Rasyid meletakkan cangkir kopinya dan menatap Dika tak percaya dengan apa yang dia ucapkan. “Barter apa yang kamu maksud?” tanya Rasyid tak mengerti.
“Jika Tuan Alfin menginginkan pertunangan ini karena bisnis, kamu juga bisa mengajukan permintaan sebagai imbalan dari bisnis ini. Seperti yang kamu bilang, kehidupanmu yang dikorbankan itu artinya ada hal yang harus dibayar kan?” sindir Dika.
Rasyid termenung mendengar ucapan Dika, tapi dia harus akui itu memang masuk akal apalagi selama ini dia tak pernah melakukan perhitungan macam ini kepada ayahnya sendiri.
“Menurutmu apa yang harus aku jadikan barter ke Papa?” tanya Rasyid masih belum menemukan ide.
Dika mengangkat bahunya santai. “Itu terserah padamu, kan kamu yang tahu apa keinginanmu. Tapi menurutku yang nilainya harus sepadan dengan semua ini,” urai Dika.
Rasyid diam berpikir. Apa yang dia inginkan tapi bisa jadi barter untuk kehidupan pribadi dan bisnisnya. Sedangkan kasusnya kali ini, kehidupan pribadinya sudah terjual karena urusan bisnis orang tuanya.
“Membatasi sampai dimana pertunangan bisnis ini berjalan juga bisa Bos jadi bahan pertimbangan,” sahut Edgar.
Rasyid menatap Edgar. Dika mengangkat gelas kopinya dan mengangguk setuju. “Edgar aja udah mulai paham kondisinya, kenapa kamu ga bisa cepat paham, tumben,” cela Dika.
Rasyid kesal disindir seperti itu. “Bukan aku ga paham, tapi aku memang belum kepikiran hal apa yang sepadan dengan semua ini. Kalian tahu sendiri bagaimana teguhnya si orang tua itu pas tahu aku malah mengajukan negosiasi,” kata Rasyid kesal.
Gantian Dika yang menggelengkan kepalanya tak percaya. “Itulah yang aku bilang, kenapa kamu jadi lemot gini padahal biasanya paling cepat tanggap kalo urusan beginian. Apa gegara cinta bikin kinerja otakmu jadi melambat,” kekeh Dika.
Rasyid memilih diam tak berkomentar soal sindiran Dika itu. Tapi tak lama Dika kembali berkomentar membuatnya ingat perjanjian masa lalu dengan ayahnya.
“Tunggu, bukannya di masa lalu kamu pernah melakukan perjanjian dengan ayahmu soal hubunganmu dengan Asmara. Kenapa sekarang beliau jadi mengubah sendiri perjanjiannya,” kata Dika bingung.
Rasyid menghela napas, “Itu kenapa aku bilang dia si orang tua yang teguh. Aku rasa dia tak percaya dengan apa yang akan aku dapatkan,” keluhnya.
Dika tak ayal terbahak, “Iya mungkin kamu hebat dalam bisnis, tapi soal menaklukkan wanita yang smart aku rasa kamu masih kalah jauh dengan Reno,” cibir Dika.
Tangan Rasyid yang kekar itu langsung terangkat ringan di punggung Dika. “Sakit geblek,” umpat Dika sambil menatap Rasyid tajam.
Rasyid santai meminum kopinya kembali setelah melakukan itu. “Aku kira tanganku kena sandaran kursi bukan punggungmu,” sahutnya santai dengan pandangan mencibir.
Dika melotot hendak mengumpat lagi, tapi ucapan Rasyid membuatnya batal menghentikan rentetan umpatannya. “Sampai kapanpun aku pasti menang melawan Reno, lelaki itu hanya akan menikah dengan Gladis bukan Asmara, Asmara milikku,” sahut Rasyid berdiri dari sana.
Rasyid duduk di meja kerjanya dan berusaha mengalihkan pembicaraan pagi ini dengan bekerja. Tapi hal itu tak berlangsung lama, dia masih terngiang dengan persaingannya dengan Reno.
Dia mengambil ponselnya hendak menelpon Reno. Tapi dering ponselnya mengalun lebih dulu dan melihat nama Laila di sana. Meskipun bingung, tapi Rasyid menerima panggilan itu.
“Ras, kamu apa kabar?” tanya Laila pelan. Rasyid mendengar nama panggilan itu merasa tak suka. “Ada apa?” ucap agak ketus.
“Apa kamu sudah mendengar soal pertunangan yang direncanakan oleh Om Alfin dan Papaku?” tanya Laila dan Rasyid hanya berdehem enggan berkomentar.
“Apa kali ini kita harus menyerah?” kembali Laila bertanya tapi pertanyaan kali ini membuat emosi Rasyid meledak. “Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menikahimu meskipun nyawaku taruhannya. Tidak akan pernah ada namamu dalam silsilah keluarga Ar Madin,” ucap Rasyid sarkas.
Laila terkejut dengan ucapan Rasyid sampai membuatnya terdiam.
“Diam saja dan tak perlu membuat pernyataan apapun ke publik soal ini. Jangan sampai aku juga membuatmu menyesal terlibat dalam kehidupanku,” kata Rasyid cepat dan menutup panggilan itu tanpa menunggu balasan apapun dari mulut Laila.
Rasyid sudah mengangkat ponselnya dan berniat melempar ponsel itu ke jendela tapi pintu ruangannya terbuka membuatnya batal melakukannya dan meletakkannya di meja dengan keras.
Dika dan Edgar muncul dari balik pintu dengan jelas mereka melihat wajah Rasyid yang tak bersahabat. “Apa kita sebaiknya balik lagi nanti?” tanya Dika pelan.
“Ada apa?” tanya Rasyid.
Dika menyodorkan dua berkas map dan menjelaskan soal perkembangan pekerjaan dengan Erick yang ada di Spanyol.
“Kali ini cukup aneh, saat kita ingin memutus kontrak dengannya, sikapnya langsung berubah jadi baik dan menuruti apapun keinginan kita. Aku jadi semakin curiga dengannya, sebenarnya apa tujuannya melakukan kerja sama dengan kita,” jelas Dika.
Rasyid mendongak dan menatap Edgar. “Ga kamu cek apa yang jadi kecurigaan Dika?” tanya Rasyid dan Edgar mengangguk, “Karena sebelumnya masih tidak terlalu nampak, saya tidak menyelidiki lebih lanjut. Namun, setelah kasus ini, saya akan menyelidiki ulang, selain dia bekerja sama dengan Marques,” jawab Edgar.
Dika menarik kursi dan duduk di hadapan Rasyid sambil menyelidiki sahabatnya yang sudah puluhan tahun bersama. “So, satu hal yang bikin aku penasaran, kenapa kamu tidak bisa cepat bergerak untuk membuat Asmara jadi milikmu, meskipun hanya dalam perjanjian semata,” tanya Dika.
Rasyid menatap teman seperjuangannya itu sengit. “Dia bukan wanita yang mudah dirayu seperti yang ada dalam otakmu,” ketus Rasyid.
“Meskipun dia tahu kalo kamu pewaris Ar Madin?” Dika memastikan hal itu kepada Rasyid. Pria itu diam, dia bingung bagaimana menjawabnya, dari informasi Aldo sebelumnya Asmara sudah tahu soal siapa nama asli Rasyid dan apa pekerjaannya tapi nampaknya wanita itu biasa saja.
“Mungkin,” jawab Rasyid singkat.
Dika mengerutkan dahinya, “Kok mungkin, maksudnya gimana?” tanya Dika ga ngerti.
Rasyid menghela napas, “Mungkin dia tahu atau mungkin dia tak mau tahu. Beberapa kali aku berinteraksi dengannya dia nampak membentengi dirinya untuk berinteraksi lebih jauh denganku. Dia bisa bersikap biasa saja dan tidak terlalu peduli tentang kehadiranku,” jelas Rasyid.
“Baiklah, kalian terdengar seperti menjalani drama percintaan yang membosankan,” cela Dika. “Lalu, urusan bartermu gimana, nemu ide?” tanya Dika yang membuat Rasyid ingat jika dia masih ada urusan soal itu.
“Sedang aku pikirkan,” jawab Rasyid singkat.
Rasyid mengambil ponselnya dan menghubungi Reno yang sempat tertunda. Tapi panggilannya tak dijawab oleh Reno meskipun dia sudah menghubunginya sampai berkali-kali.
“Sialan kemana aja lu, nelpon lama banget baru diangkat,” umpat Rasyid kesal. Reno santai tertawa, “Kan aku sibuk, ga kaya elu pengangguran, pengangguran yang ngawasin Asmara doank,” ledek Reno santai.
Rasyid menulikan telinga dengan sindiran itu, “Sebenarnya maumu apa sih? Kamu nyuruh aku jagain Asmara tapi kamu sleeding mulu cara kerjaku,” omel Rasyid.
Reno mengerutkan dahinya, “Kapan aku sleeding elu?” tanya Reno polos.
“Kemarin malam elu ngomong apa aja sama Asmara sampai aku mau nelpon aja ga bisa,” ungkap Rasyid jujur tak mau menyembunyikan apapun lagi.
“Elu kaya intel aja sampai sambungan telponnya diselidiki juga,” kata Reno masih tertawa. “Kita bahas soal pengacara yang nanti mau dia sewa buat ngurusin masalah perceraiannya,” kata Reno.
Rasyid kaget mendengarnya dan dia makin emosi. “Kenapa jadi elu yang siapin pengacara, aku udah sewa pengacara terbaik buat ngurusin soal ini dan aku yang ngatur nanti cara mereka ketemu. Elu itu bener-bener bikin gue emosi,” umpat Rasyid tak tanggung-tanggung.
“Waduh, sorry to say Bro, kirain elu udah ga mau terlibat urusan beginian lagi, lagipula dia minta tolong sama aku masa iya aku ga bantu, jatuh lah pamorku sebagai lelaki yang siaga buat dia,” kata Reno dibumbui dengan cabe dan kompor.
“Batalin ga?” perintah Rasyid dan Reno berdehem.
“Sorry ga bisa, yang ngurusi bukan orang sembarangan, dia sahabatku kok dan udah punya tunangan juga, jadi ga bakalan berani macem-macem sama Asmara,” kata Reno.
“Aku ga peduli, Asmara harus pake pengacara yang aku sewa karena aku punya rencana sendiri terutama soal harta gono gini mereka,” jelas Rasyid mulai tak sabar.
“Harta gono gini apa? Yaseer pasti paham lah, udah kita mah duduk manis dan nunggu surat cerai Asmara keluar,” kata Reno santai.
“Kapan elu ke Jakarta buat ketemu sama temenmu itu, aku ikut. Harus!” perintah Rasyid. Reno protes dengan keputusan Rasyid tapi pria itu masih kekeuh untuk ikut atau dia bisa nekat dan meminta Asmara memakai pengacaranya.
“Entar aku kabari lah, ga usah sok maksa, Asmara ga suka Bro,” pesan Reno. “Aku tahu, tapi di saat semua cara benar yang aku lakukan, mesti kamu sleeding, aku mau pake cara bar bar lah,” ucap Rasyid kesal.
“Urusanmu sama Laila beresin dulu jangan sampai saat kamu udah dapet perhatiannya Asmara, dia harus kecewa karena tahu kamu bertunangan dengan Laila,” pesan Reno.
Rasyid diam.
“Itu urusanku, yang penting jangan lupa kabari aku, ini lebih penting urusannya,” pesan Rasyid dan dia menutup panggilannya dengan Reno.
Rasyid mencari satu nama dan kembali melakukan panggilan. Tak lama panggilan itu diangkat tapi suara pria lain yang dia dengar.
“Mana Papa?” tanya Rasyid yang dia dengar suara Lukman asisten papanya. “Beliau masih meeting mungkin sekitar 20 menit dan Tuan Muda bisa menghubungi beliau kembali,” jelas Lukman.
Rasyid menutup telponnya dan meminta Edgar untuk mengecek rekam jejak Yaseer sebagai pengacara. Tinggallah Dika dan Rasyid di dalam ruangan itu. Dika menatap Rasyid yang bingung menelpon sana sani.
“Rasyid,” panggil Dika.
“Jalani saja pertunanganmu dengan Laila dulu sampai tiga bulan atau enam bulan, lalu buat perjanjian di atas materai untuk hal ini,” Dika mengucapkan itu pelan tapi dia mendapat tatapan membunuh dari Rasyid.
“Imbalannya, 40 persen saham Madin atas milikmu terdaftar bukan warisan. Kebebasan memilih istri setelah pertambangan minyak dan mineral mendapatkan keuntungan 50 persen,” usul Dika.
Rasyid memikirkan usul Dika itu dengan cermat. Dia menggaruk pelipisnya pelan dan menghitung kasar untung dan rugi masalah itu.
“Jika imbalan itu memberatkan maka Papa tidak akan menjalankan pertunangan yang mereka inginkan. Karena nilainya tidak akan sepadan,” gumam Rasyid dan Dika mengangguk cepat mendengarnya.
“Meskipun keluargamu sanggup melakukan apa yang aku usulkan tadi tapi jika semua itu jadi milikmu, maka Derawan tidak akan dapet apa-apa sedangkan ini perjanjian bisnis dengan mereka juga,” jelas Dika menyemangati.
“Aku menambahkan satu ide lagi, yang aku rasa cukup membuat Papa akan bungkam kali ini,” kekeh Rasyid bangga.
Pria itu kembali menelpon dan dia mendengar suara ayahnya, Rasyid mengganti panggilannya dengan mode pengeras suara dan merekamnya untuk jaga-jaga.
“Tumben kamu menelpon Papa, pasti ada hal yang mau kamu bicarakan,” ucap Papa Alfin basa basi.
Rasyid berdehem, “Tentu saja Pa, aku bukan tipe anak yang ramah untuk menyapamu dalam kondisi yang tidak perlu,” sahut Rasyid tak kalah sengit.
Keduanya diam.
“Aku mau bahas soal pertunanganku dengan Laila yang Papa bicarakan beberapa waktu lalu,” pembuka Rasyid dan Papa Alfin berdehem untuk mempersilahkan.
“Karena ini kehidupanku, jadi aku mau barter yang sepadan dengan peertunangan bisnis ini. Jika Papa ga setuju, tidak akan ada pertunangan diantara kita,” tegas Rasyid.
“Sekarang kamu mengajakku negosiasi,” sindir Papa Alfin.
“Pertunangan itu hanya tiga bulan, imbalannya 40% saham Madin di luar perjanjian kita sebelumnya. Kebebasan memilih istri setelah pertambangan kalian berhasil mencapai keuntungan 50%. Dan Asmara yang akan jadi menantu Ar Madin atau aku mundur jadi pewaris Ar Madin,” urai Rasyid tanpa keraguan.
“Dasar anak sinting!”
******