Geno melempar handphonenya ke atas ranjang. Hari ini ia berencana untuk mengajak Marina untuk pergi menghabiskan waktu bersama. Geno sadar bahwa mereka harus sering bersama untuk bisa membuat Marina jatuh cinta. Tapi pesan pendek yang masuk ke Whatsappnya membuat kepalanya pening. Sang ibu, Nurul menghubunginya dan memberitahu bahwa ia sedang berada di apartemen Geno.
“Dimana kamu? Mama lagi di apartemen, kata resepsionis kamu pindah? Kemana?”
Mendapat rentetan pertanyaan itu kepala Geno jadi pening mendadak. Ia lupa bahwa ia harus lebih sering pulang agar sang ibu dan kakak-kakaknya tak curiga. Ia terlalu terlena sehingga tak memperhatikan hal lain yang juga penting.
“Aku kesana sekarang, “ jawab Geno singkat. Pria itu segera menyambar kunci mobil dan keluar dari kamar tidurnya terburu-buru.
“Mau kemana Gen?” tanya Pak Herman saat melihat menantunya berjalan terburu-buru melewati seisi rumah yang tengah berkumpul bersama diruang makan untuk makan siang bersama.
“Oh, maafkan saya pak, saya ada urusan sebentar. Harus ada yang saya ambil di apartemen,” jawab Geno dan segera melihat kearah Marina yang baru saja hendak mengambil lauk untuk Dewo.
“Yuk, Marina temani aku sebentar,” pinta Geno segera menghampiri sang istri dan mengajaknya pergi.
“Aku? Ikut?” tanya Marina bingung dan segera berdiri saat Geno menarik tanganya halus.
“Iya sebentar saja,” pinta Geno lalu berpamitan sembari menggenggam jemari tangan Marina dan berjalan menuju mobil.
“Mas, aku belum ganti baju dan gak bawa dompet,” ucap Marina cepat, ia merasa bersyukur karena masih sempat membawa handphonenya yang selalu ia bawa kemana-mana.
“Gak apa-apa kamu tampak cantik dengan pakaian rumahan begitu,” ucap Geno sambil melirik sesaat kearah pakaian Marina yang hanya mengenakan kaos dan celana kain bermotif kembang-kembang yang biasa dipakai dirumah dan hanya mengenakan sandal biasa.
Geno sengaja mengajak Marina karena ia tak suka melihat Marina melayani Dewo sampai urusan mengambilkan lauk. Seharusnya itu tugas Linda. Selama perjalanan Geno pun baru tersadar bahwa ia tak bisa membawa Marina menemui sang ibu.
“Marina, aku ke apartemen untuk ketemu mama,” ucap Geno jujur dan membuat Marina menoleh padanya.
“Duh, mas Geno! Masa aku ketemu mama mertua dengan tampilan seperti ini?!”
“Nggak, kamu gak akan ketemu dia. Kamu tunggu di mobil saja.”
“Nggak ah! Aku gak tahu akan berapa lama kalian bertemu! Turunkan aku di mall saja!” protes Marina. Geno pun mengangguk setuju dan mengingat ada Mall besar yang tak jauh dari apartemennya tinggal.
“Tapi aku gak punya uang untuk jajan. Aku lapar.”
Geno segera mengeluarkan salah satu atm dan sebuah kartu kreditnya untuk diberikan kepada Marina lalu menyebutkan no pinnya.
“Pakai saja, tapi lebih baik kamu menungguku di coffee shop. Aku janji tak akan lama,”
“Tahu gitu aku tunggu dirumah aja! Ngapain sih mas kamu ajak-ajak kamu pergi dadakan gini?”
“Aku gak mau kamu melayani mas Dewo! Dia sudah punya istri sendiri!” gumam Geno tegas dan melirik ke arah Marina tajam.
Marina terdiam, akhirnya sikap Dewo terbaca oleh Geno. Ada perasaan lega dan takut di hati Marina. Ia merasa lega karena ternyata Geno masih punya hati untuk memperhatikan keadaannya dan membaca sikap Dewo yang tak biasa. Tapi ia juga sekaligus takut kalau Geno akan mengkonfrontasi Dewo setelah ini.
Minggu siang ini jalanan Jakarta tampak lengang sehingga Geno bisa mengendarai kendaraannya dengan leluasa dan tak lama kemudian sampai di salah satu Mall yang tak jauh dari apartemennya.
“Mana kartu atm dan cc nya? Jangan lupa kabari aku kamu menunggu dimana,” tanya Geno memastikan bahwa Marina membawa kartunya dan mengingatkan untuk menunggunya di salah satu tempat di dalam mall. Marina hanya mengangguk dan segera turun dan melangkah masuk ke dalam lobby mall. Melihat Marina masuk, Geno pun segera meninggalkan Mall menuju tempat tinggalnya bertemu sang ibu.
Di dalam Mall, Marina menatap beberapa cafe yang ia lintasi lalu memilih sebuah cafe yang tampak lengang agar ia bisa duduk dengan tenang menunggu Geno.
Marina segera memesan secangkir kopi dan sebuah sandwithch karena perutnya terasa lapar. Ia sengaja memilih tempat duduk di pojok dekat jendela agar tetap bisa menikmati pemandangan sekaligus menyembunyikan dirinya yang berpakaian seadanya.
Tak lama pesanannya pun tiba. Baru saja Marina menikmati sandwich nya tiba-tiba seorang pria berdiri di hadapannya dengan tergesa-gesa. Marina segera menutup mulutnya dan mengunyah dengan cepat saat melihat Henry yang berdiri dihadapannya. Tanpa banyak bicara Henry segera memeluk Marina. Marina segera mendorong Henry agar tak memeluknya dan hampir kehabisan nafas karena tersedak kaget dengan sikap Henry yang tiba-tiba.
“Aku kangen kamu Marina,” bisik Henry tak ingin melepaskan pelukannya.
“Henry! Lepaskan!” ucap Marina dan berhasil melepaskan dirinya dari Henry.
Marina segera berdiri untuk meninggalkan Henry, rambutnya yang tadi digulung keatas sampai tergerai dan semakin memperlihatkan kecantikan wajahnya yang natural tanpa polesan apapun.
Melihat Marina akan pergi Henry segera menariknya sehingga Marina kembali terduduk dan ia menghalangi Marina dengan duduk disampingnya.
“Hen, tolong jangan begini,” pinta Marina panik. Ia tak siap bertemu mantan kekasihnya. Jantungnya berdetak begitu kencang. Dibalik rasa marah dan benci, masih ada rindu yang membuncah di hati Marina untuk pria ini.
“Aku butuh berbicara dengan mu,” bisik Henry penuh rindu. Marina diam. Ia tak kuasa untuk menolak Henry karena hatinya pun merindu dan ingin bertemu. Melihat Marina diam, Henry menggenggam jemari tangan Marina erat dibawah meja.
“Aku kangen sama kamu,” bisik Henry lagi. Marina melepaskan genggaman Henry dan mencoba untuk tenang dan berusaha menikmati makanannya.
“Aku merasa senang bisa tiba-tiba melihatmu disini,” ucap Henry lagi.
“Aku baru saja selesai Gym, rasanya tak ingin segera pulang. Perasaanku kosong dan merindukanmu. Rasanya seperti mimpi bisa melihatmu tengah duduk sambil makan. Aku benar-benar seperti bermimpi bisa bertemu Marinaku kembali,” bisik Henry penuh rindu.
“Stop bicara kalau aku seolah masih menjadi Marinamu!”
“Marina,”
“Sudahlah! Aku sudah menikah Hen! Memangnya kamu saja yang bisa menikah?!” ucap Marina sambil memamerkan cincin pernikahannya dengan Geno.
“Marina, jangan bicara konyol seperti itu…”
“Siapa yang bicara konyol! Kamu bisa lihat kan nama yang terukir di dalam cincinku?” ucap Marina sembari melepaskan cincin pernikahannya dan memberikannya pada Henry.
Mata Henry terbelalak melihatnya.
“Bilang kalau ini hanya bohong Marina! Kamu tak mungkin menikahi pria itu! Dia kekasih gelap kakakmu!”
“Trus kenapa? Dia gak baik untukku? Kamu juga tak baik untukku! Kalau kamu baik, kamu tak akan meniduri Dea sampai dia hamil!” ucap Marina berusaha tak histeris tapi ia tak bisa menahan perasaannya dan memukul d**a Henry dengan kedua tangannya.
“Aku khilaf Marina,”
“Dengan mudahnya kamu bilang khilaf! Bagaimana bisa kamu bilang khilaf?! Kita bertiga satu kantor! Semua orang tahu kamu kekasihku! Semua orang tahu kita akan menikah! Tiba-tiba dengan mudahnya kamu berbuat kesalahan dengan alasan khilaf dan kini aku ditertawakan semua orang!” ucap Marina masih marah dan memukuli d**a Henry.
“Tak ada yang menertawakan kamu!”
“Bagaimana mereka tak menertawakanku?! Semua orang pasti tahu kalau kamu selingkuh dan tak ada yang memberitahuku! Aku memujamu! Aku mencintaimu! Tapi kamu membuatku hancur sampai ke titik nadir!”
“Aku tahu kamu marah tapi kamu tak perlu melampiaskannya dengan menjadi kekasih Geno!”
“Aku bukan kekasihnya! Aku istrinya sekarang!”
“Marina!”
“Kenapa? Kamu pikir aku tak bisa menikah tanpa cinta?!”
“Tapi kamu akan menyakiti dirimu sendiri Marina,”
“Buat apa kamu peduli?! Lebih baik kamu pedulikan Dea daripada aku!”
“Aku masih mencintaimu! Aku cintanya sama kamu! Aku tahu aku salah dan aku akan bertanggung jawab dengan anak itu! Tapi aku mencintaimu Marina! Hatiku masih untuk kamu!”
“Jadi apa yang kamu mau Hen?! “
“Aku hanya ingin bertemu kamu! Aku bisa gila karena terus menerus memikirkan kamu! Kasih aku waktu Marina! Kasih aku waktu!”
“Kasih kamu waktu untuk apa Hen?”
“Aku ingin kembali padamu…”
“Kamu gila! Bagaimana dengan Dea dan anak kalian?!”
“Aku akan tetap mengurus anakku tapi aku berniat untuk melepaskan Dea saat anak itu lahir. Aku ingin kembali padamu Marina.”
Mendengar ucapan Henry, d**a Marina terasa sangat sesak. Ia segera mendorong Henry untuk memberikannya jalan. Tapi Henry tetap menahannya sehingga ia tak bisa keluar.
“Stop Hen! Apapun yang kamu inginkan, kita sudah tak bisa melakukannya. Aku benar-benar sudah menjadi istri orang sekarang! Aku istri mas Geno!” isak Marina tak kuasa menahan tangisnya. Di dalam hatinya ia memang menginginkan Henry kembali tapi kenyataan berkata lain. Ia sudah menjadi istri seseorang dan ada perempuan dan janin yang menunggu Henry ditempat lain sebagai istri dan calon anak mereka.
“Aku akan bicara dengan mas Geno… biarkan aku bicara padanya Mar, aku akan memintanya melepasmu. Aku tahu ia menikahimu untuk bisa mendapatkan kekuasaan di perusahaan ayahmu. Aku juga sudah membahas ini dengan Dea. Ia pun tak mencintaiku Marina, kami hanya khilaf,” bujuk Henry sembari menghapus airmata Marina dengan lembut. Marina hanya bisa menangis tertahan agar pengunjung yang lain tak melihatnya.
“Marina, aku tahu kalau kita masih saling mencintai, tolong beri aku kesempatan,” bisik Henry mencoba meyakinkan Marina.
“Stop Hen, aku gak bisa…. Lebih baik kamu pergi sekarang, sebentar lagi Mas Geno menjemputku.”
“Aku akan menunggunya disini bersamamu, aku akan bicara padanya…”
“Jangan Hen, tolong jangan … aku tak bisa kembali padamu.”
“Kita hanya butuh waktu, aku akan terus mencintaimu Marina dan aku tahu kamu juga selalu mencintaiku.”
Bersambung.