Cintakah ini?

1237 Kata
Cintakah ini yang membuatku selalu merasa ingin selalu didekatnya? Cintakah ini yang membuatku selalu merindukan bayangnya? Cintakah ini? ☻☻☻☻☻ “Gimana Kia? Sudah kamu terima?” “Apanya?” “Biodata yang aku titipkan ke Rika. Sudah?” “Oh, sudah Pras.” Hening. Tidak ada pembicaraan lebih lanjut. Mereka sama-sama menanti bel pergantian mata pelajaran. Beberapa teman yang terlihat sibuk memeriksa tugas siswanya tampak diam-diam memperhatikan mereka. Ada wajah-wajah penasaran untuk tahu di sana. Barang kali bisa menjadi gossip terhangat untuk menggantikan gossip yang sudah basi. “Kalau begitu kita sudah bisa jalani kan?” Dzakia tersenyum, “Bukannya sudah berjalan satu minggu ya?” “Ah iya. Aku terlalu bersemangat.” “Pras, boleh Dzakia request sesuatu?” “Hmm… apa itu?” “Kalau di depan Dzakia, boleh nggak Pras itu nggak manggil dirinya aku? Abis kesannya nggak enak, beneran.” “Ah itu. Ehm… udah kebiasaan sih. Jadi gimana dong?” “Ya nyebut nama sendiri gitu. Kan Pras punya panggilan kecil…” “Oh iya, ada.” Ia berfikir sejenak, “Kalau gitu Dzakia juga jangan manggil Pras dong, panggil Mas Yo aja. Setuju?” Dzakia mengerutkan bibirnya, “Haish… segan loh….” jawabnya polos. “Enggak apa dong Kia. Kan kesannya lebih akrab.” Bujuk Pras dengan senyum lebarnya. “Jangan deh, gak enak kalau didengar yang lain. Masa Kia panggilnya mas…” “Iya juga yaa. Ya udah deh, Pras aja juga gak apa kok,” ujar Pras membenarkan perkataan Kia sambil mengelus dagunya yang ditumbuhi beberapa helai rambut halus. “Iya kaan… Ya udah deh kalau gitu. Eh udah bel tuh,” Pras mengangguk, “Pras jalan duluan ya. Assalamu’alaikum…” “Wa’alaikum salam…” ☻☻☻☻☻ “Dzakia mencintainya?” tanya Alisha diseberang telepon. Dzakia menghubungi sahabatnya itu selepas tahajjud. “Cinta itu titipan Allah kan Sha. Dia bisa tumbuh sendirinya. Tidak mungkin Allah salah dalam menentukan rusuk dan pemiliknya,” “Bukan begitu maksudku, Kia. Aku nggak meragukan rencana Allah, tapi kalau memang Dzakia sudah mencintainya, dia pun masih sama dengan perasaannya, akhiri ta’aruf kalian. Segera menikah.” “Tapi Sha, Kia belum siap untuk menikah. Kuliah kita belum selesai. Dzakia nggak mau kejadian yang dulu terulang lagi, Pras datang dengan pendampingnya yang lain.” “Itu artinya kamu belum bisa percaya dia sepenuhnya kan Kia?” “Kia percaya Sha, percaya. Kia juga yakin Allah pasti telah menentukan kalau Pras jodoh Kia, Sha.” “Mudah-mudahan Kia. Kalau begitu keyakinan kamu, aku nggak bisa bilang apa-apa lagi. Aku cuma minta kamu jaga diri kamu baik-baik. Selalu jadikan Allah tempat berlindung utama, apalagi dari godaan syetan.” “Iya Sha. Insyaa Allah Kia dan Pras bisa jaga diri kami baik-baik. Lagi pula Pras itu aktifis Sha, dia pasti paham dengan hukum-hukum itu. Dia pasti bisa menjaga hubungan ini dari hal-hal yang tidak selayaknya kami lakukan.” “Aku tau kamu dan dia pasti paham dengan hal itu. Tapi kamu jangan sampai lupa Kia, makin pintar orangnya, maka semakin pintar pula syetannya.” “Sha, jangan nakut-nakutin gitu dong, dukung dong sahabatmu ini...” keluh Dzakia. “Aku nggak nakut-nakutin kamu Kia. Aku dukung kalau kamu udah bisa dan mampu untuk membuka hati lagi, aku bahagia. Tapi aku cuma ngasih pandangan ke kamu, biar nggak salah langkah. Jangan sampai ta’aruf yang seharusnya adalah proses yang penuh keberkahan menjadi sebaliknya. Itu saja,” terang Alisha. Memberi jeda pada ucapannya untuk Dzakia berfikir. “Ya sudah kalau begitu. Kia fikirkan lah matang-matang. Aku masih ngantuk nih, takut kesiangan subuh nanti. Aku tutup teleponnya ya. Assalamu’alaikum…” sambungnya. “Wa’alaikum salam…” Dzakia mengakhiri panggilannya. Kata-kata Alisha menari-nari di kepalanya. Haruskah diakhirinya proses ta’aruf ini dan mengambil langkah untuk menuju jenjang yang lebih serius lagi? ☻☻☻☻☻ Perkataan Alisha dahulu masih terngiang hingga sekarang, saat Dzakia menutup album foto kenangannya itu. “Andai saja ku dengar semuanya, Sha…” bisiknya lirih. Matanya yang masih basah terasa sembab. Entah berapa lama ia tertegun mengingat semuanya. Yang ia tahu semua hal itu menyesakkan. Belum lagi pertanyaan Angga tadi. Siapa yang tidak ingin menikah? Perempuan mana yang diumurnya sekarang belum terfikir untuk menikah? Menikah merupakan salah satu impiannya. Impian yang ia tinggal setahun lalu. Impian yang sempat ia banggakan diwaktu ia memejamkan mata. Impian luar biasa yang ia harap terjadi bersama pria itu. Betapa semua hal itu sangat menyakitkan ketika kabar itu harus dia dengar hanya berselang satu minggu setelah mereka resmi menyelesaikan praktek mengajarnya dan kembali ke rumah masing-masing. ☻☻☻☻☻ “Assalamu’alaikum..” sapa Dzakia setelah mendengar dering ponselnya untuk yang ketiga kalinya. Ia baru saja menyelesaikan sholat Isya-nya. “Wa’alaikum salam. Lama banget angkatnya, Kia.” Ujar suara di sebrang. “Afwan Pras. Baru selesai sholat.” “Ah, kalau gitu Pras dong yang bilang afwan. Dzakia lagi sholat malah Pras telpon.” “Ya ndak masalah Pras, kan Pras enggak tahu kalau Kia lagi sholat. Eh, udah sholat belum?” “Alhamdulillah udah, langsung di mesjid tadi. Kamu aja tuh yang suka banget ngelama-lamain sholatnya.” “Yee, bukan maksud mau ngelama-lamain kali. Cuma tadi keasyikan ngobrol bareng mama dan papa, jadi ya sholatnya sekalian sebelum tidur, gitu loh.” “Sama aja itu sih. Eh, jadi gimana kabar calon mertua saya? Sehatkan?” Dzakia memutar bola matanya, “Calon mertua ya bapak, luar biasa.” “Lah, kan bener sih. Insya Allah nanti bakal jadi mertua saya, jadi sekarang masih calon mertua dong,” terang Pras membenarkan ucapannya. “Iya deh, iya. Aamiin... Alhamdulillah sehat semua. Cuma papa aja kemarin yang agak kurang sehat. Kata Mas Angga cuma kelelahan doang. Biasa, papa kalau kerja suka diporsir banget, jadi ya over capacity deh.” “Ya Allah Kia, over capacity, kayak lagi bongkar muat aja,” ledek Pras. Dzakia tertawa mendengar ledekannya itu. “Eh, besok jam berapa ke kampus?” tanyanya. “Kalau enggak salah kemarin Vino bilang itu datang sekitar jam sembilan, jadi ya sebelum itu kita udah harus ngumpul, biar enggak buru-buru banget.” “Hmm, bener juga. Apa lagi berkas kita masih berserakan kan. Daftar hadir belum jadi di-print Putri kemarin kan?” “Iya. Ya udah deh Kia, kamu aja yang print-kan. Besok tinggal ditandatangani lagi.” “Iya deh, siap nelpon ini langsung Dzakia print-kan. Lagian kemarin kepseknya iseng banget deh, daftar hadir aja pake diambil-ambil segala. Tinggal distempel aja kan nggak susah.” Gerutu Dzakia. “Ya namanya beliau mau ngecek kebenaran kehadiran kita, Kia. Mana tau ada manipulasi.” “Su’udzon banget kepseknya. Apa nggak tau capek nandatangani hampir Sembilan puluh hari itu?” “Hush, hush. Kok jadi merepet ke Pras sih? Kamu ini Kia, kalau udah ngerepet aja, nggak inget siapa yang direpeti.” “Hahaha… afwan deh Pras, afwan.” Pras ikut terkekeh mendengarnya. “Ya udah deh kalau gitu. Pras tutup telponnya ya. Jangan telat besok.” “Iya, insya Allah. Mudah-mudahan Mas Angga atau Mas Satria mau nganterin, kalau enggak ya naik angkutan, secara motor kan masih dipaketin.” “Loh, belum sampe motor yang dipaketin kemarin?” “Belum. Kan besok baru dikirim dari sana.” “Hmmm… iya deh kalau gitu. Pras tutup telponnya nih, assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum salam.” Dzakia meletakkan ponselnya, membuka mukenahnya dan melipatnya. Kakinya melangkah ke meja komputer untuk mencetak daftar hadir mereka selama tiga belas minggu yang lalu, menggantikan daftar hadir yang diambil oleh kepala sekolah tempat mereka praktik mengajar. ☻☻☻☻☻
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN