Di dalam kamar, Vira yang baru saja siuman terlihat mengerutkan alisnya. Dia berusaha bangun sambil memegangi kepalanya yang masih terasa pusing.
"Di mana aku? Mengapa aku bisa berada di tempat ini?" Vira mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan hati bingung.
Dia ingat, terakhir kali dia duduk di taman menunggu Astri dan sedang pergi membeli makanan untuknya. Lalu tiba-tiba saja dia mimisan dan selanjutnya tidak sadarkan diri.
Suara pintu yang dibuka dari luar membuat Vira terkejut. Dia membawa pandangannya ke sana dan semakin terkejut lagi tatkala melihat sosok pria yang muncul dari balik pintu.
Dia seperti pernah melihatnya saat di rumah sakit.
"Oom?"
"Ah, iya, kamu sudah sadarkan diri? Apa yang kamu rasakan sekarang? Apa kamu menginginkan sesuatu?" Tuan Hadinata bertanya penuh kekhawatiran.
"Sa-saya ...." Vira terlihat bingung.
"Jangan takut, Oom bukan orang jahat. Kita pernah bertemu sebelumnya di rumah sakit. Kamu ingat kan?"
Vira lekas mengangguk. "I-iya, Om, saya ingat."
"Oom menemukan kamu pingsan di bangku taman lalu membawamu pulang ke rumah. Oom juga sudah memanggil dokter untuk memeriksa dan mengobati kamu tadi." Tuan Hadinata berkata penuh kelembutan.
"Kalau begitu ...."
Kruukk
Bunyi cacing di perut yang kelaparan membuat Tuan Hadinata menghentikan ucapannya.
Vira memegangi perutnya dengan wajah merona. Dia kemudian menunduk menyembunyikan rasa malunya.
Tuan Hadinata tersenyum kemudian berjalan ke arah meja nakas. Dia meraih nampan berisi makanan dan segelas s**u.
"Kalau begitu, sekarang kamu makan dulu ya, setelah itu minum obatnya." Tuan Hadinata menyerahkan nampan di tangannya kepada Vira.
Dengan malu-malu, wanita itu menerima nampan tersebut sambil mengucapkan terima kasih.
Tuan Hadinata pun segera keluar meninggalkan kamar. Dia ingin Vira menikmati makan malamnya dengan nyaman tanpa rasa malu.
***
Sudah 3 hari ini Vira tinggal di rumah tuan Hadinata. Rumah minimalis dengan halaman yang dipenuhi taman bunga.
Sebenarnya hari itu juga Vira ingin pergi meninggalkan rumah tersebut, tetapi Tuan Hadinata melarangnya.
Pria itu memaksanya untuk tetap tinggal, sampai ia benar-benar sembuh. Tuan Hadinata beralasan jika ia seperti melihat putrinya sendiri dalam diri Vira. Oleh sebab itu dia menganggap Vira seperti anaknya.
Tidak lupa pria paruh baya itu juga mendatangkan seorang pelayan untuk menemani Vira di rumah.
"Om ...."
Tuan Hadinata yang sedang fokus mengetik sesuatu di layar ponselnya seketika menoleh.
Pria paruh baya itu tersenyum lalu segera bertanya, "Vira, ada apa? Apa kamu membutuhkan sesuatu?"
Vira terlihat ragu, wanita itu menunduk sambil memainkan jari jemarinya.
"Ada apa, Vira? Katakan saja, jangan takut. Apa pun yang kamu minta pasti akan Om kabulkan." Ucap Tuan Hadinata meyakinkan.
Dengan suara pelan dan masih dengan menunduk Vira pun akhirnya mengungkapkan keinginannya.
"Saya ingin minta tolong, bisa nggak Om Hadinata mencari dan membawa teman saya ke sini?"
Tuan Hadinata terlihat mengerutkan dahinya. "Teman? Apa kamu memiliki seorang teman? Bukankah kamu tidak memiliki siapa-siapa?"
Seketika Vira menegakkan kepalanya, ia menatap Tuan Hadinata penuh tanda tanya.
Seperti tersadar atas kekeliruannya, dengan cepat Tuan Hadinata meralat.
"Maksud Oom, apa kamu bersama seorang teman saat di taman? Karena waktu Oom menemukan kamu, nggak ada siapa-siapa di tempat itu."
"Saya bersama teman saya waktu itu Om, hanya saja dia sedang pergi untuk membeli makanan," terang Vira.
"Ooh ... seperti itu."
"Lalu, di mana rumah teman kamu itu? Biar Om menyuruh ojek atau taxi online menjemputnya. Dia seorang wanita 'kan?"
Vira mengangguk. "Tapi saya tidak tahu di mana rumahnya Om. Saya juga tidak yakin dia memiliki rumah atau tidak."
Tuan Hadinata melongok. "Lalu bagaimana bisa kamu mengenalnya?"
"Dia bekas kepala pelayan di rumah keluarga Pratama Om, dan dia satu-satunya orang yang peduli kepada saya selama saya tinggal di rumah itu."
Tuan Hadinata kembali mengangguk-angguk paham.
Selanjutnya, ia meminta ciri-ciri teman yang dimaksud oleh Vira. Setelah itu Tuan Hadinata menelpon orang kepercayaannya untuk melacak keberadaan Astri. Tentunya tanpa sepengetahuan wanita itu.
Seorang wanita cantik memasuki lobi kantor dengan langkah ringan. Penampilannya yang begitu memukau membuat ia menjadi pusat perhatian. Dia laksana magnet yang memiliki daya tarik tersendiri.
Wanita itu memakai blazer casual berwarna hitam yang dipadu dengan midi dress berbahan lace. Statemen belt yang melingkar di pinggang, semakin mempertegas siluet tubuhnya. Sepatu high heel tinggi membuat penampilannya kian sempurna.
Tidak ada yang menyangka jika wanita yang terlihat bersinar itu adalah Vira.
Seorang resepsionis langsung menyapa dan menghampiri, begitu ia sadar jika wanita yang sedang berjalan ke arah mejanya adalah istri bos.
Tidak hanya penampilannya, tapi juga ekspresi wajah Vira yang tidak seperti biasanya, membuat orang semakin penasaran kepadanya.
Vira yang biasanya terlihat ramah dan murah senyum, kali ini terlihat dingin dan acuh.
"Saya ingin bertemu pak Yudha, apakah beliau ada di ruangannya?"
Resepsionis mengangguk kaku, sepertinya dia sedikit terkejut dengan perubahan sikap Vira.
Sampai wanita itu tiba di depan lift, barulah resepsionist tersebut tersadar. Dia segera berlari menghampiri Vira.
"Bu Vira, maaf!"
Vira menoleh melihat resepsionis yang berdiri di sampingnya. "Ada apa? Mengapa tiba-tiba minta maaf?" Vira bertanya dengan alis bertaut, heran.
Resepsionis bernama Tina itu terlihat agak ragu. "Ee ... pak Yudha sedang rapat di ruang meeting, mungkin agak lama, apa tidak sebaiknya—"
Belum sempat Tina menyelesaikan kalimatnya, Vira sudah lebih dulu memotongnya.
"Saya bisa menunggu di ruangannya, itu tidak masalah," sahut Vira datar.
Selesai berkata ia langsung menekan tombol lift. Begitu pintu lift terbuka Vira segera masuk tanpa mengucapkan sepatah kata.
Tina yang tidak bisa berkata apa-apa lagi hanya bisa bengong melihat Vira masuk ke dalam lift. Sampai pintu lift tertutup, barulah ia kembali ke mejanya sambil memukul-mukul kepalanya sendiri.
"Seharusnya aku mencegah siapapun datang ke ruangan Pak Yudha, termasuk Bu Vira. Tapi mengapa hari ini aura wanita itu begitu menakutkan, sampai aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya."
***
Begitu tiba di lantai atas, Vira langsung menuju ke ruangan Yudha. Wanita itu langsung membuka pintu dan masuk tanpa mengetuknya lebih dulu.
Hal pertama yang ia lihat begitu sampai di dalam adalah sebuah adegan panas yang diperankan dua anak manusia berlainan jenis. Dua orang itu adalah Yudha dan Jeslyn.
Keduanya sedang berpacu di atas meja dengan tubuh nyaris telanjang.
Bukannya terkejut atau berteriak histeris, Vira justru terlihat tenang dan biasa saja.
Justru Yudha dan Jeslyn yang terlihat sangat terkejut melihat kemunculan Vira yang tiba-tiba. Di tambah lagi dengan penampilan wanita itu yang berubah 180 derajat.
Dua tubuh yang sedang menyatu terpaksa saling melepaskan diri. Mereka kemudian sibuk mencari dan memakai pakaiannya masing-masing.
"Kalau mau dilanjutkan juga nggak apa-apa kok. Kalau malu aku lihatin, ya pindah tempat aja dulu. Itu kan ada kamar mandi dan ruang tidur pribadi," ucap Vira dengan santai sambil menunjuk ruangan yang ada di salah satu sudut.
Wajah kedua orang itu semakin terlihat merah padam. Antara malu dan kesal.
Yudha yang sedang memasang kancing kemeja, seketika menghentikan gerakannnya. Pria itu melihat ke arah Vira dengan alis berkerut.
"Makhluk apa yang sudah merasukinya, sampai dia berubah drastis seperti ini."
"Lain kali kamu harus mengetuk pintu terlebih dulu sebelum masuk," ucap Yudha menyembunyikan rasa herannya.
"Seperti tidak diajari sopan santun saja, main nyelonong masuk ke ruangan orang," timpal Jeslyn tanpa mengaca pada perbuatannya sendiri.
Vira tersenyum miring, kemudian dia menjawab, "Resepsionis di bawah berkata jika Tuan Yudha sedang mengadakan rapat di ruang meeting, dan itu akan sangat lama. Jadi buat apa aku mengetuk pintu kalau nggak ada orang di dalamnya."
"Ternyata Tuan Yudha rapatnya di sini. Aku jadi merasa bersalah karena sudah membuat kerapatan kalian lepas. Sorry." Vira memasang wajah menyesal saat mengucapkan kata 'sorry'.
Jeslyn berdecak kesal, sedang Yudha hanya bisa diam dengan rahang mengatup rapat.
"Tetap saja, kamu nggak boleh masuk sembarangan ke ruangan orang!" Jeslyn masih ngotot berkilah.
"Jangan salahkan aku! Salah kalian sendiri yang begitu bernafsu dan nggak sabar ingin bersetubuh sampai lupa mengunci pintu."
"Memangnya sudah berapa lama kalian nggak berbuat m***m? Sampai kayak orang kebelet seperti itu!" sindir Vira sebelum menjatuhkan bobot tubuhnya di atas sofa.
Wajah Yudha kian terlihat merah padam. Ia merasa terhina dengan perkataan istrinya. Dia tidak mungkin akan tinggal diam.
"Kau ingin bermain kata-kata rupanya."