Rasyid kembali membaca alamat yang tertera di sana. Awalnya dia ingin pergi sendiri karena dia mengira ayahnya mengajaknya bertemu di mansion seperti biasanya. Tapi beberapa jam sebelum pertemuan mereka, ayahnya mengirimkan alamatnya yang tidak dia pahami tempat apa itu. Sehingga dia memutuskan untuk mengajak Dika.
“Kamu yakin ini alamatnya?” tanya Rasyid kepada Dika. Asistennya itu mengangguk. Keduanya menatap bangunan yang nampak tak terawat.
“Apa hapenya Papa dibajak dan kita dijebak di sini?” tanya Rasyid mendadak membuat Dika kaget. “Waduh, sialan kenapa kamu baru bilang sekarang tau gitu kan kita minta Oman selidiki dulu alamat ini,” kata Dika panik.
Tapi tak lama ponsel Rasyid berdering dan menunjukkan nama ayahnya. Meskipun ragu tapi akhirnya dia mengangkat panggilan itu.
“Kamu dimana? Kalo sudah di depan gerbang kabari ya, sebutkan passwordnya di intercom ‘Barrack Ar Madin’ nanti pintunya kebuka,” kata Papa Alfin.
Rasyid turun dan Dika mengikutinya. Rasyid mengikuti apa yang ayahnya katakan dan benar saja pintu gerbang itu terbuka. Rasyid menutup panggilannya dan mengedarkan pandangan untuk melihat tempat apa ini sebenarnya.
Pandangannya tertuju pada satu pintu coklat yang nampak terawat dibanding yang lainnya. Pria itu berjalan ke pintu itu dan dia menemukan mesin sidik jari di sana.
Rasyid meletakkan jempolnya di sana dan terdengar bunyi pintu terbuka. Keduanya saling tatap dan Dika bersiap dengan ponselnya mode merekam sedangkan Rasyid menggunakan ponselnya untuk menyalakan senter.
Keduanya melangkah perlahan dan secara otomatis lampu di sana menyala. Rasyid memutuskan mematikan senter di ponselnya dan mengikuti kemana jalan ini membawanya. Keduanya sampai di persimpangan berbentuk Y.
“Kanan apa kiri?” Rasyid menoleh kepada Dika mana yang harus dia pilih. “Senengnya kamu aja yang mana,” kata Dika dan Rasyid memutuskan untuk ambil jalan ke kanan.
Menyusuri jalan di lorong itu sampai keduanya menemukan pintu berwarna silver. Rasyid mengulangi hal sama tapi kali ini ditambahkan pemindai retina. Dia melakukan itu dan pintu itu terbuka.
Mereka masuk dalam satu ruangan yang dikelilingi kaca tapi di bawah ruangan itu terlihat aktivitas orang menambang emas. Dika yang kaget langsung menempelkan wajahnya di kaca itu dan melihat gunungan emas yang ada di sana. Dia yakin jika gunung emas itu bisa membuatnya jadi billionaire mendadak.
“Astaga tempat apa ini sebenarnya?” tanya Dika masih kaget dan tak percaya.
“Tambang rahasia keluarga Ar Madin yang tak diketahui siapapun termasuk Sophia dan Nenek Isna,” sahut suara seorang pria yang familiar bagi keduanya.
“Salam Tuan Ar Madin,” ucap Dika begitu melihat Alfin Ar Madin muncul di salah satu lorong yang ada di sana. Rasyid memandang curiga kepada ayahnya tapi ayahnya cuek dan meminta Rasyid mengikutinya.
Kali ini mereka mengikuti kemana ayahnya berjalan dan mereka ada di satu ruangan yang menunjukkan semua aktivitass pertambangan emas tapi secara modern. Dia meyakini jika tambang ini memang milik Ar Madin pribadi, sebanyak apapun mereka menguras hartanya tidak akan pernah habis selama tambang ini masih hidup.
“Mungkin Marques menyadari soal tambang ini, karena itu dia selalu mengejar keluarga Ar Madin atau mungkin Fukuda yang paham adanya keberadaan tambang ini,” ucap Papa Alfin duduk di sofa yang ada di ruangan itu.
“Apa maksud Papa?” tanya Rasyid yang duduk di sebrang ayahnya dan Dika lebih memilih berdiri sama seperti asisten Alfin.
“Dulu Kakekmu Barrack Ar Madin berniat membangun small city di sini, tapi belum sempat terwujud Kakek menemukan butiran emas di salah satu tanahnya. Lincoln tak menyadari hal ini sampai dia tahu jika Kakekmu menunda pembangunan dan menunggu tim ahli untuk menyelidikinya,” kata Alfin.
“Setelah itu Kakek tahu jika di area ini terdapat kandungan emas dan memutuskan untuk mengembalikan uang investasi Lincoln demi menghindari keserakahan Lincoln. Perlahan Kakek membangun tambang ini dan memproduksi emas dan mendirikan perusahaan sendiri dengan sebagian area yang dilaporkan, seperti yang kamu tahu,” kata Alfin.
“Tapi sebenarnya tambang itu seluas dan sedalam ini,” kata Rasyid memastikan dan Papanya mengangguk. “Jadi Papa ngajak ketemu buat nunjukin semua ini dan meminta aku mengelolanya,” kata Rasyid dan ayahnya mengangguk lagi.
“Naluri dan logikanya seperti itu, tapi kejadian akhir-akhir ini membuatku gelisah dan mengkhawatirkan semuanya,” ucap Papa Alfin.
Rasyid mengerutkan dahinya, “Kejadian apa?” tanya Rasyid tak mengerti.
“Pertunanganmu dengan Laila yang kamu batalkan, wanita pilihanmu yang jadi istri orang, bahkan sekarang kamu menugaskan Edgar orang kepercayaanmu untuk menjaga wanita itu yang sebenarnya tak ada artinya untukmu,” kata Papa Alfin.
Dika menelan ludahnya pahit, sepertinya dia merasa aka nada perang darah di sini karena ucapan itu. Rasyid menyandarkan tubuhnya di sofa, melipat kakinya dan menatap ayahnya tajam.
“Sejak kapan Papa terlalu peduli dengan urusan pribadiku dan siapa wanita yang aku pilih,” sindir Rasyid.
Alfin menghela napas, “Aku tidak ingin tambang ini dimiliki anak yang bukan dari garis keturunan Ar Madin. Dan Papa yakin kamu akan memberikan tambang ini kepada anak Asmara itu kan karena dia anak pertama jika nanti kamu menikahinya,” kata Alfin.
Rasyid mengerutkan dahinnya dalam, bagaimana bisa ayahnya berpikir sejauh itu, sedangkan dia saja tidak tahu kapan dia akan menikah dengan Asmara.
“Kapan aku bilang kalo aku bakal menikahi Asmara?” sahut Rasyid enteng. Alfin berdecak keras, “Jika kamu tidak akan menikahinya kenapa kamu harus peduli kepadanya,” timpal Papa Alfin.
Rasyid mulai kesal, “Sebenarnya apa sih yang mau Papa bilang ga usah ribet dan bawa-bawa Asmara dalam hal ini,” ketus Rasyid.
“Papa tidak akan memberikan tambang ini kepadamu jika kamu memutuskan untuk menikahi Asmara,” sahut Papa Alfin tanpa ragu.
Rasyid memijat keningnya, “Ga masalah, kasih saja ke orang lain aku tak peduli,” kata Rasyid dan berdiri dari sana berlalu dari hadapan papanya. Sedangkan Dika yang mendengar ucapan itu kaget dan tak menyangka jika sahabatnya ini membuang peluang sebesar ini.
“Raassyiiid!” teriak Papa Alfin.
Rasyid menghentikan langkahnya, dia menunggu apa yang ayahnya ucapkan tapi enggan untuk berbalik.
“Dan seluruh harta Ar Madin,” kata Papa Alfin.
Kedua asisten yang ada di sini kaget mendengarnya dan menatap reaksi tuan Alfin mengenai hal ini, siapa tahu ini hanya gertakannya saja, tapi wajah serius itu membuat mereka yakin jika ini bukan hanya gertakan.
Rasyid berbalik, “Apa yang sebenarnya Papa inginkan selain pernikahanku dengan Laila?” tanya Rasyid cepat.
“Keturunan Ar Madin yang bisa dipercaya,” jawab Papa Alfin.
Rasyid terkekeh mendengarnya, “Kalau begitu coret saja aku dari kertu keluarga, karena aku tidak bisa dipercaya,” timpal Rasyid enteng.
Alfin berdiri dan ganti menatap anaknya tajam. “Jadi sekarang kamu lebih memilih bersama wanita itu daripada keluargammu yang sudah memberi kamu kehidupan selama ini,” seru ayahnya dan Rasyid mengangguk.
“Jika boleh jujur, aku ingin memilih untuk tidak terlahir dari keluarga Ar Madin,” desis Rasyid tak kalah sengit.
Alfin menghela napas, dia merasa jika membantah anaknya kali ini terasa sia-sia. “Jika kamu merasa terhina karena lahir dari keluarga Ar Madin, buktikan jika pilihanmu itu bisa membuatmu memiliki keturunan yang membanggakan,” kata Alfin.
Rasyid diam.
“Jika kamu bisa membuatnya mencintaimu, tambang ini milikmu dan setengah kekayaan Ar Madin,” ucap ayahnya. “Tapi hanya jika dia yang mencintaimu, bukan kamu yang mencintainya,” tekan Papa Alfin.
Rasyid menatap ayahnya tajam.
“Jika dia yang mencintaimu maka dia tidak akan peduli dengan apa yang kamu miliki, cukup kamu balas mencintainya. Tapi akan berbeda jika kamu yang mencintainya, maka kelakuanmu akan seperti ini, meninggalkan Ar Madin,” ucap Papa Alfin tajam.
Rasyid berdehem. Tatapannya penuh arti kepada ayahnya, lalu dia menarik sudut bibirnya. “Aku akan berikan keturunan yang Papa inginkan dan aku punya satu kandidat yang bisa melakukannya. Tunggu saja,” desis Rasyid.
Pria itu berbalik dari sana dan meninggalkan tempat itu tanpa berpamitan kepada ayahnya. Dika yang mengemudikan mobil mereka sesekali menatap Rasyid yang diam saja sejak pertemuannya dengan ayahnya.
“Jadi sekarang kamu akan menggunakan Asmara sebagai jalan untuk menerima tantangan ayahmu,” ucap Dika mulai kepo karena dia penasaran dengan apa yang ada dalam pikiran sahabatnya ini.
“Mungkin, tapi sebenarnya tanpa Papa minta itu, hanya Asmara yang akan kau bawa jadi menantu Ar Madin, terlepas dia akan mencintaiku atau tidak,” ucap Rasyid yakin.
“Sebenarnya apa sih yang kamu lihat dari wanita itu, jujur aku ga ngerti deh meskipun aku banyak kenal wanita tapi aku tak tahu apa yang spesial di mata kamu dengan kondisi Asmara yang seperti itu,” urai Dika.
“Kamu tidak akan tahu sampai kamu bicara dan menatap dalam sorot matanya. Tapi aku yakin jika dia bukan seperti wanita pada umumnya yang hanya melihat diriku dan nama Ar Madin di belakangku,” kata Rasyid menerawang.
“Hanya karena kamu ditolak sekali, bukan berarti dia tak menginginkan harta dan tahtamu sebagai Ar Madin bukan? Menurutku dia akan mempertimbangkan untuk menerimamu jika tahu siapa Ar Madin itu sebenarnya,” ucap Dika.
“Mau taruhan denganku,” goda Rasyid.
“Taruhan apa?” tanya Dika penasaran.
“Jika apa yang kamu bilang itu benar, jika Asmara sama dengan wanita lain setelah tahu aku keturuan Ar Madin, maka 30% saham World Biz buat kamu dan pengelolaan penuh setara denganku sebagai Owner,” tantang Rasyid tanpa ragu.
Dika langsung menghentikan mobilnya karena kaget. Tawaran itu tak bisa dianggap sepele hanya untuk mengetahui siapa Asmara sebenarnya.
“Gila lu, itu ga sebanding,” seru Dika tak percaya.
“Bagiku itu sebanding, karena begitu nanti Asmara jadi milikku, aku akan lebih banyak dengannya dan tak ingin mengurus soal bisnis lagi,” kata Rasyid dengan wajah ceria.
“Fix, elu udah bucin,” kata Dika cepat.
Rasyid menggeram, “Itu bukan bucin, tapi menghargai kehadirannya di sisiku bodooh,” timpal Rasyid.
“Whatever,” kata Dika dan kembali melajukan mobilnya.
“Terus kalo aku kalah, aku kasih apa?” tanya Dika kemudian karena masih penasaran dengan taruhan yang kelewat absurd ini.
“Pergi dari rumahku dan cari jodoh lu, biar ga jadi tunawisma,” kata Rasyid sambil tertawa. Dika berdecak mendengarnya.
“Serius sableng ini,” kata Dika kesal.
Rasyid memikirkan satu hal, “Iya elu harus nurut lah sama Bos baru,” kata Rasyid santai.
Dika yang bingung mengerutkan dahinnya. “Bos baru, siapa?” tanya Dika bingung.
Rasyid melirik sahabatnya itu dan menyebutkan satu nama. "Asmara Ar Madin," ucapnya penuh keyakinan.
Dika terbelak dan kembali menghentikan mobilnya. Dia menatap bosnya dengan tatapan penuh penasaran. "Jadi udah serius mau diperjuangkan?" Dika masih tak percaya dengan apa yang dia dengar barusan.
"Deal or no deal?" tanya Rasyid memilih tak menjawab hal itu.
"Deal."
******