Kesempatan Kedua

1078 Kata
Reven memungut bukunya dan berdiri. "Terimakasih, apa kau salah satu dari rombongan dari kota itu?" tanyanya. Si pria menjawab seadanya dengan anggukan, sejak tadi hingga sekarang, tatapannya selalu tertuju pada gambar yang baru saja Reven selesaikan. "Jika kau suka, kau bisa memilikinya." Reven merobek lembar yang memiliki gambar dan menyerahkannya pada pria itu, tapi setengah jalan, dia tiba-tiba ingat bahwa pria ini adalah mahasiswa seni dari kota yang tentunya jauh lebih hebat darinya. Reven berniat menarik kertasnya kembali, tapi pria itu lebih cepat mengambilnya. "Terima kasih, aku sangat suka." Reven menggaruk tengkuk malu. "Bukan apa-apa, gambar kalian seharusnya lebih baik dariku." "Tidak. Sejauh ini, gambar milikmu adalah yang terbaik dari semua yang pernah aku lihat." Pria itu mematai gambar Reven dengan penuh keseriusan. "Garis-garisnya tegas, dengan detail yang luar biasa, bahkan tanpa goresan warna lain sekalipun, lukisan ini telah hidup." Sanjungan seperti ini, adalah yang pertama kalinya Reven dengar dari orang lain selain kakeknya, biasanya orang-orang desa hanya mendeskripsikan lukisan dengan kata bagus dan indah, jadi reaksi yang bisa dia berikan adalah berterima kasih sekali lagi. "Di sekolah seni mana kau belajar?" tanya pria itu. "Tidak ada sekolah seni di desa ini." "Jadi kau, tidak sekolah seni?" Pria itu menebak, karena dari aksen saat Reven berbicara yang sangat kental dengan aksen desa ini, maka dia menebak bahwa dia bukan seseorang yang pernah keluar dari desa. "Lalu, apa kau belajar melukis secara otodidak?" Mengingat di desa ini tidak pernah ada berita terkait seorang pelukis ternama. "Aku belajar dari kakek." "Kakek?" Pria itu mengangguk. "Jadi kelas berapa kau sekarang?" Reven mengerutkan kening. "Aku sudah lulus dua tahun lalu." "Lulus?" Nada pria itu sedikit meninggi tanpa dia sadari, dan bahkan maju untuk memegang kedua pundak Reven. "Lalu kenapa kau tidak ke ibukota untuk kuliah? Dengan bakatmu itu, kau bahkan bisa masuk ke Miracle university!" Reven semakin tak nyaman, terlebih topik tentang melanjutkan sekolah ke ibukota sedikit sensitif untuknya. Dia menepis tangan pria itu dari pundaknya dan mundur. "Tuan, kurasa alasanku tidak melanjutkan sekolah bukan urusan anda. Selamat tinggal." Reven meraih sepedanya dan pergi. "Tunggu! Dimana rumahmu! Hey nak! Setidaknya beritahu namamu dulu!" Setelah mengejar dengan sia-sia, pria itu menendang udara dan mengumpat pelan. "Aku seharusnya tidak terlalu bersemangat." "Prof? Apa yang terjadi?" Seorang pria muda yang sedang membawa canvas menghampiri. Leon, pria yang baru saja dipanggil Profesor itu memijat kepala. "Aku baru saja menemukan seorang pelukis berbakat, tapi membuatnya takut dan lari!" "Hah?" "Kumpulkan semua mahasiswa, hari ini tidak ada kegiatan melukis, bantu aku mencari seseorang." *** Di sisi lain, Reven sudah mencapai rumahnya, setelah menyapa semua orang, dia naik ke kamar untuk menyimpan semua barang-barang yang baru saja dia beli. Setelah itu keluar rumah lagi untuk memeriksa domba-domba yang dia lepaskan pagi tadi. Tapi, sebelum matahari tenggelam, sekembalinya Reven dari menggembala, dia menemukan rumahnya sangat ramai, terlihat beberapa tetangga yang melongok dari pintu rumah mereka atau bahkan berkumpul di depan pagar depan rumah Reven.. "Bibi? Ada apa ramai-ramai di sini?" "Oh Reven, kau akhirnya kembali. " Dia adalah bibi yang Reven antar ke pasar tadi pagi, wanita paruh baya dengan rambut di sanggul itu menarik Reven dan mendorongnya melalui kerumunan untuk masuk ke halaman rumah. "Cepat masuk, mahasiswa dari kota yang aku katakan tadi pagi ada di rumahmu." "Mahasiswa?" Bayangan tentang pria yang dia temui di depan danau muncul di ingatan Reven. "Apa yang dia lakukan di sini?" Reven bergegas masuk, dan benar saja. Orang yang datang adalah pria itu, dan saat ini sedang berada di tengah-tengah keluarganya, duduk sambil minum teh. Leon dengan cepat menyadari kedatangan Reven, dia berdiri dan tersenyum lebar. "Kau akhirnya pulang, aku menunggumu sejak tadi," katanya. "Apa yang kau lakukan di sini?" "Jadi kau benar-benar mengenalnya?" tanya kakek Reven. "Tidak," jawab Reven cepat, dia tidak tahu apa tujuan pria ini mengunjungi rumahnya, tapi kesan pria itu padanya tadi pagi tidak terlalu baik. Seolah tak tersinggung dengan jawaban tak ramah Reven, Leon sama sekali tidak kehilangan senyumnya. "Perkenalkan, namaku Leon Davidson, aku juga sudah mengetahui namamu dari penduduk desa. Jadi bagaimana? Bukankah kau sudah mengenalku sekarang?" "Sekarang, nama tidak begitu penting. Bisakah kami tahu tujuan anda kemari tuan?" Mr. Leander menengahi, pasalnya sejak datang, pria kota ini sama sekali tidak mengatakan tujuannya dan ingin menunggu Reven sebelum mengatakannya. Leon mengeluarkan gambar pemandangan danau karya Reven yang dia dapatkan tadi pagi, kertas itu masih terlihat sangat rapi ketika diletakkan di atas meja. "Saat pertama kali melihatnya gambar ini, aku berpikir bahwa Reven adalah pelukis yang berbakat, tapi setelah melihat mural yang dia buat di luar, aku salah. Karena berbakat saja tidak cukup untuknya, dia adalah seorang jenius." Leon menatap Reven penuh minat, seolah melihat hasil karya seni yang langka. "Goresan tanganmu jauh lebih menakjubkan jika menggunakan kuas dan cat. Jadi, tujuanku datang hari ini adalah menawarkanmu beasiswa untuk melanjutkan studi di ibukota." "Be-beasiswa?" Kakek Reven tergagap. Dia menatap cucunya yang masih mematung di pintu lalu kembali ke arah Leon. "Benarkah beasiswa? Itu artinya Reven akan ke ibukota untuk kuliah seni?" Leon tersenyum lebar. "Ya." Kakek Reven berubah menjadi sangat bahagia. "Lihatlah! Reven, kau akhirnya punya kesempatan ke ibukota!" "Ayah!" Mrs. Leander menegur. "Apa? Kau mau menentang lagi?" Kakek mengetuk lantai dengan tongkatnya kesal. "Sudah cukup dua tahun yang lalu kalian menghalangi mimpi putra kalian, sekarang aku tidak akan membiarkannya!" Mr. Leander memijat kepala. "Ayah, kita bahkan tidak tahu apakah kepastian beasiswa ini benar-benar ada." Bagaimanapun, Leon datang secara tiba-tiba di rumah mereka, bagaimana bisa mereka percaya begitu saja? Leon juga mengerti itu, jadi dia membeberkan identitasnya. "Aku adalah salah satu Professor di Miracle university, jadi cukup yakin bisa memberikan satu spot beasiswa di kampus itu pada Reven." "Professor?" Semua orang di dalam rumah tiba-tiba menatap Leon dari atas ke bawah dengan aneh, bahkan kakek Reven yang awalnya percaya padanya mulai ragu-ragu. Leon tiba-tiba tertawa. "Walaupun penampilanku terlihat seperti ini, tapi sebenarnya aku sudah berusia empat puluh tahun." " ... " "Jika tak percaya, kalian bisa lihat di kartu identitasku." Leon mengeluarkan KTPnya dan memperlihatkannya pada semua orang. Reven yang juga penasaran mendekat, dan memastikan bahwa Leon benar-benar berusia 42 tahun, hanya tiga tahun lebih mudah dari ibunya, tapi saat keduanya berdiri di tempatnya yang sama, Leon akan terlihat seperti putra sulung Mrs. Leander. Mrs. Leander menyentuh wajahnya dan mulai berpikir untuk mencari perawatan kulit mujarab yang bisa membuat kulitnya terlihat lebih muda. Leon mengabaikan semua tatapan takjub yang dia dapatkan, lagipula ini bukan pertama kalinya seseorang terkejut dengan usianya. Dia kemudian menatap pada Reven. "Bagaimana Reven? Maukah kau ikut ke ibukota bersamaku dan mengejar cita-citamu?" Bersambung ...

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN