Meyakini bahwa kau lah yang dituliskan untukku
Adalah hal yang paling menyakitkan
Meyakini bahwa kau takkan pernah tinggalkanku
Adalah hal yang lebih menyakitkan lagi
☻☻☻☻☻
“Syukurlah enggak ada apa-apa yang mengganjal lagi.” Ujar Vino saat mereka berkumpul menikmati makan siang bersama. Mereka baru saja menyerahkan seluruh laporan hasil praktek mengajar mereka selama tiga bulan terakhir.
“Eh, jadi abis ini pada kemana semua?” tanya Meisya.
“Pulang lah Mei, emang dirimu mau kemana?”
“Ya mana tahu ada acara lain lagi, gitu loh maksudnya, Ren…” Meisya meluruskan kalimatnya.
“Kalau Kia paling mau ambil paketan motor di stasiun kereta. Nggak tahu kalua yang lain,” jawab Dzakia sambil menyeruput minumannya.
“Kau Pras?” tanya Anya pada Pras yang masih sibuk membelah-belah bakso pesanannya menjadi beberapa potongan kecil.
“Ha?? Oh, aku??” Pras mengernyitkan keningnya, “Enggak tahu sih mau kemana, mungkin pulang,” sambungnya.
“Jadi Dzakia pigi sendiri ke stasiun? Nggak kau temani Pras?” selidik Jodi.
Pras memalingkan kepalanya, melirik Dzakia yang menyendokkan nasi goreng ke mulutnya. Gadis itu tampak begitu manis dalam balutan jilbab biru yang sedikit lebih panjang dari biasanya. Wajahnya yang bersih tampak lebih cerah tanpa riasan make-up yang sering digunakannya saat mengajar.
‘Ah, dia semakin bersinar saja,’ desah Pras dalam hati.
“Kalau nggak ada perubahan rencana sih kayaknya enggak. Tapi nggak tahu juga ding,” jawabnya dengan tatapan masih mengarah pada Dzakia. Gadis itu belum sadar kalau dia dipandangi.
“Hoy! Matanya! Nanti ngecil si Dzakia kau pandangi kayak gitu, Pras.” Ledek Vino.
Mereka langsung tertawa melihat raut kaget diwajah Pras. Dzakia yang bingung pun hanya bertanya apa yang terjadi sementara Pras sibuk menyeruput minumannya, sedikit tersedak akibat teguran Vino yang dibarengi dengan pukulan di pundaknya itu.
☻☻☻☻☻
Selepas makan siang bersama, kelompok itu pun bubar seperti seharusnya. Beberapa meneruskan rencana yang telah dibuat. Beberapa lagi kembali ke kost-an masing-masing.
Pras menanti Dzakia yang masih sibuk berbincang dengan Anya, menemani gadis cantik itu menunggu datangnya angkutan umum yang akan mengantarkannya ke kos. Ia sudah sepakat untuk menemani Dzakia mengambil motornya yang masih berada dalam perjalanan sehabis dipaketkan.
Selepas angkutan yang ditunggu Anya datang, Dzakia bergegas menjumpai Pras yang sudah lebih dari lima belas menit menunggunya di atas motor. Mengambil helm yang disodorkan pria dalam balutan kemeja biru muda yang terlihat matching dengan jilbab yang dikenakannya. Memakai helm tersebut ke kepalanya dan tak lupa di klik. Kemudian ia beranjak naik ke boncengan Pras. Tak ada lagi kata canggung seperti dulu.
“Gimana? Udah nyampe motornya?” tanya Pras ketika Dzakia menghampirinya di parkiran motor.
Dzakia menggelengkan kepalanya, “Udah nyampe, tapi mereka belum bongkar muatan, jadi belum diturunin motornya. Mungkin nanti sore.”
“Jadi gimana? Mau ditunggu atau ditinggal pulang?”
“Rasanya males banget kalau nanti udah nyampe rumah harus keluar lagi. Pengennya sekali jalan aja semua.”
Pras menganggukkan kepalanya, “Iya ya. Kamu memang gitu ya. Nggak suka muter-muter, nggak suka ribet.”
Dzakia balas mengangguk. “Jadi gimana?” tanya Pras lagi.
“Bingung….” Dzakia menggaruk-garuk kepalanya yang tertutup jilbab, gusar.
“Ya udah gini aja. Pras mau ke gramedia, mau cari buku baru. Kia mau ikutan? Sekalian nunggu. Dari pada nunggu di sini, gimana?”
Dzakia menarik nafas panjang. Menimbang.
“Hei, gimana?” tegur Pras sambil melambaikan tangan di depan wajah gadis yang ayu itu.
“Ya udah deh, seperti itu juga boleh lah. Dari pada nungguin di sini.” Jawab Dzakia pasrah.
“Senyum dong, jangan lemes gitu.”
“Baiklah, baiklaaaahhhh….” Dzakia menyunggingkan senyumnya. Masam.
☻☻☻☻☻
Tok… tok… tok…
“Kia, Mas boleh masuk?” tanya Satria setelah menguak sedikit pintu kamar adiknya itu. Dilihatnya gadis itu tengah terlungkup mendekap guling dengan laptop menyala di depannya.
“Masuk aja Mas,” jawab Dzakia tanpa mengalihkan pandangannya dari drama korea yang tengah ditontonnya. Gadis itu sudah hafal betul suara siapa yang berbicara.
Satria melangkah perlahan, mendekati adik kesayangannya itu. Usia mereka terpaut cukup jauh, enam tahun. Ia menarik kursi yang letaknya tak jauh dari tempat tidur Dzakia dan meletakkannya tepat disamping tempat tidur.
“Kenapa Mas?” tanya Dzakia sambil membenarkan posisinya.
“Kamu lagi sibuk?”
“Enggak. Cuma nonton doang. Abis nggak ada kerjaan. Kenapa?” ulang Dzakia.
“Ada yang pengen Mas tanyakan ke kamu, Kia.”
Dzakia menaikkan alisnya, “Soal apa?”
“Kamu nggak keberatan kalau Mas tanya soal ini?”
“Sekarang soal apa dulu, Mas. Kalau memang bisa Kia jawab ya Kia jawab.” Jawab Dzakia tersenyum.
Dia paham betul seperti apa dan bagaimana sifat Satria. Abangnya yang satu ini sulit sekali mengungkapkan apa yang sebenarnya ingin dia ungkapkan, terlalu banyak basa-basi dan Dzakia paling anti berbasa-basi.
Satria menarik nafas berat, “Kemarin kamu kemana Kia?”
“Idiiiihhh pertanyaan Mas lucu…” ledek Dzakia.
“Tuh kan kamu, Masnya serius malah diledekin!” rutuk Satria.
“Iya deh, iya. Maaf. Kemarin Dzakia ke kampus. Kenapa memangnya, Mas?”
“Beneran ke kampus?”
Dzakia mendelik heran. “Iya beneran. Mas kira Kia bohong gitu?”
Satria menggeleng, “Bukan Kia, Mas tahu kamu paling nggak bisa bohong makanya Mas tanya langsung ke kamu, dari pada Mas menduga-duga. Kamu beneran ke kampus kemarin?”
“Iya loh Mas, Dzakia beneran ke kampus. Emang kenapa sih Mas?”
“Kamu nggak pergi ke mana gitu?”
“Aaahh itu. Iya Dzakia pergi sama temen, tapi abis pulang dari kampus perginya. Kan Kia bener, nggak bohong. Mas kan nanyanya Kia ke kampus atau enggak, ya Kia jawab ke kampus dong.”
“Iya deh, iya. Pergi sama siapa kamu, Kia?”
Dzakia mengangguk, memahami sesuatu. “Mas ngelihat Kia ya?”
Sudut bibir Satria menyunggingkan senyuman, “Pinter kamu. Iya, Mas lihat kamu naek motor sama cowok. Siapa itu?”
“Oalah Mas, Mas. Mau nanya cowok itu siapa aja tapi belit-belitnya panjang banget.” Ledek Dzakia.
Satria tersenyum lagi, “Jadi jawabannya?”
Dzakia menggaruk-garuk kepalanya, salah tingkah. “Eemm… cowok itu temen praktek Kia, Mas. Kamii… cukup dekat…”
“Siapa namanya Kia? Kelihatannya anaknya santun,”
Senyum Dzakia melebar, senang mendengar komentar Satria. “Namanya Pras Mas, Ahmad Prasetyo. Anaknya memang santun Mas, baik, shaleh pula. Dan yang lebih penting lagi Mas, mengajinya fasih. Hafalan juznya juga udah ada beberapa.”
“Hmmmm, adik Mas lagi jatuh cinta kayaknya nih.” Ujar Satria sambil mengelus lembut kepala adiknya itu.
“Ah, Mas bisa aja. Kia jadi malu nih.”
“Jurusan apa dia?”
“Jurusan kimia, Mas. Ah ya, dia juga kader loh Mas!” seru Dzakia.
“Oh ya? Lembaga dakwah kampus yang mana?”
“Kalau Kia nggak salah sama dengan Mas. Menurut Mas gimana?”
“Gimana apanya Kia?”
“Mas setuju?”
“Ah kamu ini, Masnya kenal aja juga enggak.”
“Cari tahu dong Mas. Kan Mas masih sering ke kampus.”
“Iya deh, entar Mas bantu selidiki. Tapi Mas minta sama kamu, jangan terlalu sering keluar berdua gitu ya Kia. Kamu pasti paham maksud Mas.”
Satria bangkit dari duduknya, “Ya udah deh, Mas keluar dulu kalau gitu. Kamu terusin nontonnya.”
Sepeninggal Satria, Dzakia hanya tertegun. Satria bukan lah orang yang suka mencampuri urusan orang lain, walaupun itu saudara kandungnya sendiri. Ia hanya akan angkat bicara ketika dimatanya sesuatu itu sudah tak dapat ditolerir lagi. Jadi tegurannya kali ini meninggalkan tanda tanya besar dalam benak Dzakia.
☻☻☻☻☻