Pembicaraan waktu itu mengenai penugasan Edgar untuk menjaga Asmara masih belum ada pembahasan lebih lanjut karena kasus kebakaran perkebunan yang mereka alami.
Ketiganya disibukkan dengan urusan asuransi, penggantian kerugian dan pembenahan ulang mengenai masalah itu sampai akhirnya mereka lupa urusan mereka dengan Asmara. Padahal mereka juga tinggal di Indonesia bukan di Dubai.
“Gila, energy di otak kita terkuras sempurna ngurusin macam ini,” keluh Dika kala mereka menikmati makan siang di salah satu tempat di tepi pantai untuk melepas lelah.
Rasyid diam tak berkomentar hanya memandang laut yang bergelung dengan ombak. Edgar melirik ke arah Dika untuk memberi kode jika tuannya sedang tak fokus dengan kehadiran mereka di sini.
“Makan dulu Bro, ntar ikannya balik hidup lagi nyemplung di laut kalo elu cuekin gini,” kata Dika sambil menggoyangkan tubuh Rasyid membuat pria itu menoleh dan memalingkan pandangannya dari laut.
Rasyid menikmati makanannya dengan enggan tapi dia seakan memaksa dirinya untuk makan demi energy yang dia butuhkan untuk bertahan dalam situasi ini.
“Kasus ini sempat diselidiki oelh polisi Bos dan memang ada oknum yang membakar kebun kita dengan sengaja, tapi sayangnya orang tersebut tidak mengaku siapa yang menyuruhnya. Dia hanya mengatakan jika kesal dengan manajemen kita yang seenaknya,” lapor Edgar.
Dika menggeleng tak percaya dengan apa yang dia dengar. “Orang-orang seperti itu tak memikirkan efek gunung es yang mereka hasilkan dari perbuatan tak bermoral macam itu. Sedangkan kita sudah menyediakan wadah menyalurkan aspirasi kalopun mereka tak setuju dengan system kita,” komentar Dika.
“Apa kamu yakin cuma itu aja?” kata Rasyid. Edgar mengangguk, “Benar Bos, orang tersebut benar-benar tak mengatakan apapun meskipun dipaksa. Dia memang bekas karyawan yang pernah di phk oleh salah satu manajemen kita,” urai Edgar.
Rasyid hanya menghela napas mendengarnya. Kerugian yang mereka derita memang mencapai milyaran rupiah. Tapi angka itu memang tak besar bagi Rasyid. Namun, efek domino atau gunung es yang ditimbulkan itu yang lebih besar.
Contohnya, insiden ini mereka harus menghitung ulang berapa bulan mereka tak bisa beroperasi karena hal ini. Dan berapa jumlah karyawan yang harus tetap dibayar.
Harga perkebunannya saja mungkin hanya puluhan milyar, tapi nilai pertanggungan asuransi bagi karyawan dan merancang investasi baru bisa lebih dari puluhan milyar.
Layaknya teori gunung es, hanya terlihat bongkahan kecil di atas permukaan. Tapi sebenarnya ada bongkahan besar yang menopangnya dari dalam. Sehingga orang lain menganggap jika kondisi yang terjadi di depan mata hanya masalah kecil tapi sebenarnya efek di dalam atau internal sendiri jauh lebih besar untuk memunculkan masalah yang tampak dari luar.
“Apa Tuan Ar Madin tak menanyakan masalah ini sama sekali?” tanya Dika penasaran membuat Rasyid menatap sahabat sekaligus asistennya itu.
Rasyid hanya mengangguk, “Papa sempat bertanya, tapi aku bilang World Biz masih bisa menangani lagipula kita sebagai owner hanya repot masalah klaim asuransi aja kan,” kata Rasyid.
Tapi sebenarnya bukan seperti itu yang ingin Dika tahu tapi makna di bali peristiwa ini. Rasyid menyadari jika Dika masih menatapnya penuh tanya.
“Jika kamu berpikir karena masalah ini, Papa akan membantu dengan imbalan menikah dengan Laila, maka kamu salah besar. Beliau tidak akan seperti itu meskipun menjengkelkan di mataku,” timpal Rasyid.
Hening.
Ketiganya menikmati makan siang mereka sambil menikmati suara debur ombak.
“Rencanaku beberapa waktu lalu soal penugasanmu menjaga Asmara akan tetap berjalan setelah masalah ini selesai,” ultimatum Rasyid membuat Edgar tersedak.
Dika yang melihatnya menyodorkan minum dan Edgar mengangguk untuk mengucapkan terima kasih. Edgar menghabiskan minum itu dalam satu teguk. Dan menatap bosnya itu keberatan.
“Tapi Bos, itu tetap tidak mungkin. Apa tidak sebaiknya Bos diskusi dulu dengan Tuan Ar Madin,” ucap Edgar menyatakan keberatannya.
Rasyid langsung menatap tajam pengawalnya itu. “Kenapa aku harus melakukan itu, kamu kan pengawalku dan sudah lama denganku meskipun awalnya memang Papa yang membawamu kepadaku,” protes Rasyid.
“Selain karena kamu ingin menikahinya, alasan apa yang membuatmu mengambil keputusan yang besar ini?” tanya Dika menengahi keduanya.
Rasyid kaget tapi kemudian dia mengubah ekspresinya dengan mengerutkan dahinya, “Siapa yang mau menikahi Asmara?” tanya Rasyid balik menyembunyikan perasaannya.
Dika bengong dan berdecak keras, “Kamu sendiri yang bilang sebelum pergi ke Indonesia. Tanya sama Edgar, dia juga dengar waktu itu,” ucap Dika sambil melirik Edgar dan pengawalnya itu mengangguk.
Rasyid diam. Kali ini sepertinya dia tak sengaja mengungkapkan apa yang dia rasakan. Sekarang dia berpikir bagaimana caranya melarikan diri dari semua ini atau memang tak perlu.
“Apa kamu mulai menyadarinya jika kamu mencintainya?” tanya Dika penasaran tapi nadanya menggoda.
Rasyid hanya berdehem lalu menggeleng. “Aku tidak mencintainya, aku hanya ingin menjaganya dari kejahatan Marques yang kita tak tahu apa yang akan dia perbuat nantinya,” kilah Rasyid.
“Apa kamu ga kasihan sama Edgar jika dia jagain Asmara, kerjaannya kan cuma jadi bayangannya Asmara. Beda kalo kamu ngomong langsung sama Asmara dan Edgar menjaga di sampingnya kaya kamu gini itu pasti lebih baik karena kemampuan Edgar bukan untuk jadi pengawas seperti itu,” bela Dika.
Rasyid menatap Dika dengan tatapan tajam dan menusuk. “Aku ga bilang Edgar menjaga Asmara seperti yang sekarang dilakukan. Tapi Edgar memang harus terlibat dalam kehidupan Asmara menggantikan diriku sampai waktunya tiba,” kata Rasyid santai.
“Caranya?” tanya keduanya hampir bersamaan.
Rasyid menarik salah satu sudut bibirnya. “Teknisnya kalian pikir sendiri kenapa harus aku juga yang memikirkannya,” jawabnya santai sambil menyendok makanannya dengan semangat.
Sedangkan kedua orang kepercayaannya di sana bengong tak bisa berkata apa-apa. Edgar sampai menumpukan kepalanya di meja karena mendadak dia pusing memikirkan apa yang nantinya harus dia lakukan.
***
Empat bulan lamanya mereka ada di Indonesia, semua urusan mengenai kebakaran perkebunannya sudah beres dan sebagian ganti rugi juga sudah selesai dibayarkan. Edgar juga sudah menanyakan hal ini kepada Oman dan memang kejadian ini murni tindakan dari individu tidak ada kaitannya dengan Marques.
“Besok kita ke Dubai lewat Jakarta saja,” kata Rasyid di sela makan malam mereka di hotel tempat mereka menginap. Dika dan Edgar tak membantah apa yang diucapkan Rasyid.
“Dan Ed, kamu tidak perlu ikut kita ke Dubai, sesuai yang aku bilang karena urusan di sini beres maka kamu tetap di sini untuk menjalankan tugasmu,” perintah Rasyid.
Edgar diam, rasanya dia ingin sekali menolak dan membantah semuanya tapi dia sudah kehabisan cara untuk ini. Hanya helaan napas yang terdengar darinya.
Keesokan harinya mereka sampai di Jakarta, Rasyid meminta supirnya untuk mengantarkan ke rumah Asmara. Rasyid memandang rumah yang sekarang Asmara tempati. Meskipun tak sebesar miliknya tapi tempat ini lebih baik daripada rumahnya yang dulu sebelum nikah.
Edgar turun dari mobil karena dia melihat ada mobil anak buahnya di sana. Mereka bicara sebentar lalu dua anak buah itu menghampir Rasyid yang masih anteng dalam mobil.
“Sudah sebulan ini Nona Asmara tinggal sendiri Tuan Muda, suaminya pergi ke Semarang menggunakan kereta. Jadwal seharusnya besok dia akan datang, tapi entahlah ini sudah ketiga kalinya tak tepat waktu,” lapor pengawal 1.
“Dari pantauan anggota yang lain, dia bersama dengan Sinta di Semarang selama ini Boss,” tambah Edgar. Dika yang mendengarnya hanya bisa menghela napas.
“Kumpulkan semua bukti selama beberapa bulan ini terutama poin-poin penting dimana suami tak bertanggung jawab itu meninggalkan dia,” perintah Rasyid dan keduanya mengangguk.
“Mulai sekarang Edgar akan ikut bersama kalian,” tambah Rasyid membuat keduanya kaget dan saling pandang. Tapi mereka juga tak bisa membantah apa yang sudah Rasyid putuskan.
Di saat mereka melaporkan banyak hal kepada Rasyid, Dika melihat seseorang berdiri di balkon. Dika mencolek Rasyid dan mengarahkan pandangannya ke arah balkon. Rasyid mengikuti arah pandang Dika dan dia menatap sosok itu lama.
Rasyid lupa kapan terakhir kali melihat wanitanya itu. Kini, dia nampak lebih berisi dengan perut buncitnya. Entah kenapa Rasyid tertuju pada perut Asmara yang nampak menggemaskan dan ingin sekali dia elus.
Tapi kenikmatannya itu terganggu tatkala melihat wajah sedih Asmara yang nampak sedang memikirkan sesuatu. Rasyid memejamkan matanya sesaat untuk meredakan perasaan campur aduk dalam dirinya.
“Aku semakin yakin kalo dia sebenarnya tak bahagia dengan pernikahannya,” bisik Dika di belakang punggung Rasyid yang masih sibuk menatap Asmara.
“Aku tahu,” lirih Rasyid.
“Apa karena itu kamu ingin menggantikan peran suaminya dan membuatnya bahagia?” cecar Dika.
Rasyid mengangguk, “Salah satunya, dia berhak bahagia Dik,” jeda Rasyid.
“Aku tak peduli jika Marques membuatku harus bergantung kepadanya, tapi aku tak bisa membantah jika aku memang ingin membuatnya bahagia,” kata Rasyid.
“Saat ini pandanganku hanya fokus kepadanya,” ucap Rasyid dalam bersamaan dengan air mata yang keluar dari pelupuk mata Asmara.
***
Satu bulan setelah dia kembali ke Dubai dan kembali disibukkan dengan segudang pekerjaannya. Selama Edgar tak ada, Sirius diminta menggantikan tugasnya sementara menjaga Rasyid.
Satu hal yang membuat Rasyid sadar jika Asmara telah banyak mengubahnya adalah hobinya untuk menghabiskan malam bersama wanita sudah tak ingin dia lakukan, bahkan sekedar maen ke klub malam untuk minum pun tidak ingin dia lakukan.
Entah kenapa setiap dia ingin melakukan dengan seorang wanita, bayangan Asmara muncul disertai dengan lelehan air mata yang membuatnya tersiksa dan membuat hasratnya hilang seketika.
Dika masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu, Rasyid yang massih sibuk membaca dokumen yang ada di hadapannya paham siapa yang datang jadi dia tak ada keinginan untuk mendongak.
“Hapemu kemana?” tanya Dika cepat dan menarik kursi yang ada di hadapan Rasyid. Pria itu menoleh dan menunjukkan posisi ponselnya dengan matanya.
“Terus kenapa bapakmu itu berisik nelpon aku kalo hapemu di sampingmu begini,” kelih Dika kesal. Rasyid mengalihkan pandangannya, “Papa nelpon kamu juga?” tanya Rasyid polos.
Dika berdecak, “Iye, ngeselin beud, dikiranya kan aku yang ga nyampein pesan, padahal sejuta kali aku udah ngomong sama kamu,” kata Dika.
“Belum ada sejuta, kan kamu baru ngomong minggu lalu,” sahut Rasyid polos dan membuat Dika geram.
“Temuin sana kek, biar ga berisik nih di kupingku,” Dika seenaknya menyuruh Rasyid.
Rasyid diam, menutup map, meletakkan pen, memutar kursinya ke samping lalu berdiri dan berjalan di samping Dika. Pria itu melipat tangannya di d**a. Ayahnya memang sudah menelponnya beberapa hari sejak kedatangannya ke Dubai, tapi minggu lalu entah apa sebabnya ayahnya jadi lebih berisik untuk minta bertemu.
“Kamu aja yang ketemu, kalo Papa marah baru aku yang temui, tapi weekend ini aja,” kata Rasyid santai dan berjalan keluar ruangan.
******