Rasyid memutar ponselnya berkali-kali, entah kenapa dia tak fokus bekerja dan seakan menunggu kabar yang sudah dia nantikan selama ini. Dan benar saja, ponselnya berdering dan dia melihat nama Aldo di sana.
“Gimana?” tanya Rasyid to the point.
“Aku sudah menghubunginya tapi sepertinya dia tak peduli dengan pesanku. Aku akan coba lagi nanti, kita ga perlu buru-buru,” lapor Aldo yang hanya mendapat helaan napas dari Rasyid.
“Edgar bilang dia memang lagi bersama suaminya untuk periksa kandungan. Dan beberapa waktu sebelumnya dia sempat pergi ke Semarang untuk bertemu suaminya. Ciih,, suami macam apa itu yang membiarkan istrinya pergi keluar kota sendirian dalam keadaan hamil lagi,” keluh Rasyid penuh emosi.
Aldo terkekeh mendengarnya, “Makanya kalo disuruh ambil dari dulu itu diambil sekarang giliran diambil beneran sama orang panik kan lu,” ledek Aldo.
Rasyid hanya berdecak dan tak peduli dengan ledekan itu.
“Berikan saja fotonya bersama Sinta, Asmara tidak akan mengabaikanmu jika kamu mengirimkan gambar itu,” usul Rasyid.
“Ahh, enggak! Gila lu, aku takut dia syok dan lahir prematur bayinya gawat lo,” tolak Aldo.
Rasyid berdecak kesal, “Ga akan ada yang kaya gitu, percaya sama aku,” Rasyid nampak yakin membuat Aldo curiga.
“Kok lu bisa yakin gitu sih,” kata Aldo tak mengerti.
Rasyid terkekeh, “Karena dia bukan wanita lemah Bro, kalo dia wanita lemah ga mungkin aku mengejarnya kaya sekarang,” kata Rasyid.
Keduanya bicara sebentar mengenai topik lain dan mengakhiri panggilan. Belum sepuluh menit dia meletakkan ponselnya ada pesan dari Edgar.
Edgar [Saya mengirim foto hasil pemeriksaan usg Nona Asmara, sesuai dengan yang Boss minta.]
Rasyid langsung mencetak foto itu dan meletakkannya di meja kerjanya. Dia nampak fokus memandang dua buah foto itu. Dia menumpukan kepalanya dan melihat foto itu berulang kali. Dia mengambil ponselnya dan menelpon Edgar untuk tahu bagaimana detailnya.
“Apa dia baik-baik saja?” tanya Rasyid ingin tahu.
Suara pria di sebrang menjawabnya dengan ragu, “Saya mencari tahu mengenai kondisi kandungannya, tapi rata-rata mereka menjawab itu normal dan bisa terjadi kepada semua ibu hamil,” jelas Edgar.
“Apa jenis kelaminnya sudah tahu?” tanya Rasyid ikut penasaran. Edgar melihat salinan foto yang dia dapatkan, “Di gambar tertulis lambang lelaki Bos,” ujar Edgar membuat Rasyid ikut mencari lambang yang dimaksud dan dia menemukannya.
Rasyid terkekeh melihatnya, “Kenapa aku ga sadar kalo ini gambar mercusuarnya,” ucap Rasyid ceria.
“Suaminya bagaimana?” tanya Rasyid penasaran. “Dia akan kembali ke Semarang awal minggu depan, ada catatan tiket perjalanannya, Bos,” timpal Edgar.
Rasyid mengepalkan tangannya, “Sangat, sangat tidak bertanggung jawab,” kesal Rasyid.
Edgar diam.
“Saya mencoba membuat pola, dari total delapan bulan kehamilan Nona Asmara, dia hanya ditemani suaminya tak lebih dari dua bulan, di sini tercatat sekitar 6-7 minggu saja, bahkan belum sampai 8 minggu Bos,” urai Edgar.
Rasyid memijat keningnya lelah. “Aku mesti beresin cepet ini, kalo ga, sampai kapan dia akan menyiksa dirinya kaya gini,” keluh Rasyid.
“Saya rasa memang itu yang terbaik Bos, saya berkali-kali melibatkan diri dalam kesehariannya dan menurut saya Nona Asmara pantas dapat yang lebih baik, bukan kondisi seperti ini,” jelas Edgar.
Rasyid mengerutkan dahinya, “Apa aku melewatkan sesuatu?” sindir Rasyid dan Edgar berdehem.
“Jika dilihat secara fisik, saya tidak melihat ada keanehan dengan kandungannya dan kesehatannya, karena Nona Asmara makan dan istirahat dengan baik. Tapi jika dilihat lebih teliti lagi, dia nampak lelah dan sedih karena semuanya dia lakukan sendiri. Dia termasuk wanita yang kuat dan tegar, saya tak pernah melihat wanita sekuat dia selama ini,” ungkap pria itu tanpa ragu.
Rasyid menggeram, “Sejak kapan aku meminta pendapatmu mengenai Asmara, Edgar Dimitri,” ucap Rasyid penuh penekanan membuat Edgar sadar jika dia sudah salah bicara.
“Maafkan saya Bos,” sesal Edgar.
“Aku memintamu menjaganya bukan memujinya apalagi berani mendekatinya melebihi batas yang aku katakan kepadamu,” seru Rasyid dengan napas naik turun.
Edgar diam.
“Hubungi aku jika sudah waktunya dia melahirkan, aku akan ke Indonesia,” perintah Rasyid dan langsung mengakhiri panggilannya.
Dia kembali memandang foto itu dan tanpa sadar dia tersenyum. “Nanti Daddy yang akan membesarkan dan mendidikmu my Boy,” ucapnya penuh keyakinan.
***
Pagi ini Rasyid menerima pesan dari Aldo mengenai usulannya itu. Sambil meminum kopinya dia tersenyum membaca pesan itu.
Aldo [Apa yang kamu minta sudah aku jalankan, tinggal nunggu reaksinya aja.]
“Finally, kamu bisa percaya dengan semua ini, Rara,” kekeh Rasyid.
Dika langsung masuk ruangan kerjanya dengan kondisi lebih berisik dari biasanya. Sebenarnya Rasyid tak ingin melihatnya tapi gerakan refleknya membuat dia melihat tingkah Dika.
“Ras, kita kudu bersiap abis ini,” ucap Dika dengan napas tersengal. Tak berapa lama Sirius masuk ke ruangannya dan menunduk hormat. Rasyid merasa ada hal tak menyenangkan yang terjadi.
“Tuan Muda, ada laporan dari penjaga villa Bannes, Sherly ditemukan menghilang setelah dia membeli makanan di supermarket sore ini waktu setempat,” lapor Sirius.
Rasyid menoleh kepada Dika ingin memastikan kabar itu dan Dika hanya menghela napas pasrah. “Aku juga mau ngomong itu tadi,” timpal Dika santai.
“Kalian sudah cari ke seluruh pelosok kota Bannes tidak luas dan gampang mencarinya kenapa kalian melaporkan hal yang tak berguna seperti ini,” kesal Rasyid mendadak.
“Kami sedang mengerahkan tim untuk mencarinya Bos,” sahut Sirius. Rasyid mengangguk paham, “Kamu kontrol dulu dan aku berikan kamu kuasa penuh, jika perlu sebelum terjadi hal yang membahayakan bagi kita, kamu bisa memindahkan atau membereskannya,” perintah Rasyid.
Sirius mengangguk paham dan pamit keluar untuk mengurus masalah ini. Dika menyeret kursi dan duduk di dekat Rasyid. Dia memasang wajah serius membuat Rasyid tak nyaman.
“Apa ga sebaiknya kita minta back up dari pihak aparat, entah kenapa firasatku ga enak soal ini,” kata Dika cemas.
Rasyid berdecak, “Dia paling ilang, kalopun dia ilang dia tahu caranya melarikan diri bukan, kan dia bekas simpanannya Marques, jadi sudah banyak belajar trik dari pria itu,” balas Rasyid santai.
Dika memicingkan matanya dan Rasyid masih minum kopi sampai dia menyadari satu hal. Dia langsung menoleh ke arah Dika dengan sorot mata penuh teka teki.
“Nah, sekarang paham kan maksudku apa?” sindir Dika karena sahabatnya ini baru menyadari kekhawatirannya sejak tadi.
Rasyid mengambil ponselnya dan menghubungi Oman tapi mendadak ponselnya tidak aktif dan membuat Rasyid sedikit panik. Dia mengirim pesan kepada Oman untuk menghubunginya setelah membaca pesan ini tak lupa dia menambahkan kata ‘URGENT’ di pesan tersebut.
“Apa Marques tahu jika kita menyembunyikan Sherly?” tanya Rasyid membuka obrolan. Dika mengangkat bahunya, “Jika kamu menyembunyikannya mungkin dia hanya akan meminta laporan Sherly mengenai kedekatan kalian,” ucapan Dika menggantung.
“Tapi,” Rasyid menimpalinya cepat.
“Akan berbeda situasinya jika Marques tahu apa yang kita bicarakan malam itu dengan Sherly dan itu artinya Sherly mengkhianatinya. Dan bagi orang semacam Marques, kepercayaan itu mahal harganya,” urai Dika.
Rasyid berpikir mengenai kemungkinan itu. “Kalo yang kamu bilang benar, berarti bener kalo diantara para pengawal kita itu ada mata-mata Marques. Tapi gimana caranya kita tahu sedangkan pengawal kita ribuan,” keluh Rasyid.
Dika berdecak, “Ini kenapa aku keberatan kalo kamu menugaskan Edgar buat jagain Asmara, mending dituker, Sirius di sana, Edgar di sini. Kalo urusan gini sama Edgar mah udah beres,” kata Dika.
Rasyid berlalu dari hadapan Dika dan duduk di meja kerjanya memilih tak menanggapi apa yang Dika katakan. Dika mengikuti Rasyid dari belakang dan dia masih ingin berkomentar soal kejadian ini. Tapi matanya menangkap foto yang asing baginya tapi dia paham itu foto apa.
“Sejak kapan kamu ngoleksi foto USG bayi kaya gini?” tanya Dika tapi nadanya jelas penuh sindiran. Rasyid yang ingin mengambilnya kalah cepat dengan Dika yang sudah meraup dua foto itu dan melihat nama yang tertera di sana.
“Sadis! Apa elu mesti ngoleksi juga foto anaknya Asmara? Sedangkan anak itu juga bukan anak kamu kan?” ledek Dika telak.
“Balikin ga itu foto! Omong lu berisik banget kaya tukang sayur di kompleks,” kilah Rasyid. Dia mengejar Dika yang masih memegang foto itu tapi sayangnya Dika masih bisa menghindar.
Dika melihat seperti ada coretan di belakang foto dan melihatnya. Dia mengerutkan dahinya, “Baby A,” ucap Dika tapi ekspresinya menunjukkan tanya.
“Simpan jiwa kepomu itu ga usah ditunjukkin di hadapanku. Sekarang, balikin itu foto apa aku hajar beneran kamu di sini!” perintah Rasyid dan menjulurkan telapak tangannya meminta foto itu.
Dika memberikan foto itu tapi dia masih penasaran. “Kamu udah ngasih inisial nama sama bayi itu, gimana kalo namanya B, C apa yang lain?” tanya Dika penasaran.
Rasyid memasukkan foto itu di laci meja kerjanya. “Bebas aja sih, kan Asmara ibunya, toh ini cuma feelingku aja, kayanya dia bakal dikasih nama depannya A,” kata Rasyid santai.
Dika tak mau ambil pusing sama kejadian ini, jadi dia memilih melanjutkan pekerjaannya dan menyampaikan beberapa hal penting selain urusan Sherly kepada Rasyid.
Beberapa hari setelah itu, Rasyid mendapat kabar dari Aldo jika Asmara sudah merespon pesan yang dia kirim tapi wanita seakan tak terlalu peduli dengan apa yang dia sampaikan. Apa itu karena Aldo adalah orang lain atau memang tipikal Asmara yang seperti itu.
Rasyid tak menyangka jika rencananya kali ini tak sesuai ekspektasi. Jadi dia memutuskan untuk menelpon Edgar dan bertanya mengenai apa yang terjadi.
“Apa terjadi sesuatu kepada Asmara?” tanya Rasyid to the point. “Tidak ada yang terjadi Bos, Nona Asmara sedang menyiapkan cuti kehamilannya ke Surabaya jadi dia terlihat sedikit sibuk dengan ibunya,” kata Edgar.
Rasyid mengerutkan dahinya, “Ibunya? Maksudmu yang menemani Asmara perjalanan ke Surabaya itu ibunya bukan suaminya?” cecar Rasyid dan Edgar mengiyakan hal itu.
“Bener-bener lelaki ga tahu diri, hubungi orang Semarang dan beri dia pelajaran biar dia kapok dan tahu kalo ada orang lain yang dia sakiti,” perintah Rasyid.
Edgar menyanggupi apa yang Rasyid katakan.
“Kapan Asmara berangkat ke Surabaya?” tanya Rasyid penasaran. “Besok malam Bos, menggunakan kereta api karena tidak memungkinkan naik pesawat dengan kondisi hamil besar seperti itu,” lapor Edgar.
Helaan napas terdengar dari mulut Rasyid. “Kawal dia sampai Surabaya dan pastikan dia tidak mengalami hal yang membahayakan, karena itu transportasi umum,” perintah Rasyid yang lain.
“Aku akan ke Indonesia besok pagi,” ucap Rasyid pelan lalu dia teringat ada satu masalah yang belum selesai. “Sempatkan untuk cek siapa pengawal kita yang berkhianat, karena Sherly hilang dari persembunyian yang sudah kita rencanakan,” kata Rasyid membuat Edgar kaget.
“Baik Bos, apa saya tidak perlu cek ke sana?” tanya Edgar kemudian. Rasyid menolaknya karena saat ini menjaga Asmara lebih penting, banyak orang yang bisa diandalkan untuk mencari Sherly.
Edgar mencari semua kemungkinan informasi yang mungkin sambil melakukan pengawalan kepada Asmara sampai ke Surabaya.
Rasyid meminta Dika menyiapkan penerbangan ke Indonesia untuk besok pagi. Dika sudah memesan tiket penerbangan pertama untuk Rasyid besok pagi.
***
Rasyid sudah siap di ruang tunggu bandara bersama Dika, kali ini Rasyid meminta Sirius untuk mengurus masalah Sherly dulu. Rasyid sudah lupa jika dia menghubungi Oman untuk masalah ini jika saja Oman tak menghubunginya terlebih dulu seperti sekarang.
“Ada hal penting apa?” tanya Oman yang menjelaskan dirinya ada di Rusia untuk urusan bisnis. Rasyid menceritakan kejadian yang dia alami dengan Sherly dan keduanya terlibat pembicaraan serius. Oman berjanji 30 menit lagi dia akan menghubungi Rasyid untuk masalah ini.
Rasyid melihat jam tangan dia masih punya waktu 45 menit sebelum boarding, jadi dia punya waktu untuk mendengarkan analisa Oman. Tak sampai 30 menit Oman menghubunginya kembali dengan nada cemas.
“Kamu dimana sekarang?” tanya Oman tiba-tiba. Rasyid yang bingung bukan menjawab malah balik tanya, “Kenapa emangnya?”
“Ini jebakan Ras, Marques membuatmu jadi tersangka, karena Sherly -“ ucapan Oman yang panik itu langsung dipotong oleh Rasyid.
“Tunggu tersangka apa maksudmu?” tanya Rasyid tak mengerti sampai dia mendengar suara seseorang yang berdiri di hadapannya.
“Tolong ikut kamu Tuan Rasyid Ar Madin,”
******