CH.65 Driver

2186 Kata
Rasyid menatap Edgar tak suka mendengar jawaban pengawalnya itu. “Kenapa?” tanya Rasyid kesal. Edgar diam, dia masih bingung bagaimana cara menjelaskan kepada Bosnya kali ini. “Karena Nona Asmara membicarakan caranya mencintai Andi,” kata Edgar pelan. Rasyid mengeraskan rahangnya mendengar itu dan Edgar menghindari tatapan bosnya itu. “Apa maksud ucapanmu itu?” geram Rasyid dan perlahan Edgar menjelaskan apa yang sudah dia dengar, Dari pemahaman Rasyid mengenai cara Asmara mencintai Andi adalah cinta yang timbul karena terbiasa. Dan Asmara memang mempertimbangkan lelaki yang sudah  mau berjuang untuknya. Awalnya ada rasa kesal dalam diri Rasyid mengetahui jika Asmara masih teringat dengan Andi tapi setelah mendengar cerita Edgar dia tahu apa  yang akan dia lakukan selanjutnya. Rasyid hendak turun dari mobil untuk mencari keberadaan Asmara yang ada  di taman kota setelah mengikuti gps  yang sudah dia lacak sebelumnya. Tapi dia harus menelan pil pahit saat di depan  mobilnya dia melihat Asmara bersama dengan Reno dan mereka nampak senang bersama. Rasyid menatap tajam interaksi keduanya  dan Edgar melihat situasi ini hanya bisa melirik bosnya tanpa kata. “Ikuti mereka,” perintah Rasyid saat melihat mereka masuk mobil dan melaju dari sana. “Apa sebenarnya yang mereka lakukan kali ini?” keluh Rasyid gelisah karena melihat mobil Reno yang berhenti mendadak tapi keduanya tampak tak keluar  dari mobil. “Apa Reno beneran serius mau saingan sama aku, aku mesti ngomong sama Gladis soal ini biar dia kapok,” geram Rasyid dengan reaksi berlebihan. Rasyid yang sudah tak sabar dengan apa yang terjadi di hadapannya membunyikan klakson berkali-kali agar mobil Reno jalan kembali. Edgar hanya diam dan dia kembali bersiap melajukan mobilnya saat tahu tindakan Rasyid berhasil membuat mobil  di depannya jalan kembali. Rasyid melihat Asmara sudah masuk ke rumah dan Reno yang pergi dari sana. “Kejar dia, aku mesti ngomong sama Reno soal ini,” kata Rasyid cepat. Edgar melajukan mobilnya lebih cepat dan menghadang Reno. Reno keluar dari mobil dan membanting pintu mobilnya kesal karena ada orang yang menghalangi jalannya. Rasyid turun dari mobil dan menatap Reno tajam. “Astaga, elu lagi, kiran orang beneran mau ngerampok ini,” kata Reno sudah menunjukkan kepalan tangannya yang siap melayang. Buuggghh.. Reno yang tak siap dengan tindakan Rasyid sedikit oleng karena dia cepat menyeimbangkan tubuhnya karena pukulan itu. “Apa yang kamu lakukan sama Asmara, barusan, heee!” bentak Rasyid tapi bukannya takut Reno malah tertawa mengejek. “Kenapa? Apa sekarang aku juga bakal kamu hajar kalo deket sama Asmara,” sindirnya dan berdiri tegak. Edgar yang melihat kejadian ini sudah berdiri di antara mereka untuk melerai. Tapi kedua pria yang tak mau kalah itu malah mendorong dirinya dan menjauh dari mereka. “Elu tau kan kalo Asmara itu milikku, kenapa mesti juga elu embat. Kan elu udah ada Gladis,” seru Rasyid. Reno terkekeh, “Sejak kapan dia jadi milikmu sedangkan dia aja ga kenal sama elu, sadar Bos,” cela Reno. Rasyid yang berniat meluapkan emosinya kembali jadi sadar posisinya. “Aku memang udah punya Gladis dan itu jadi urusanku, tapi asal kamu tahu, Asmara lebih memilih sama aku daripada elu, karena elu ga pernah ada buat dia meskipun elu udah bantu dia,” kata Reno. Deg. Rasyid menegang. Reno berlalu dari sana dan membuka pintu mobilnya, tapi Rasyid cepat mengejarnya dan menghalanginya. “Aku bantuin dia cerai dari suaminya jadi tolong ngerti posisiku, karena dia ga mungkin langsung nerima kehadiranku gitu aja,” kata Rasyid. Reno yang masih tak tega dengan Rasyid akhirnya mengangguk. “Kontrol cemburumu itu, Asmara ga suka liat cowok yang doyan baku hantam kaya gini,” kata Reno. Rasyid menggeram, “Aku ga cemburu,” jawabnya cepat. Reno terbahak dan pergi dari sana tak peduli dengan bantahan Rasyid itu. *** Rasyid memutuskan untuk kembali ke Jakarta setelah kejadian itu karena ada pekerjaan yang mesti dia urus lebih dulu. Tapi jangan dikira dia tak memasang mata-mata untuk mengawasi Asmara dan setiap hari dia harus menerima laporan jika Asmara sering jalan dengan Reno dan sempat bertemu Dev. Rasyid yang melihat kondisi ini sepertinya sudah tak bisa lagi menunggu. Dia bertekad setelah urusan kerjaan selesai, dia bakal lebih fokus untuk dapetin Asmara. Pemikirannya terjeda karena ponselnya berdering dan dia melihat nama Edgar di sana. “Ada apa?” tanya Rasyid cuek. “Nona Asmara sudah kembali ke Jakarta Bos menggunakan kereta api, apa besok kita perlu menjemputnya di stasiun?” tanya Edgar. “Liat besok,” kata Rasyid sok cuek tapi dia memiliki ide itu. Edgar berdehem, “Ada laporan yang mengantar Nona Asmara ke stasiun Tuan Muda Reno dan mereka nampak akrab di sana,” kata Edgar pelan yang menggunakan nada ambigu untuk kata akrab. Rasyid diam tapi reaksinya sudah tak suka dengan apa yang dia dengar. “Karena aku tak ada di sana, asal dia ga melebihi batas,” kata Rasyid dan menutup panggilannya cepat. Dia menghubungi Reno tapi panggilan pertamanya tak diangkat. Dia mencoba lagi sampai panggilan ketiga dan tanpa basa basi Rasyid langsung meluapkan kekesalannya. “Kenapa sekarang kamu ikut campur urusanku sama Asmara, heeh!” semprot Rasyid tanpa basa basi. Pria itu mendengar sahabatnya menghela napas. “Bodo! Aku ga peduli. Sebenarnya apa yang sudah kamu lakukan buat Asmara. Nothing. Lihat dia sekarang, berjuang sendirian, ngurusin anaknya sendirian, bahkan dia pulang ke Jakarta sendirian, harusnya kamu fasilitasi dunk,” cerocos Reno. Rasyid terdiam. Masuk akal apa yang dikatakan Reno, tapi jika dia memberikan fasilitas itu apa Asmara akan menerimanya. Rasyid sedikit menyadari hal itu yang menjadi penyesalannya tak segera dekat dengan Asmara. “Dia pasti ga akan mau terima apa yang aku berikan,” balas Rasyid. “Makanya gerak cepat dunk, lelet banget sih lu. Giliran kerja aja ga ada matinya, ngurusin satu cewek gini kenapa jadi lemot lu jadi laki!” omel Reno tanpa ampun. Rasyid tak bisa berkomentar apapun. “Kekuasaanmu yang tak terbatas itu apa gunanya? Dia melakukan semuanya sendiri, sedikitpun aku tak melihatmu melibatkan diri dalam kehidupannya. Menunggu waktu yang tepat apalagi? Aku anggap semua yang kamu lakukan kepadanya itu ga niat sama sekali Ras. Jadi lupakan saja dia dan berikan dia kepadaku,” tutup Reno. “Ga akan pernah aku berikan Asmara kepadamu!” bentak Rasyid. Dia mulai emosi karena setiap pembicaraan mereka Reno seakan ingin mengambil Asmara dari dirinya. Lagipula apa yang dia lakukan ini mungkin memang tak terlihat tapi dia memang ingin memberikan yang terbaik untuk Asmara nantinya. Reno berdecih, “Kalo gitu buktikan bahwa dirimu memang berguna untuknya. Kalo sampai dia jadi janda tidak ada satupun yang kamu lakukan, tunggu saja undangan pernikahanku dengannya. Masa bodo sama persahabatan kita!” seru Reno langsung menutup telponnya. Prraaanng.. Rasyid melempar ponselnya begitu saja saat dia mendengar sambungannya ditutup sepihak oleh Reno. Ponsel yang entah sudah berapa kalinya kembali hancur tak berbentuk. Setelah meredakan emosinya, pria itu berniat keluar dari ruangannya untuk mencari Dika atau Edgar tapi kebetulan Dika lewat dan  dia  memanggilnya. “Eh, jangan keluar dulu, sejam lagi aku ke ruanganmu mau minta tanda tangan sama diskusi soal proyek Wakabayashi dan Erick,” kata Dika. “Kenapa lagi sama mereka berdua?” tanya Rasyid malas. Dika berdecak, “Biasa drama ga mutu, aku butuh dukungan aja,” kata Dika dan Rasyid mengangguk. Dika melanjutkan langkahnya tapi Rasyid ingat jika dia butuh ponsel baru dan kembali memanggil Dika. “Bawa ponsel baru sekalian ke ruanganku nanti,” kata Rasyid santai dan dia berbalik. Dika mengangguk kurang fokus tapi beberapa detik kemudian dia memekik. “What?!?” pekik Dika membuat Rasyid menoleh. “Handphone again?” tanya Dika dan Rasyid mengangguk santai. “Astaga, aku beneran kaya tukang jualan hape sekarang, kenapa lagi sih Bro, kalo ga ponsel ya meja, lama-lama abis ini baran-barang di kantor,” omel Dika. Rasyid memasukkan jarinya ke telinga yang menandakan telinganya sudah terganggu dan menatap Dika kesal. “Duitku abis?” tanya Rasyid dan Dika menggeleng, “Mana bisa duitmu abis,” sindirnya kesal. “Nah, karena aku  mau usaha ngabisin duit, makanya aku sering banting hape dan ganti meja. Kasihan yang jual kalo ga ada yang beli,” balas Rasyid enteng dan kembali ke ruangannya. Dika bengong dengan jawaban Rasyid. “Somplak bener itu anak,” katanya menggelengkan kepalanya tak percaya dan berlalu dari sana. Satu jam kemudian Dika dan Edgar masuk ke ruangan Rasyid. Edgar menyerahkan ponsel baru Rasyid, dia melihat pecahan ponsel di lantai dan membereskannya, sedangkan Dika mulai menjelaskan apa tujuan kedua partner bisnisnya yang sering membuat drama. “Kalo mereka bikin kita ribet gini terus kayanya mending kita cut mereka untuk  proyek terbaru aja, jalanin yang running aja lah,” kata Rasyid yang mulai tak terima dengan tingkah keduanya yang di luar batas. “Aku setuju poin itu, tapi kamu mesti tahu satu hal. Keduanya kerja dalam jaringan terselubung Marques dan aku yakin jika kita cut mereka berdua, pasti dia yang nyeret elu banget untuk terlibat entah gimana caranya,” kata Dika. Rasyid berpikir sejenak dan memandang Dika. “Take the risk, jalan aja, kita lihat sampe seberap besar mereka bakal jegal World Biz atau Madin,” kata Rasyid dan Dika mengangguk paham. Diskusi soal pekerjaan berlanjut sampai mereka bertiga pulang bersama dan tiba di penthouse. Saat mereka makan malam hanya dengan delivery order makanan kesukaan masing-masing. Dika dan Edgar duduk di sofa ruang tengah sedangkan Rasyid yan selesai membersihkan diri kaget melihat keduanya masih ada di sana. “Kalian ga tidur?” tanya Rasyid cepat tapi keduanya bukan menjawab malah saling pandang. “Sejak kapan elu jadi peduli sama jam tidur kita?” ceplos Dika yang membuat Rasyid menyadari sesuatu. “Nanya doank,” kata Rasyid mengalihkan pembicaraan dan dia ke dapur mengambil air minum lalu kembali ke kamar. Dika menatap keanehan dalam diri Rasyid. “Bosmu kenapa lagi?” tanya Dika penasaran menoleh ke  arah Edgar. Edgar hanya mengangkat bahunya. Dika yang memiliki  jiwa kepo tak terbatas, tak perccaya begitu saja. “Apa terjadi sesuatu sama Asmara? Kan dia barusan banting ponsel, bukankah itu jadi kebiasaan barunya akhir-akhir ini,” kata Dika. Edgar ingat satu hal dan menatap Dika. “Nona Asmara kembali ke Jakarta hari ini dengan kereta seharusnya dia tiba besok pagi. Aku sempat mengusulkan kepada bos untuk menjemput tapi dia menolak,” kata Edgar. Dika mengangguk paham. “Siapkan saja anak buahmu, mungkin dia tak ingin pergi bersama kita,” kata Dika dan Edgar mengangguk. Sesuai dugaan Dika, dini hari Rasyid sudah bersiap ke stasiun dan dia mencari mobil yang bisa dia pakai untuk mengantar Asmara pulang. “Kalo pas gini, kenapa aku ga punya mobil  yang biasa aja sih, kenapa semuanya mobil mewah gini, bisa curiga ini Asmara kalo kaya gini,” dumel Rasyid yang masih sibuk melihat di lemari kecil tempat kunci mobilnya digantung di sana. “Pakai ini aja Bos,” ucap Edgar membuat Rasyid memekik kaget. “Sialan, kenapa mendadak muncul di belakangku, untung aku ga lemah jantung,” omel Rasyid dan Edgar menunduk minta maaf. Rasyid melihat di tangan Edgar ada kunci mobil yang tiddak familiar baginya. “Mobil sapa ini? Bersih ga?” tanya Rasyid sewot. Edgar mengangguk, “Sewa dari dealer Bos, Bang Dika bilang suruh siapin mobil buat jemput Nona Asmara, jadi saya kepikiran minjam mobil ini jadi taksi, karena ga  mungkin pakai mobil Bos yang ada,” kata Edgar cepat. “Terbaik,” ucap Rasyid mengacungkan jempolnya dan satu  lagi mengambil kunci mobil itu dan pergi dari  sana. Rasyid mengendarai mobil keluarga itu dengan cepat agar dia tidak terlambat sampai di stasiun. Dia melihat banyak orang berjajar di sana dan mengakrabkan diri untuk tahu bagaimana aturan di sana. Tak ingin mengambil resiko kehilangan jejak Asmara atau tidak bisa mengantarnya pulang dia mengeluarkan uang untuk membuat semua antrian taksi di stasiun itu untuk tidak mengambi penumpang miliknya dan semuanya kompak menyetujui. Rasyid melihat sosok Asmara dan dia sudah bersiap melakukan penyamarannya menjadi supir taksi. Semua supir di sana menolak Asmara dan menunjuk ke satu orang yaitu dirinya. Karena sudah pagi dan lelah, Asmara tak punya pilihan lain untuk mengikuti  petunjuk orang tersebut dan menghampiri Rasyid. “Bisa anter kita ke alamat ini,” Asmara menyapa Rasyid dan menyebutkan alamat yang dia tuju. Rasyid mengangguk tanpa banyak kata dan membuka pintu mobil untuk Asmara. Dia membantu Ario yang masih mengantuk untuk masuk ke dalam mobil membuat jarak mereka jadi dekat. Asmara menatap Rasyid lekat dan pria itu menghindarinya agar Asmara tak curiga. Dia memasukkan koper dan bawaan Asmara yang lain. Asmara yang meihat itu hanya menghela napas dan tak ingin berpikir macam-macam karena dia sudah lelah. Asmara menyandarkan tubuhnya di jok mobil dan menyandarkan Ario dalam dekapannya. Sesekali Rasyid melirik wanitanya itu dan menarik sudut bibirnya melihat ekspresinya  yang menahan kantuk. Cara mengemudi Rasyid yang nyaman membuat Asmara terlelap bahkan wanita itu masih tidur saat mereka sudah sampai di rumah. Rasyid menurunkan barang bawaan mereka dan melihat pagar dikunci membuatnya tak bisa membawa barang itu ke dalam. Dia membuka pintu perlahan, dia melihat wajah menggemaskan itu di hadapannya. Entah berapa lama dia memandangi wajah Asmara sampai muncul sedikit gejolak dalam dirinya yang membuatnya menghela napas dan mengusap wajahnya kasar. “Aku ga mau jauh dari kamu, tapi sedekat ini malah membuat gejolak dalam diriku menggila. Kamu benar-benar membuatku memiliki fokus baru Rara, fokus hanya untukmu.” ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN