Keesokan paginya, Rasyid sudah duduk di meja pantry, dia mengenakan kemeja batik dan celana coklat muda, seperti kostum untuk pergi ke acara nikahan pada umumnya. Di hadapannya ada undangan berwarna biru.
Dika yang baru datang dari tempat gym kaget melihat temannya sudah rapi dan mengenakan baju batik seakan dia mau pergi ke acara pernikahan.
“Kamu mau datang ke nikahannya Asmara?” celetuk Dika sambil mengambil minum dan menghabiskannya dalam sekali teguk. “Hey, aku nanya bukan ceramah, diam bae,” ucap Dika sambil memukul punggung Rasyid.
“Hey, jangan pegang-pegang, tanganmu kena keringat nanti bajuku kotor!” teriak Rasyid cepat. Dika hanya bengong dengan respon sahabatnya itu. Fix, dia yakin otak Rasyid udah geser gegara Asmara.
“Aku ga datang ke sana, cuma mau menghormati dia aja yang mau menikah,” kilah Rasyid. Dika menggeleng pelan dan makin absurd. “Ayo datang, aku temenin, lima belas menit lagi siap, paling ga kita bisa makan es pudding di sana,” timpal Dika pergi dari sana.
Rasyid melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Acara pernikahannya akan dimulai dua jam lagi, dia tak bisa berbohong ada perasaan tak rela, tapi dia tak tahu rasa itu untuk apa.
Apa dia merasakan ini hanya karena dia tahu jika calon suaminya orang vrengsek yang dia kenal. Bisa juga karena rasa bersalah di saat dia tahu semua kenyataan tentang kehidupan Asmara tapi dia diam saja.
‘Jika saja keberanian itu datang lebih cepat, aku akan mengatakan semuanya kepadamu dan tak peduli jika nantinya kamu membenciku. Setidaknya kamu selamat dari lelaki biaadab macam dia,’ batin Rasyid menyesal.
Edgar membuka pintu apartemen tergesa dan membantingnya membuat Rasyid menoleh. Saat yang bersamaan Dika yang sudah siap berjalan ke pantry untuk menghampiri Rasyid kaget dengan suara itu.
“Emang masuk ga bisa pelan-pelan gitu, kaya orang ngamuk aja lu,” keluh Dika dan Edgar hanya menunduk sekilas dan dia menghadap Rasyid.
“Bos, harus tahu soal ini,” ucap Edgar cepat dengan napas tak teratur. Rasyid yang melihat Edgar ngos-ngosan merasa iba dan memintanya untuk tarik napas dan minum dulu.
“Lupakan soal itu, Bos harus liat ini, penting,” kata Edgar yang menolak tawaran Rasyid dan dia menyodorkan tablet kepada Rasyid.
Dika yang penasaran ikut bergeser dan membaca tulisan yang ada di tablet itu. Rasyid langsung membulatkan matanya dan menatap Edgar menuntut penjelasan semua ini.
“Siapa yang ngasih informasi ini?” tanya Rasyid dengan suara tinggi.
“Bang Oman,” kata Edgar cepat.
Rasyid mengambil ponselnya dan segera menelpon Oman. Setelah dering ketiga Oman baru mengangkat telponnya dan dia meluapkan kekesalannya.
“Vangke, elu baru ngomong soal ini sekarang, kenapa ga nelpon aku dan ngomong sendiri, begooo!” umpat Rasyid dengan napas menderu.
Oman hanya menghela napas, “Usb yang aku kasih berarti ga kamu buka, taruh dimana bego, elu kira nyari info gitu ga susah apa!” gantian Oman yang mengeluh.
Rasyid bungkam.
“Aku buka tapi ga ada keterangan soal ini, cuma ada file soal Papa dan Kakek,” lirih Rasyid yang emosinya langsung terjun bebas.
“Di file ketiga semuanya ada dan file ketiga itu soal dirimu. Aku udah curiga kalo kamu ga terima usb yang aku kirimkan sampai Edgar yang nelpon aku semalam untuk nanyain semua ini, aku baru tahu ternyata begomu kebangetan,” kata Oman kesal.
Rasyid menjambak rambutnya kesal dan mengusap wajahnya berkali-kali. Dia menyadari kebodohannya yang melewatkan informasi penting macam ini.
“Sekarang gimana?” tanya Rasyid putus asa.
“Dia udah nikah kan? Ya udah mau gimana lagi, semua terserah kamu sekarang, jujur kita udah terlambat juga dan gimana caranya kamu bisa menghentikan semua ini kalo pernikahan ini tujuan Marques sebenarnya,” kata Oman.
Rasyid menutup panggilannya dan membanting ponselnya begitu saja. Ada sesak di dadanya yang tidak bisa dia ungkapkan dan lepaskan semuanya.
Puluhan tahun dia hidup baru kali ini dia merasa menyesal dan ragu dalam hidupnya. Dan imbas dari semua itu adalah kehidupan orang lain yang tak lain adalah Asmara.
“Aaaarrrgggggghhhh,,,Vreenggseeekk!!” umpat Rasyid kesal memukul meja pantry di hadapannya tapi sayangnya tangannya harus kembali berdarah karena tindakannya itu.
Pria itu meluruh ke lantai dengan sendirinya, Dika dan Edgar yang melihatnya tak bisa berbuat banyak selain membiarkannya begitu saja. Karena memang tak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk mengakhiri semua ini.
Dika kembali mengambil kotak P3K yang akhir-akhir ini laris digunakan untuk Rasyid. Dika jongkok di depan Rasyid dan menarik tangannya yang terluka.
“Tenangkan dirimu dulu, masih ada tiga puluh menit jika memang kamu ingin bertindak. Even, one minute jika memang takdirnya, kamu bisa membantu mengubahnya,” kata Dika pelan.
Rasyid hanya diam menunduk, otak pintarnya dan segala trik yang bisa dia lakukan mendadak macet dan hanya deru napas kesal yang dia dengar.
“Bagaimana aku bisa melewatkan hal sekecil ini dan sepenting ini. Sepertinya aku tidak bisa meremehkan Marques dalam hal ini,” ujar Rasyid lirih dengan suara parau.
Dika janggal mendengarnya dan dia memegang pundak Rasyid setelah membalut luka di tangan sahabatnya itu. Rasyid mendongak dan Dika membola melihat kondisi Rasyid.
Puluhan tahun Dika hidup bersama dengan sahabatnya dia tak pernah melihat Rasyid dalam kondisi seperti ini bahkan saat Nima meninggalkannya pun dia tak melihat Rasyid dari sisi seperti sekarang.
“Ada apa denganmu Ras?” hanya itu yang bisa Dika ucapkan karena dia sendiri tak tahu kenapa temannya ini bisa begitu sensitif. Dika melihat bulir bening di ujung mata Rasyid dengan mata memerah menahan tangis.
Rasyid menangis.
Menangis.
Dika menarik temannya itu dalam pelukannya, orang awam bisa melihat mereka seperti pasangan homo. Tapi Dika tak peduli karena sahabatnya lebih membutuhkannya daripada cacian orang.
“Bagaimana aku bisa hidup tenang jika semua yang dialami Asmara karena diriku?” lirih Rasyid dengan suara serak yang makin kentara.
“Pikirkan baik-baik Ras, semua ini pasti ada hikmahnya dan kamu pasti bisa mengatasinya. Meskipun semua ini salahmu tapi bukan berarti kamu tak bisa memperbaikinya atau mengurangi keburukan itu bukan,” ujar Dika memberi semangat.
Rasyid terdiam mendengar ucapan sahabatnya. Pikiran melayang kemana-mana dan dia menemukan satu hal. Dia hanya perlu memperbaiki atau mengurangi kesalahan itu. Benar, dia hanya tinggal memilih mau melakukan apa.
Rasyid melepaskan pelukan mereka dan berdiri. “Ayo kita datang ke pernikahan Asmara, kita lihat apa yang bakal dilakukan Marques kali ini,” ucap Rasyid penuh keyakinan.
Dika tersenyum dan mengangguk, bagi dia kesulitan apapun itu Rasyid pasti bisa mencari jalan keluar, cepat atau lambat. “Ed, siapkan mobil,” kata Dika.
“Satu lagi Ed, mulai sekarang siapkan pengawal safari untuk Asmara, dua puluh empat jam!” perintah Rasyid dengan tatapan menuntut.
Edgar diam.
Bukannya dia tak mengerti dengan pengawal safari. Tapi jika dia sudah mengeluarkan pengawal safari itu artinya tanda bahaya dan dia harus mengerahkan orang-orang terbaiknya. Karena pengawal safari pandai menyamar jadi keberadaannya hampir tak bisa diketahui ada dimana.
“Baik Bos,” ucap Edgar karena pada akhirnya dia harus menuruti kemauan Bosnya dan Edgar melesat pergi menyiapkan mobil untuk mereka.
Ketiganya sudah sampai di acara pernikahan Asmara yang sudah berjalan beberapa saat. Rasyid berdiri di dekat panggung tempat Asmara dan Devio berfoto bersama para tamu undangan.
Tatapannya tak berkedip sedikitpun melihat penampilan Asmara yang harus dia akui sungguh cantik dan nampak berbeda. Dika sambil memegang es pudding berdiri di samping Rasyid.
“Coba dari dulu kamu rebut, bodoh deh soal cinta apa enggak. Aku yakin elu yang berdiri di sana sekarang dan dia ga mungkin memiliki ekspresi semacam itu,” kata Dika santai.
Rasyid menghela napas.
“Aku kira hanya diriku yang tahu kalo dia tak bahagia di sana,” timpal Rasyid.
Dika berdecak dan menyendok esnya, “Cuma orang asing dan tak peka yang bisa berpikir dia bahagia dengan pernikahannya, termasuk calon suami, eh salah suaminya sendiri,” kata Dika tanpa dosa.
“Kita mulai dari mana untuk mengibarkan bendera perang kepada pria tak tahu diri itu?” tanya Rasyid sekaligus mengetes kemampuan cepat tanggap Dika.
“Elu mau hajar Devio, Andi apa Marques? Yang mana dulu nih?” tanya Dika balik. Rasyid diam tak berkomentar.
“Fokus sama Marques dan Asmara aja, pastikan aja tidak ada satu orang pun yang akan mencelakainya. Andi hanya mengikuti apa yang Marques katakan, sedangkan Devio kamu teckling aja dia udah mampus,” saran Dika.
Rasyid masih diam menatap Asmara. “Aku masih ga bisa mikir, otakku macet,” timpal Rasyid.
“Marques memang bisa nekat, tapi aku yakin dia bukan tipikal orang gegabah, tapi tetap aja sih licik dan susah ditebak,” urai Dika.
Rasyid menoleh kepada Dika, “Bagaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Rasyid tak mengerti.
Dika berdehem sebentar, “Kriminal macam apa menggunakan kelemahan orang dan wanita untuk menyalurkan dendam kepada musuhnya. Bukankah itu buang-buang waktu dan lebih cepat dia datang dan menembaak habis semua keluargamu, kecuali satu hal,” kata Dika yakin.
“Satu hal, apa itu?” tanya Rasyid mengerutkan dahinya tak mengerti.
“Sebenarnya dia memancing musuhnya yaitu kamu untuk melawannya. Dia tidak berniat menghabisimu dengan cepat sebelum mengukur sampai dimana kekuatanmu itu,” kata Dika penuh percaya diri.
Tapi ucapan Dika malah membuatnya menemukan satu kondisi kenapa Marques melakukan ini. “Dia ingin melihatku menderita sebelum aku memilih mati daripada hidup menderita dalam kuasanya,” kata Rasyid tajam.
Dika menegang.
Orang kepercayaan Rasyid nomer satu itu tak percaya jika Marques akan seperti itu. “Apa kita menghadapi orang paling kejam di dunia ini,” bisik Dika. Rasyid menghela napas, “Anggap aja begitu.”
Ketika Dika akan menimpali pernyataan Rasyid, Edgar muncul di samping Rasyid dan dia memberi tahu satu hal. “Neneknya Nona Asmara meninggal tiga puluh menit sebelum resepsi berlangsung,” lapor Edgar.
Rasyid syok dan dia melihat Asmara lekat. Pria itu melangkahkan kakinya perlahan untuk melihat Asmara lebih dekat dan dia dengan jelas melihat bulir bening yang wanita itu tahan demi berlangsungnya acara ini.
“Terbuat dari apa hatimu Asmara bagaimana kamu bisa begitu kuat dan tidak menunjukkan semua lukamu itu,” gumam Rasyid tak percaya dengan wanita yang membuatnya mencurahkan seluruh pandangannya.
Asmara seakan sadar jika ada orang lain yang mengamatinya dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan tatapan mereka bertemu.
Ada denyut aneh yang dirasakan Rasyid saat pandangan mereka bertemu. Rasyid menambah langkahnya untuk berada semakin dekat dengan panggung dengan pandangan yang tak lepas dari Asmara.
‘Mata itu bagaikan magnet untukku yang membuatku tak bisa melepaskan pandangan darimu. Dan air mata itu semacam tamparan untukku yang membuatku tak bisa lari darimu. Kegilaan apa yang aku miliki sampai kamu menguasai diriku sepenuhnya,’ batin Rasyid berdebar merasakannya.
Debaran itu semakin terasa dan berganti menjadi denyut nyeri saat Devio memeluk dan menciium mesra Asmara di hadapannya.
******