Geno melirik ke arah Marina yang asik terus menerus mengunyah makanan yang mereka bawa dari Wonosobo selama perjalanan pulang menuju Jakarta. Geno sedikit heran dimana sisa makanan itu disimpan karena Marina terus makan tiada henti sedangkan tubuhnya terlihat rapuh dan ringkih. Bahkan sebelum ini Marina sempat tertidur sambil memegang roti yang belum sempat ia habiskan.
Geno merasa tubuhnya lelah sekali setelah menyetir selama 5 jam. Hari sudah mulai malam dan perjalanan masih ada 5 jam lagi untuk sampai ke Jakarta.
“Kita menginap semalam di Cirebon ya, tubuhku lelah sekali,” keluh Geno saat mereka memasuki kota Cirebon dan mulai mencari hotel untuk menginap.
“Sudah, biar aku saja yang nyetir,” pinta Marina cepat.
“Gak! Bagaimana aku ijinkan kamu nyetir sedangkan kemarin saja menyerempet orang,” tolak Geno langsung tanpa berpikir panjang.
“Bisa gak sih kamu berhenti makan? Sebentar lagi kita akan makan malam, aku gak mau kamu gak makan karena alasan kenyang lalu nanti di hotel minta makan tengah malam,” pinta Geno mulai pusing melihat tingkah Marina.
Marina terdiam sesaat, lalu segera merapikan makanan nya. Akhirnya mereka berhenti di sebuah hotel dan segera memesan sebuah kamar untuk mereka berdua.
“Twin Bed aja mas,” bisik Marina saat suaminya tengah reservasi. Geno hanya diam dan tak mengindahkan ucapan Marina. Buatnya tak masuk akal jika sudah suami istri tapi masih tidur terpisah. Tak lama kemudian mereka mendapatkan keycard dan segera berjalan ke arah kamar yang dituju.
Geno segera meletakan koper, melepas sepatu dan segera menarik pakaiannya sendiri, membuka celana nya dan membiarkan dirinya hanya mengenakan celana boxer tanpa ragu.
“Mas, kenapa bukanya gak dikamar mandi aja sih?” keluh Marina merasa terkejut menemukan suaminya sudah tanpa pakaian.
“Gerah,” jawab Geno pendek dan segera bergantian memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama ia keluar hanya mengenakan handuk dan langsung duduk di sisi ranjang, membuat Marina yang tengah asyik mencari channel tv melompat berdiri.
“Kenapa? Kamu takut handuknya melorot?” goda Geno saat melihat Marina kikuk. Marina hanya diam dan segera berjalan menuju kamar mandi, kali ini giliran nya untuk membersihkan diri. Selesai mandi Marina masih melihat suaminya masih mengenakan handuk yang dililit di pinggangnya sambil duduk selonjoran diatas ranjang.
“Mas, pake bajunya, nanti masuk angin,” suruh Marina merasa risih membayangkan suaminya sebenarnya telanjang.
“Enak begini, adem,” jawab Geno acuh. Marina pun diam dan kembali beraktivitas dengan menyisir rambut dan merawat dirinya dengan mengoleskan beberapa cream diwajah.
“Aku tidur ya mas,” pamit Marina saat ia merasa tak ada lagi yang bisa dilakukan selain tidur.
“Marina, apa kamu akan seperti ini terus?” tanya Geno tampak heran dengan sikap Marina.
“Sikap apa?”
“Tak ingin mengajakku bicara.”
“Hmmm, aku bingung mas mau bicara apa, lagipula katanya kamu lelah. Lebih baik kita tidur cepat biar besok pagi bisa langsung berangkat pulang ke Jakarta,” ucap Marina sembari meluruskan tubuhnya dan memejamkan mata.
Marina merasakan Geno bergerak dan meninggalkan ranjang.
“Marina, sebentar, coba lihat ini,” pinta Geno tiba-tiba. Marina pun membuka matanya malas dan menoleh ke arah suara dan melihat Geno berdiri lalu dengan cepat menarik handuknya. Marina berteriak kaget dan segera menutup matanya, sedangkan Geno tertawa terbahak-bahak. Ia tahu Marina pasti berpikiran yang tidak-tidak saat ia menarik handuknya padahal ia sudah kembali menggunakan celana boxernya.
“Dasar ngeres!” ejek Geno sambil melemparkan handuknya ke kursi dan kembali duduk selonjoran di ranjang. Marina hanya mendengus kesal saat ia merasa dijahili lalu membalikan tubuhnya agar Geno tak bisa melihat wajah kagetnya. Melihat Marina tampak acuh, Geno segera menarik tubuh Marina agar berbaring menghadapnya.
“Mau apa lagi sih mas?”
“Aku mau bicara Mar, sesuatu yang penting,” ucap Geno serius sembari berbaring dan menahan kepalanya dengan sebelah tangan menghadap ke arah Marina.
“Bicara apa?”
“Soal jadwal hubungan intim kita.” Mendengar ucapan Geno, Marina tersedak nafasnya sendiri dan membuatnya terbatuk-batuk.
“Apaan sih kamu, baru gitu aja grogi. Gak perlu malu Mar, apalagi kita berdua pernah hampir telanjang bersama. s*x adalah sesuatu yang lumrah dalam rumah tangga,” ucap Geno sambil mengambilkan air untuk meredakan batuk Marina.
“Aku belum mau, aku belum siap!” jawab Marina cepat setelah meneguk habis air putih dalam botol.
“Trus aku gimana?”
“Ya nanti mas…”
“Kapan? Aku pria normal yang butuh di salurkan hasratnya,” ucap Geno tanpa beban. Marina menarik nafasnya perlahan. Ia merasa heran melihat Geno yang seolah mengatakan hal itu tanpa beban. Untuk Marina hubungan intim itu akan terasa indah dan nikmat jika dilakukan dengan cinta. Bagaimana ia dan Geno melakukannya, sedangkan mereka baru saja mendekat satu sama lain karena keadaan.
“Begituan itu harus dengan perasaan mas, gak bisa asal begituan aja,” ucap Marina mencoba diplomatis. Geno menggelengkan kepalanya seraya berkata,
“Untukku tak perlu pakai cinta untuk bisa melakukannya.” Geno segera menarik wajah Marina untuk mendekat dengan kedua tangannya yang besar lalu menciumnya berkali-kali dengan lembut dan penuh hasrat. Melihat wajah cantik itu memiliki bibir yang penuh seolah menggoda Geno untuk merasakannya.
Marina mendorong wajah Geno cepat, ia tak siap dicium Geno seperti itu sampai kehilangan ritme bernafasnya.
“Aku gak mau kamu cium paksa begitu!” protes Marina cepat. Ia merasa dongkol karena lagi-lagi Geno berhasil mencuri ciuman dari bibirnya. Bagi Marina, perasaannya masih untuk Henry walau ia tengah sakit hati. Ia belum bisa melupakan mantan kekasihnya begitu saja. Geno menatap Marina dengan pandangan bernafsu. Ia segera memindahkan tubuhnya keatas tubuh Marina dan mulai menyentuh istrinya sambil memberikan kecupan-kecupan penuh nafsu. Ia tengah ingin b******u dan melihat kepolosan Marina yang terlihat tak berpengalaman membuatnya ingin mencoba.
“Henry, aku gak mau! Aahh…” tolak Marina dan diakhiri desahan saat Geno menyentuh daerah sensitifnya. Marina mendorong Geno dan pria itu terjatuh di sisi Marina. Keduanya terdiam saat mendengar nama yang tercetus dari mulut Marina.
“Hmm, aku ngerti, kamu masih belum bisa melupakan Henry rupanya,” jawab Geno tenang. Marina hanya diam, lidahnya terasa kelu. Ingin rasanya ia bilang bahwa panggilan itu tak sengaja dan ia memang belum siap untuk semua yang berbau intim. Melihat Marina hanya diam, Geno bangkit dari tidurnya dan mengenakan pakaian santai. Ia ingin keluar kamar hotel untuk berjalan-jalan sejenak agar bisa memberi ruang untuk Marina sendiri. Ia sadar, istri barunya itu pasti masih merasa kikuk dan bingung dan Geno tak ingin memaksa.
“Aku pergi dulu sebentar, kamu ingin titip sesuatu?” tanya Geno sambil mengenakan jam tangannya. Marina hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia merasa cemas melihat Geno yang akan pergi. Marina takut bahwa Geno pergi karena tersinggung memanggilnya dengan nama pria lain. Geno mengacak-acak rambut Marina sesaat lalu keluar dari kamar. Sedangkan Marina segera terduduk dan memainkan ujung baju piyamanya cemas.
***
“Marina! Relaks dong!” keluh Geno saat Marina memeluknya erat dan tubuhnya mengeras seperti batu sehingga Geno tak leluasa untuk menggerakan tubuhnya.
“Mas aku takutt … sakitt…” rengek Marina sambil mengencangkan rangkulan tangannya dileher Geno.
“Kita ini mau ML, bukan mau gulat!” ucap Geno sambil melepaskan rangkulan tangan Marina lalu menghempaskan tubuhnya di samping Marina gusar. Marina tampak bingung dengan sikap Geno.
Satu jam yang lalu Geno baru saja kembali ke kamar hotel. Melihat Marina duduk termenung dengan wajah cemas dan bingung, Geno tahu bahwa istrinya merasa bersalah padanya. Hal itu membuat Geno merasa memiliki kesempatan untuk menjahili Marina dan kembali mengajaknya bercinta. Karena merasa tak enak dan kewajiban, akhirnya Marina mau. Hanya saja setelah beberapa waktu rasanya mereka seperti tak bercinta tapi seperti main gulat dimana Marina selalu menghindar dan mencoba melepaskan diri dari sentuhan Geno.
Marina segera menarik selimut untuk menutup tubuhnya dan memandangi Geno yang berbaring di sampingnya dengan raut wajah kesal. Mereka berdua sudah keburu polos tak mengenakan apapun.
“Mas,” panggil Marina takut. Dipanggil begitu Geno hanya diam dan memalingkan wajahnya dari Marina.
Tak lama Geno pun bangkit dan duduk dengan kesal.
“Bisa gak sih kamu tuh rileks aja? Making love itu sesuatu yang harus dinikmati bukan ditakuti! Aku tuh suami kamu sekarang, santai aja kenapa? Kamu melakukannya dengan orang yang tepat.”
“Ya aku kan gak pernah! Wajar kalau aku takut!” ucap Marina ikutan sewot.
“Ya udah kalau gitu nanti saja ML nya!” jawab Geno kesal sambil mengenakan pakaian dalamnya kembali. Melihat Geno tampak marah, Marina merasa bersalah dan tak tahu harus berbuat apa.
“Jadi kita gak jadi?” tanya Marina polos dan bingung. Geno segera melemparkan piyama milik Marina kembali untuk kembali ia pakai. Melihat sikap Geno, Marina merasa takut dan segera memakai pakaiannya kembali. Sedangkan Geno segera menyusup ke dalam selimut dan menarik selimutnya sampai telinga.
“Maaf ya mas,” bisik Marina merasa tak enak hati dengan sikapnya. Mendengar permintaan maaf Marina, rasa kesal Geno semakin tersulut. Tubuhnya terasa tak karuan dibuat Marina diantara nafsu, marah dan masih menginginkan untuk kembali menuntaskan hasratnya. Tiba-tiba Geno kembali duduk dengan kasar lalu berdiri menyambar jaketnya dan keluar dari kamar hotel tanpa mengatakan apa-apa pada Marina.
Marina hanya bisa terdiam terpaku lalu melorotkan tubuhnya dan berbaring di sisi ranjang paling ujung. Ia merasa ingin menangis karena merasa bingung dengan semua yang berbau pernikahan ini. Ia merasa setengah dipaksa untuk melakukan hal yang sebenarnya tak ingin ia lakukan.
Hanya karena takut pada sang ayah ia akhirnya menyetujui pernikahan ini, baru satu hari berlalu dan ia sudah merasa tidak tahan dengan pernikahannya.
Bersambung