Stt, apa kamu membahasnya kejadian itu dengan seseorang?” tanya Geno sambil menarik tangan Marina menuju salah satu ruangan kosong di dalam rumah Marina.
“Tentu saja tidak! Mau aku bahas dengan siapa kejadian memalukan itu?!”
Geno terdiam dan memalingkan wajahnya dari pandangan Marina yang tajam. Jika Marina tak menceritakan kejadian itu pada siapapun, Geno sebaliknya. Ia menceritakan hal itu pada Linda karena ia merasa panik saat Marina tak mau dihubungi.
“Apa kamu melamun sampai kecelakaan karena memikirkan hal itu?” tanya Geno ragu, ia merasa cemas jika Marina sampai melamun karena merasa trauma dengan kejadiannya bersama Geno.
“Tentu saja tidak! Aku baru saja mengambil barang-barang dari kantor dan ada Henry disana!” jawab Marina spontan lalu terdiam karena sadar ia melakukan kesalahan. Marina merasa takut kalau Geno akan melaporkan hal ini pada sang ayah dan membuat ayahnya marah besar karena masih meladeni Henry.
“Kamu berbicara dengannya?”
“Akh, sudah! Bukan urusan mas Geno!” Marina segera berjalan menuju kamarnya.
“Marina! Kita harus bicara!” panggil Geno lagi tapi Marina malah berlari menjauh dan segera memasuki kamar lalu membanting pintu.
Bersambung.