Rasyid tak paham dengan apa yang Oman bicarakan. Dia hanya mengerutkan dahinya dan memotong ucapan Oman begitu saja.
“Tunggu tersangka apa maksudmu?” tanya Rasyid tak mengerti.
“Marques menjebakmu dia sudah tahu jika Sherly berkhianat dan –“ belum selesai Oman bicara, Rasyid mendongak karena merasa ada seseorang yang berdiri di hadapannya.
“Tuan Rasyid Ar Madin, tolong ikut kami ke kantor polisi,” ucap seorang petugas dan menunjukkan lencana kepolisian yang dia miliki.
Dika yang kaget dan tak paham dengan semua ini langsung berdiri dan menghalangi tindakan petugas untuk membawa Rasyid. Pria muda itu memejamkan matanya sesaat dan dia ingat jika dia masih bicara dengan Oman.
“Aku paham maksudmu, tapi semuanya terlambat sekarang,” kata Rasyid kepada Oman.
Sahabatnya itu menjambak rambutnya frustasi. “Apa polisi suudah datang untuk menangkapmu?” tanya Oman karena dia samar mendengar suara kantor polisi tadi. Rasyid hanya berdehem dan mematikan panggilannya.
Rasyid menepuk pundak Dika dan menggeleng, “Ada apa ke kantor polisi?” tanya Rasyid tenang. Petugas yang berdiri di hadapannya itu menyodorkan surat penangkapan.
“Tuan Rasyid Ar Madin didakwa atas pembunuhan Nona Sherly beberapa hari lalu yang jasadnya ditemukan hari ini di pinggir sungai Andriz,” ucap polisi itu.
Dika tak bisa mennyembunyikan rasa kagetnya dan menatap Rasyid serta petugas itu secara bersamaan. “Ga mungkin Pak, Anda pasti salah orang,” komentar Dika yang tak terima temannya dituduh sebagai pembunuh.
“Itu bisa dijelaskan di kantor polisi sekarang kalian harus ikut kita dahulu,” kata petugas itu. Rasyid ingat jika dia akan pergi ke Indonesia untuk melihat Asmara melahirkan. “Apa saya masih bisa pergi ke luar negeri?” tanya Rasyid polos.
Petugas menggeleng, “Maaf tidak bisa Tuan meskipun status Anda masih belum jadi tersangka,” jawab petugas itu.
Rasyid menatapnya tajam, “Meskipun kalian mengawalku dan aku hanya ingin ke Indonesia sebentar,” kata Rasyid mulai mengintimidasi.
Petugas itu masih menggeleng, “Itu sudah aturan hukum atau Anda ditetapkan jadi buronan karena memaksakan kehendak semacam itu,” timpal petugas polisi.
Dika menggoyangkan tubuh Rasyid yang nampak santai dan tidak panik karena kondisi ini. “Kenapa kamu masih bisa santai gini, ini kasus hukum,” kata Dika kesal.
Rasyid menatap asistennya, “Itu tugasmu mencari tahu dan menolongku untuk bebas dari jerat hukum ini,” kata Rasyid tegas.
Polisi itu memberi jalan kepada Rasyid untuk dibawa ke kantor polisi. Dika menatap kepergian Rasyid pilu dan dia memikirkan satu nama untuk membereskan semua ini.
“Hallo Oman, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Dika tapi langkahnya masih mengikuti kemana Rasyid pergi, dia dibawa oleh kepolisian setempat dan Dika naik taksi untuk mengikuti Rasyid.
“Maaf aku terlambat menyadarinya, ini jebakan yang dibuat untuk Rasyid dan aku mencurigai Marques melakukannya entah untuk tujuan apa. Tapi bisa dipastikan kalau Sherly sudah dibunuh oleh orang lain tapi ada barang bukti yang ditinggalkan di sana dan barang itu milik Rasyid. Itulah yang mennyebabkan dia jadi terduga yang pertama kali,” jelas Oman.
Dika memijat keningnya pusing mendengar hal ini. Kali ini dia harus memutar otak apa yang menyebabkan Rasyid bisa dituduh seperti ini.
“Barang apa yang menyebabkan itu jadi hal yang memberatkan Rasyid?” tanya Dika. Oman menghela napas, “Pin keluarga Ar Madin,” kata Oman.
Dika terbelak mendengarnya, “Mustahil, bagaimana mungkin pin itu bisa sampai sana, kecuali orang yang selalu membersihkan rumah dan kamar Rasyid karena pin itu di simpan di walk in closet,” Dika langsung terdiam dan menyadari satu hal.
“Aku paham, jadi memang benar ada penyusup di kediaman Rasyid dan kasus ini jelas membuktikan hal itu. Kayanya mulai sekarang kita ga perlu ganti asisten rumah tangga kalo kaya gini,” kata Dika.
“Itu bisa kita selesaikan belakangan, yang penting sekarang bagaimana kita membuktikan jika Rasyid tak ada saat peristiwa itu terjadi. Jika kita membelanya tanpa bukti bisa jadi mereka ikut mencurigai kita,” kata Oman.
Dika berpikir, “Kapan tepatnya waktu kejadian itu?” tanya Dika penasaran.
Oman menghela napas, “Aku belum dapat hasilnya yang pasti, tapi yang aku tahu itu kejadiannya sekitar satu atau dua minggu lalu,” kata Oman.
Dika memikirkan jadwal Rasyid sseminggu belakangan ini dan dia sedikit menghela napas. “Dia tidak ada jadwal keluar kota manapun satu minggu ini semoga itu bisa membantu,” kata Dika.
“Kamu dimana sekarang?” tanya Oman yang ssedari tadi ingin dia tanyakan kepada Rasyid.
“Di bandara, kita mau ke Indonesia tapi keburu polisi itu mencegah kita di ruang tunggu dan sekarang aku mengikuti Rasyid yang dibawa mobil polisi,” jela Dika.
Oman nampak berpikir, “Sepertinya aku bisa menemukan celah dari kejadian ini,” kata Oman sedikit bersemangat. Dika ikut bersemangat sampai dia menegakkan tubuhnya.
“Gimana, gimana?” tanya Dika penasaran.
“Terlalu cepat menyimpulkan jika itu Rasyid kalo kejadiannya barusan dan hanya menemukan pin keluarga Ar Madin yang aku yakin Rasyid tak akan meletakkan barang penting itu sembarangan,” jelas Oman menyadarkan Dika satu hal.
“Kamu benar, abis ini aku ke rumah buat cek soal pin itu,” kata Dika cepat. Oman mengangguk meskipun Dika tak bisa melihatnya. “Kabari aku terus, aku akan cari celahnya juga dari sini,” kata Oman dan Dika setuju.
Sesampainya di kantor polisi, Dika berusaha membuat pembelaan apapun tapi tak berhasil, Dika meminta penangguhan interogasi sampai pengacara mereka datang tapi tetap saja tak digubris oleh petugas, kondisi itu membuat Dika makin curiga dan adu mulut dengan petugas.
“Kenapa Anda terlihat sangat terburu-buru dengan penyelesaian kasus ini, sedangkan korbannya saja asal usulnya tidak jelas, bahkan mungkin tidak punya keluarga. Jadi tidak ada yang menuntutnya kecuali hukum. Tapi semua proses hukum itu ada SOP dan alurnya kenapa Anda terlihat sangat buru-buru seakan Anda dikejar target untuk menangkap Rasyid Ar Madin,” cecar Dika.
Rasyid hanya menaikkan satu sudut bibirnya karena petugas itu pasti frustasi menghadapi desakan Dika. Petugas itu menatap Dika dan akhirnya menyetujui interogasi dilakukan setelah pengacara datang.
Tak sampai lima belas menit pengacara keluarga Ar Madin datang, awalnya Rasyid menatap tajam Dika tapi sahabatnya itu menggeleng. Dika tak memiliki alasan untuk menutupi semua ini bukan karena dia tak bisa menyelesaikannya sendiri, tapi urusan ini memang membutuhkan tak hanya keahlian tapi juga kuasa. Dan kuasa Ar Madin lah yang bisa membantunya.
Debat kusir terjadi, sampai pengacara Jonan, nama pengacara itu kesal. Dia paham jika tuan mudanya dijebak, tapi polisi dan semua bukti memberatkan Rasyid dan mereka tak memberi kesempatan untuk menjadi tahanan kota.
“Jika Marques ingin aku masuk penjara, biarkan saja, aku akan ikuti kemauannya, tapi pastikan saja aku tidak melakukan itu,” perintah Rasyid membuat keduanya kaget.
Petugas polisi itu mendengar nama Marques langsung pucat. Tapi dia cepat menormalkan ekspresinya kembali. “Jika tidak ada bantahan lagi, kita akan ajukan ke pengadilan besok, karena itu Rasyid harus tinggal di sini sampai sidang pertama,” ucap polisi itu sok tahu.
“Besok kita akan bawakan semua bukti tidak ada keterlibatan Tuan Rasyid dalam kasus ini, dua puluh empat jam,” seru Jonan kesal dan penuh penekanan.
Jonan melirik Dika untuk pergi, Jonan menunduk hormat kepada Rasyid dan Dika memeluk Rasyid. “Sabar Bro, kita pasti bebasin elu,” kata Dika.
Dalam perjalanan pulang kedua orang itu tak hentinya membahas masalah ini dan Jonan meminta untuk datang ke rumah guna penyelidikan. Dika tak keberatan karena hal ini memang perlu.
Ponsel Dika berdering dan dia melihat nama Edgar di sana. Dika mendengar kata-kata penyesalan dan kekhawatiran dari Edgar. Dika memaklumi itu karena memang Edgar orang yang seharusnya menjaga Rasyid termasuk dalam kondisi seperti ini. Tapi ucapan Edgar membuat Dika menyadari satu hal.
“Ed, aku yakin kamu lebih paham soal ini daripada aku, coba katakan padaku soal pin keluarga Ar Madin,” kata Dika. Edgar mendengar dengan jelas ucapan Dika tapi kemudian dia bingung kenapa pin itu dipertanyakan.
“Ada apa dengan pin itu Bang?” tanya Edgar balik. “Apa Oman tak memberitahumu jika pin itu jadi penyebab Rasyid ditangkap karena pin itu hilang,” kata Dika.
Edgar makin mengerutkan dahinya dalam, “Mustahil pin itu hilang, karena kunci lemari yang menyimpan itu hanya saya dan Bos Rasyid yang simpan. Dan kunci itu bukan kunci biasa yang tidak akan dipahami oleh siapapun termasuk Anda, Bang,” kata Edgar.
Dika serasa mendapat angin segar karena masalah ini. Dika menarik senyumnya. “Kamu memang selalu bisa diandalkan Ed, cepat datang ke Dubai begitu urusan dengan Asmara selesai. Kalo Rasyid marah karena kamu kembali ke Dubai, biar aku yang atasi soal itu,” kata Dika dan Edgar menurut.
Dika memeriksa pin itu dan masih ada di kotak kaca yang tersimpan di walk in closet dan dia melihat kondisi kotak kaca itu memang benar kotak itu terkunci dan tak memiliki lubang kunci untuk membukanya.
Dika merekam kondisi kotak itu dan mencari cctv terdekat untuk mengamatinya. Tapi karena ini kamar Rasyid jadi yang bisa membuka akses cctv itu hanya Rasyid. Dika akan menanyakan hal itu kepada Rasyid besok.
Dika dan Jonan bekerja semalaman untuk mengumpulkan semua bukti dan rekaman cctv jika Rasyid tidak pergi kemanapun atau berkomunikasi dengan siapapun yang mencurigakan.
Pagi harinya, Dika dan Jonan sudah ke kantor polisi dan menyerahkan semua pembelaan Rasyid. Polisi sempat diam dan membawa bukti itu untuk melapor kepada atasannya.
Dika yang curiga hal ini pergi diam-diam dan membuntuti petugas polisi itu. Dia melihat petugas itu menyodorkan pembelaan Rasyid dan lawab bicaranya nampak panik.
“Ini terlalu berisiko Bos, jika Ar Madin sampai membawa kasus ini ke Pengadilan Tinggi bukan hanya kita yang celaka tapi seluruh departemen kepolisian,” urai petugas polisi itu.
Dika meyiapkan alat perekam di ponselnya dan mencari tempat untuk merekam semuanya. Kali ini dia yakin Rasyid akan bebas secepatnya.
Dika kembali ke tempatnya agar tak curiga dan dia memberikan kode kepada Jonan untuk mengiyakan saja apa yang petugas itu inginkan. Meskipun Jonan keberatan tapi dia paham pasti Dika memiliki bukti lain yang bisa membantu Rasyid.
“Kami sudah ajukan kasus ini ke pengadilan lusa dengan mempertimbangkan pembelaan ini, jadi Rasyid akan tetap di sini sampai sidang berjalan,” kata petugas itu cepat dan meminta kita pergi segera.
Jonan yang kesal ingin memaki petugas itu ditarik oleh Dika untuk pergi dari sana. Di dalam mobil Dika menunjukkan apa yang dia dapat dan Jonan langsung tertawa senang.
“Kita pasti menang kalo kaya gini,” ucap Jonan dan Dika mengangguk.
Keesokan harinya, Edgar datang dan memeriksa tempat pennyimpanan pin itu dan Dika kaget karena ternyata pin itu tidak disimpan di walk in closet seperti yang selama ini dia lihat.
“Ada apa sebenarnya sama pin ini, kenapa sampai sedetail itu menyimpannya?” tanya Dika tak mengerti. Edgar melihat kondisi kotak itu dan dia tak melihat ada keanehan.
“Pin yang ada di walk in closet itu hanya replika dan inilah yang asli. Pin ini tidak akan bisa dibuka sembarangan, kita akan tahu nanti saat sidang,” kata Edgar yakin.
Sidang pertama Rasyid digelar, pria itu nampak lebih kusut dan kusam berada tiga hari dalam penjara. Dika dan Edgar sudah duduk menunggu jalannya sidang. Jonan siap mendampingi Rasyid.
“Terdakwa diduga terlibat dalam kasus pembunuhan seorang wanita bernama Sherly, silahkan kepada jaksa penuntut untuk menyampaikan tuntutannya,” kata Hakim.
Bbraaakk…
*****