CH.68 Barter

1758 Kata
Rasyid parkir di depan rumah Asmara dan melihat wanita itu keluar dari garasi lalu masuk dalam rumahnya sambil menerima telepon. Rasyid masih menatap wanita itu lekat, Dika yang melihat reaksi Rasyid cukup penasaran. “Ga turun?” tanya Dika yang sebenarnya memancing. Rasyid hanya menggeleng, “Dia paling capek abis jalan ma anaknya, udah biarin aja, ntar kapan aku ke sini lagi,” kata Rasyid. Keduanya memutuskan untuk pergi dari sana. Dika menawarkan untuk pergi ke suatu tempat tapi Rasyid menolak dan meminta untuk langsung pulang. Rasyid duduk di kursi kerjanya, memutar ponsel yang dia letakkan di meja. Bayangannya kembali tertuju pada kejadian di mal hari ini terutama saat dia mulai berani bersentuhan dengan Asmara. “Hanya sentuhan kecil tapi kenapa rasanya berkesan banget dan aku tak bisa melupakannya begitu saja,” gumamnya lirih, sambil memejamkan matanya berkali-kali mengingat semuanya. Rasyid [Maafkan aku atas kejadian hari ini, tindakanku sudah berlebihan kepadamu.] Rasyid mengirim pesan kepada Asmara, berharap bisa mengurangi sedikit rasa bersalahnya. Hemm, entah ini benar atau tidak tapi muncul rasa bersalah dalam dirinya setelah melakukan hal itu. Rasyid [Tolong jangan membenciku karena hal ini. Maaf, aku menyesal.] Rasyid kembali mengirim pesan karena Asmara tak kunjung membalasnya. Dia berdiri dan bolak balik menengok ponselnya. “Astaga kenapa dia tak membalasnya, apa dia memang marah kepadaku?” keluh Rasyid. Rasyid [Apa kamu  sudah sampai di  rumah] Rasyid menghela napas karena basa basi yang dia lakukan. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal karena mengirimkan pesan yang tak penting kepada Asmara. Dia berjalan ke kulkas kecil di sudut ruangan dan mengambil sekaleng soda untuk meredakan kegelisahannya. Dia berdiri di tepi jendela ruangan itu dan melihat pemandangan kota di malam hari. “Kayanya aku beneran jadi lebih absurd sejak kenal Asmara, bahkan aku baru menyadari jika aku minta maaf kepada seseorang hanya  untuk masalah kecil,” kekeh Rasyid sambil menegak soda di tangannya. Edgar mengetuk pintu ruangannya dan Rasyid mengijinkannya masuk. Pengawalnya itu mengedarkan pandangan ke sekitar untuk melihat apa yang dilakukan tuannya. “Ada kabar dari Dubai Bos,” ucap Edgar sebagai laporan pembuka tapi bersamaan dengan itu ponsel Rasyid berbunyi tanda ada pesan masuk. Dia mengangkat tangannya untuk meminta Edgar menahan informasi yang akan dia berikan dan berjalan ke mejanya untuk melihat siapa yang mengirim pesan. Asmara [Kita sudah sampai di rumah, thanks.] Rasyid menyunggingkan senyum melihat pesan yang muncul di ponselnya. Setidaknya Asmara masih membalas pesan yang dia kirim meskipun dia masih penasaran dengan balasan untuk ucapan maafnya. Rasyid menatap ponselnya dalam beberapa menit tapi tak muncul lagi balasan dari Asmara membuatnya mengerutkan dahi. Dia menoleh ke arah Edgar. “Kamu kalo kirim pesan ga dibales kudu gimana?” tanya Rasyid kepada pengawalnya membuat Edgar bingung. Rasyid berjalan mendekati Edgar dan menyodorkan ponselnya, “Coba cek ponselku rusak ga? Kenapa tidak ada pesan yang masuk ke ponselku, jangan-jangan hapeku ga fungsi lagi,” ucap Rasyid. Meskipun bingung Edgar menerima dan memeriksa apa ada yang salah dengan ponselnya tapi  dia tak melihat keanehan dalam ponsel itu. Sampai tak sengaja dia melihat pesan yang terkirim dan melihat nama ‘Rara’ di sana yang membuatnya paham kenapa bosnya jadi aneh. “Tidak ada yang rusak Bos, kalau tidak ada pesan masuk berarti tidak ada yang membalas pesan Bos,” kata Edgar pelan. Rasyid menatap Edgar tak suka dengan ucapan pengawalnya itu. “Apa maksudmu dengan tidak ada yang membalas pesan, apa menurutmu dia tak mau membalas pesanku?” tanya Rasyid cepat. Edgar tak punya jawabannya lain selain mengangguk. Rasyid menggeram kesal, “Ga mungkin dia ga mau balas pesanku, sini,” Rasyid kembali merebut ponselnya dan mengirim pesan kepada Asmara. Rasyid [Apa terjadi sesuatu? Kenapa kamu tidak membalas pesanku.] Pesan terkirim. Rasyid berjalan mendekati mejanya dan mengetuk ponselnya di meja sambil menunggu balasan Asmara. Dia sampai menjambak rambutnya kesal menunggu balasan itu. Dia memikirkan kata yang bakal dibakal oleh Asmara. Rasyid [Okay, met istirahat salam buat Ario ya. Next, kalo aku mau ketemu Ario boleh kan?] Dia masih berusaha sabar menunggu sampai beberapa menit hingga akhirnya dia tak tahan lagi dan menelpon Asmara karena tak bisa menahan rasa penasarannya. Rasyid mengerutkan dahinya karena terdengar nada sibuk di seberang sana. Dia menjauhkan ponselnya dan melihat nama di layarnya, dia memang menelpon Asmara tapi kenapa nadanya sibuk. “Siapa yang menelponnya malam-malam gini?” geram Rasyid makin menjadi. Edgar yang masih diam di ruangan itu mengerutkan dahinya makin dalam melihat tingkah absurd bosnya itu yang mendadak jadi galau dan emosi. Jika saja dia bisa membantu dia ingin melakukannya tapi apa masalah sebenarnya ini yang dia tidak ketahui. “Bos,” panggil Edgar yang tak tahan melihat keanehan tingkah bosnya itu. Rasyid menoleh dan kembali mendekati Edgar lalu memberikan ponsel itu kepada pengawalnya. “Kamu bisa cek ga sapa yang nelpon Asmara sekarang? Ini sudah malem lo, tapi kenapa masih ada yang menelponnya,” kesal Rasyid. Edgar mengangguk dan pamit keluar ruangan untuk melakukan apa yang bosnya perintahkan. Rasyid mondar mandir kaya setrika dan keluar ruangan mencari Edgar yang duduk di meja pantry menatap laptopnya. “Gimana hasilnya?” tanya Rasyid penasaran membuat Edgar mendongak. Edgar memutar laptopnya dan menunjukkan hasil pencarian yang dia lakukan. Dika yang ada di sofa ruang tengah penasaran dengan apa yang dua pria itu lakukan ikut mendekat dan menyela posisi mereka. Dika mengerutkan dahinya bingung dengan tampilan laptop yang menunjukkan history panggilan seakan mereka sedang menyelidiki seseorang. “Panggilannya sapa ini?” tanya Dika menoleh kepada keduanya. Rasyid yang melihat hal itu mengepalkan tangannya dan menggeram. “Kurang ajar, kenapa Reno mesti nelpon Asmara sesering ini dan sekarang malam-malam gini nelpon lagi. Apa sih yang mereka bicarakan?” keluh Rasyid kesal. Dika dan Edgar saling menatap terutama Dika yang paham soal jawaban pertanyaannya tadi. Dika hendak mengomentari, baru membuka mulut tapi Rasyid sudah kembali mengoceh. “Kayanya aku memang perlu ngajak Reno ngomong lagi, gimana aku bisa deket sama Rara dan menunjukkan keseriusanku kalo dia sleeding mulu,” omelnya dan pergi begitu saja. Baru saja Edgar menghela napas, Rasyid kembali lagi dan mengambil ponselnya lalu menatap keduanya. “Minta orang buat selidiki apa rencana Reno, sekarang!” perintah Rasyid tegas. Edgar mengangguk tanpa bantahan, sedangkan Dika berdecak yang kemudian mendapat tatapan tak suka dari Rasyid. Asistennya itu tak peduli dan berlalu dari sana begitu saja. Rasyid menghitung sekitar tiga puluh menit mereka belum selesai menelpon. Ada rasa gelisah, penasaran, kesal, campur aduk jadi dalam diri Rasyid yang membuatnya kembali mengirim pesan kepada Asmara. Rasyid [Udah tidur ya, apa kamu ga bales karena aku ga  boleh ketemu sama Ario.] Rasyid menghela napas melihat pesan itu terkirim. Dia pergi ke balkon dan memasukkan ponselnya ke kantong. Dia diam memandang ke kerlip lampu kota malam hari. Tiba-tiba dia ingat jika Edgar hendak melapor soal Dubai. Rasyid memutuskan untuk menemui Edgar lagi, tapi ponselnya sudah berdering. Dia tidak terlalu antusias karena dia tahu siapa yang menelponnya karena dia memasang nada khusus untuk penelpon. “Ada apa Pah,” kata Rasyid meskipun enggan bagaimana pun dia masih ayahnya. “Papa pikir pengawalmu belum menyampaikan apa yang ingin Papa lakukan kepadamu, sampai detik ini kamu tidak marah kepadaku,” sindir Papa Alfin membuat Rasyid jengah. “Langsung aja ke intinya Pa,” sahut Rasyid malas. “Karena sampai hari ini kamu tidak ada progres apapun, Papa dan Om Radit akan tetap menyusun pertunangan kamu dengan Laila. Semua publik harus tahu masalah ini demi bisnis,” ucap Papa Alfin. Rasyid menegang. Di saat seperti ini ayahnya masih sempat menyulut emosinya dengan membahas soal pertunangannya dengan Laila. Dan sejak kapan ayahnya peduli dengan urusan pribadinya  yang berprogres atau tidak. “Jangan memicu amarahku Pa,” geram Rasyid. Kepalanya sudah pening memikirkan Asmara yang tak kunjung membalas pesannya sekarang dia malah dapet informasi baru yang makin membuatnya kesal. “Kenapa masalah bisnis ini bisa jadi amarah buat kamu,” kekeh Papa Alfin. “Kita seharusnya melakukannya sejak lama jika bukan karena wanitamu yang entah sampai kapan itu kamu kejar tanpa hasil  yang pasti,” omel Papa Alfin. Rasyid memejamkan matanya menahan emosi yang sebentar lagi meledak. “Malam ini aku tidak dalam mode ingin berdebat dengan Papa, tapi satu hal yang pasti, tidak aka nada pertunangan dengan Laila. Aku tak peduli soal bisnis atau hal bullsshit lainnya,” geram Rasyid langsung menutup telponnya. Dia sudah tak peduli masalah kesopanan sekarang, jika dia tidak melakukan hal itu, dia bisa saja memutuskan hubungan ayah dan anak karena emosinya yang tak bisa dia kontrol. Rasyid menggengam ponselnya erat dan berniat membantingnya tapi tak lama muncul notifikasi yang dia tunggu. Sekali lagi dia memasang nada khusus sama seperti ayahnya. Asmara [Aku kabarin lagi kalo mau maen sama Ario.] Rasyid membaca pesan itu dan emosinya perlahan memudar. Secepat kilat dia membalas pesan itu. Rasyid [Terima kasih sudah boleh main sama Ario.] Tak lama balasan Asmara muncul. Asmara [Aku yang makasih, sudah dibantu tadi. Tapi kammu tak perlu melakukan hal sebanyak itu.] Rasyid [it’s okay, because I want.] Asmara [Terserah kamu lah, tapi  aku harap kamu tak terlalu memberi Ario harapan, karena aku belum tentu bisa menerimamu seperti Ario.] Rasyid diam menatap pesan itu lama. Sekarang dia bingung apa yang harus dia katakan kepada Asmara. Dia bisa saja melakukan semuanya sesuai kehendaknya tapi tindakan itu pasti membuat Asmara tidak nyaman dan dia akan pergi, sama seperti perpisahan mereka hari ini. Rasyid [Aku memang ingin jadi ayah Ario, bukan memberi harapan. Sekaligus jadi lelaki yang bisa membuatmu  bahagia.] Rasyid meletakkan ponselnya di ranjang dan dia duduk sambil menundukkan kepalanya. Tak ada lagi dering notifikasi yang muncul karena dia tahu Asmara pasti tak ingin membahasnya. Tapi ungkapan dalam dirinya sudah tak bisa dia tahan lagi. “Bagaimana bisa aku melepaskan wanita sehebat dirimu Ra, bahkan emosiku hilang seketika hanya dengan membaca tulisanmu. Ini kekonyolan luar biasa tak bisa aku pikirkan,” lirih Rasyid sambil menjambak rambutnya. Pagi harinya dia menanyakan perihal laporan dari Dubai kepada Edgar dan dia menyampaikan soal pertunangan itu. Tapi setelah kesepakatan itu nilai saham Madin dan Derawan grup meningkat pesat dan memberikan banyak keuntungan. “Aku rasa ini  memang pertunangan bisnis Bro, kalopun ada unsur paksaan orang lain tak melihat hal itu, tapi mereka semakin semangat dilihat dari penjualan lot saham yang tidak sedikit,” urai Dika menunjukkan grafik yang nampak naik. “Tapi kelinci percobaannya gue, kebahagiaan dan keinginan hati gue. Puas kalian!” seru Rasyid berlalu dari sana dan duduk di pantry untuk menikmati kopi yang sebelumnya sudah dia seduh. Dika duduk di samping Rasyid dan memberi kode kepada Edgar untuk ikut bersama dirinya duduk di sana. Ketiganya saling berhadapan. Dika berdehem untuk meminta perhatian mereka tapi Rasyid masih cuek. “Kenapa kamu ga mencoba barter dengan Tuan Alfin.” *******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN