Pertemuan Ini

1453 Kata
Pertemuan ini akan selalu aku kenang. Karena di sinilah awal kita bertemu, Mengukir semua kenangan indah Yang menjadi sejarah hidup kita ☻☻☻☻☻ “Kia, kapan wisuda?” tanya Angga saat melihat adiknya sibuk membereskan buku diktat semasa ia kuliah di kamarnya. “Insyaa Allah bulan lima Mas. Kenapa?” “Nggak apa. Cuma tanya.” Angga terdiam sejenak. Seakan memikirkan sesuatu yang serius. Dzakia terkekeh geli. “Nggak apa tapi mukanya serius amat sih mas. Hayoo, pasti mau nanya yang lain kan???” selidik Dzakia. “Ehm..” Angga berdeham sejenak. “Iya sih dek.” Jawabnya singkat. Dzakia memanyunkan bibirnya. “Mau ngomongin apa sih memangnya pak dokter?” tanyanya sedikit penasaran. Angga melirik adiknya itu. Tersenyum simpul. “Kia…” “Hmmm… yaa …” Angga berfikir sejenak, “Kamu … belum ada kefikiran untuk menikah?” ☻☻☻☻☻ Dzakia tertegun, tangannya masih memegang album foto praktek mengajarnya setahun yang lalu. Matanya tertuju pada foto-foto yang menempel di album itu. Gambar yang diambil Angga saat Dzakia sibuk berbenah barang untuk dibawa ke daerah tempatnya melangsungkan praktek mengajar selama kurang lebih tiga bulan. Lembaran foto itu terus berganti. Matanya memandang nanar foto yang mengusik kembali ketenangan jiwanya. Hanya foto sebuah gelas yang di bawahnya terukir tulisan sambung yang sering diejeknya seperti rumput bergoyang, dulu. Tulisan seseorang yang pernah menghiasi hatinya walau sebentar tapi memeberikan bekas luka yang mendalam. Teh jahe Dzakia Ananda Putri yang sangat menawan hati Dzakia membalik lagi album foto yang masih dipegangnya. Berhenti pada satu episode dalam hidupnya. Gambaran lelaki yang sangat ingin dihapuskannya dari ingatan terpampang nyata di sana. Lelaki itu menyentuhkan telunjuknya tepat di pipi Dzakia. “Assalamu’alaikum…” sapa Pras pada Dzakia yang tengah memeriksa tugas siswanya di aula sekolah yang dijadikan ruang guru praktek mengajar oleh pihak sekolah. “Eh, wa’alaikum salam. Udah selesai ngajar Pras?” tanya Dzakia berbasa-basi pada pria yang dipanggilnya Pras itu. Lelaki dengan perawakan lembut itu tersenyum, “Udah. Dzakia nggak ada kelas hari ini?” “Ada, tapi cuma di jam pertama dan jam kedua doang.” Pras menganggukkan kepalanya, “Masih banyak kah tugas yang mau diperiksa itu?” tanyanya. “Iya nih, dua kelas lagi. Kenapa? Mau ngebantu?” ledek Dzakia karena ia tahu kalau lelaki bertubuh setinggi kurang lebih seratus enam puluh delapan centi itu benar-benar tidak tahu apapun tentang mata pelajaran bahasa inggris. “Positif, positif. Kayaknya dari semalam kenak terus. Habis lah lama-lama kalau gini, Kia…” ujar Pras tergelak. “Pras memang nggak suka sama pelajaran bahasa inggris ya?” Pras mengambil salah satu buku yang sudah selesai diperiksa Dzakia. “Bukan nggak suka sih. Udah pernah nyoba buat belajar, tapi sayangnya nggak masuk ke otak,” ujarnya polos. “Pelajaran kimia lebih nggak masuk di otak lagi kali Pras. Banyak banget senyawa yang harus diingat gitu,” Pras tertawa mendengar pengakuan Dzakia. "Nah itu luar biasanya kami, senyawa aja diingat, apalagi kamu..." godanya yang mendapat delikan mata oleh Dzakia. Pras semakin tertawa geli melihat respon Dzakia. Tersadar dengan niatnya, ia kemudian terdiam, “Oh iya Kia, sebenarnya ada yang mau aku omongin ke Dzakia.” Dzakia mengalihkan perhatiannya dari buku tugas siswanya. “Oh ya? Apa tuh?” “Kamu nggak apa diinterupsi kerjaannya?” tanya Pria berkulit kuning langsat itu dengan mimik wajah yang cukup serius. “Hmmm… nggak apa kok,” Pras membolak-balik buku tugas yang diambilnya tadi, “Hmm… jadi gini Kia. Jujur aja sebenarnya aku juga bingung mau ngomong dari mana. Tapi kan Kia…” Dzakia meletakkan penanya, menutup buku yang dipegangnya. Ia merasa apa yang akan dibicarakan Pras pasti sangat serius sehingga membuat lelaki yang biasanya terlihat tenang ini menjadi tegang. “Kia, gini… aku minta maaf sebelumnya. Aku bener-bener nggak tahu mau gimana lagi Kia. Aku udah bingung banget…” Dzakia mengerutkan dahinya, “Sebenarnya mau ngomong apa sih Pras? Kok minta maaf segala?” Pras menatap tepat di bola mata Dzakia, yang saat ini tengah membuka botol minumnya dan mencoba meneguk beberapa kali “Kia, kalau aku memintamu untuk jadi istriku….” Belum sempat Pras menyelesaikan ucapannya Dzakia sudah terbatuk, tersedak air karena terkejut oleh ucapan Pras. “Kia…” tegur Pras hati-hati. Dzakia menggelengkan kepalanya tak menyangka. Ia menutup botol minumnya dengan rapat. Menarik tisu dan mengelap beberapa tetes air yang ada di sudut bibir dan sedikit di pipinya akibat tersedak tadi. Dalam hati ia tak henti-hentinya beristigfar. Ia tidak pernah menyangka akan mendapat kejutan seperti ini dari Pras. “Tapi… tapi Pras…” Dzakia tergagap, tidak tahu harus berkata apa. “Kia… maaf kalau aku buat kamu bingung. Kamu boleh nggak jawab sekarang kok Kia. Aku tunggu Kia. Sekali lagi aku minta maaf karena buat kamu kaget kayak gini ya…” ujar Pras merasa bersalah. Dzakia mengangkat kepalanya, mencoba tersenyum. “Pras, Dzakia fikirin dulu ya. Maaf kalau kamu jadi harus nunggu.” “Iya, iya. Nggak apa kok Kia. Aku tau kamu pasti kaget. Sekali lagi aku minta maaf ya...” Pras menggaruk kepalanya bingung. Dzakia tak tau lagi harus berkata apa. Gadis berkerudung biru gelap itu hanya menganggukkan kepalanya kikuk. "Ehm.. kalau begitu... aku keluar dulu ya…” pamit Pras yang terlihat salah tingkah karena baru saja mengutarakan isi hatinya yang kembali hanya dibalas anggukan kepala oleh Dzakia. Dzakia memandangi Pras yang bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu keluar. “Allah… hamba harus apa????” tanyanya frustasi. Tangannya meremas ujung jilbabnya, bingung. Dia benar-benar merasa dikejutkan oleh ucapan pria bercelana goyang itu. ☻☻☻☻☻ Dzakia membuka amplop surat yang tadi diberikan Rika padanya. Amplop surat yang berisi biodata lengkap Pras. Dibukanya amplop itu bersama tiga rekan sekamarnya. “Jadi Pras anak paling besar toh,” komentar Anya. Dzakia menganggukkan kepalanya. Ahmad Prasetyo, anak sulung dengan seorang saudara laki-laki. Orang-orang terdekatnya biasa memanggilnya dengan panggilan Mas Yo, nama kecilnya yang lucu. “Kia, apa semua ta’aruf harus berujung dengan pernikahan ya?” tanya Rika ingin tahu. Dzakia menggelengkan kepalanya, “Enggak juga Ka. Banyak juga toh proposal ta’aruf diluaran sana yang nggak sampai jatuh di pelaminan. Kalau ta’aruf harus selalu berujung pernikahan, ngapain ta’aruf. Kenal sebentar, lalu menikah saja.” “Jadi ini sama aja dengan pacaran dong Kia? Cuma dibedain nama aja kan?” tanya Meira penasaran. “Beda Mei. Ta’aruf memang proses pengenalan juga, tapi beda dengan pacaran. Coba deh kalian bandingkan, selama kalian pacaran berapa sering diatur ini-itu sama pacar? Sering kan?” Tiga kepala didepannya mengangguk mengiyakan. “Nah, kalau ta’aruf hanya proses pengenalan saja. Tujuan akhirnya memang menikah, tapi bisa saja kalau ternyata selama proses pengenalan itu ada visi dan misi yang tidak sejalan, mereka boleh mundur. Jangan lupa juga sertakan alasan kenapa memilih mudur. Jangan sampai ada pihak yang merasa dirugikan. Intinya tujuannya tetap menikah, tapi proses menuju kesananya itu yang dijaga, jangan sampai nggak berkah.” “Kia, kalau aku boleh tau, kenapa kamu tolak lamaran Pras kemarin? Bukankah ini sama aja kalau tujuannya juga menikah?” tanya Anya pelan. Dzakia menundukkan kepalanya, menatap dalam kertas yang masih dipegangnya. Ia telah menceritakan apa yang ia dan Pras bicarakan di sekolah kemarin. Dengan saran beberapa teman, akhirnya ia memutuskan untuk menolak ajakan menikah dari Pras. Tak putus asa, Pras mengajukan permohonan untuk berta’aruf saja. Berharap setelah proses itu, ia dan Dzakia menjadi yakin dengan perasaan mereka masing-masing. “Dzakia dulu pernah hampir menikah, Nya. Setahun yang lalu. Lelaki itu teman dakwahnya Mas Satria. Dia menghadap langsung ke Mas Satria, meminang Dzakia. Tapi saat itu Mas Satria nggak ngomong ke mama dan papa. Dia memilih untuk ngomong langsung ke Dzakia, perkiraannya kalau Dzakia sudah mantap, barulah kami sama-sama menghadap mama dan papa. Lagi pula umur Dzakia masih dua puluh waktu itu. Hampir sama dengan ta’aruf sebenarnya yang kami jalani, namun kali ini perkenalan itu hanya sekedar aja, soalnya memang niat langsung menikah. Dia juga udah tahu banyak tentang Dzakia dari Mas Satria. “Ah ya, dia satu jurusan dengan Dzakia, hanya saja saat itu dia sedang nyelesaikan skripsinya. Dzakia juga bantuin dia nyusun-nyusun skripsinya itu karna kami satu jurusan. Beberapa bulan berjalan, skripsinya rampung. Kata orang sih berkat Dzakia juga karena dia udah telat satu semester waktu itu. Sayangnya ketika sesaat akan diwisuda, undangan untuk menghadiri wisuda itu tak kunjung datang. Dari beberapa teman, Dzakia mendengar kalau ternyata sudah ada wanita lain yang akan menjadi pendamping wisudanya, mereka bertemu wanita itu saat yudisium fakultas. Dzakia down nggak karuan, Mas Satria apalagi. Dia benar-benar menyesal. Makanya sebenarnya sampai sekarang Dzakia masih menata hati. Ada sedikit trauma yang membekas disini.” Terang Dzakia sambil memegang dadanya. Tangan Anya memeluk teman sekamarnya itu. “Yang sabar ya Kia. Semoga Pras nggak gitu. Aku lihat dia serius kok Kia. Buktinya dia nggak rela kamu nolak lamarannya sampai akhirnya kalian mutusin buat ta’aruf ini kan?” Dzakia menganggukkan kepalanya. Berharap segalanya berkah. ☻☻☻☻☻
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN