Jenius Yang Tersembunyi

1150 Kata
2 Tahun kemudian. Angin berhembus, dedaunan berdesir dan hutan bambu berderit. Hari lain di desa Reever masih menyajikan pemandangan teduh bahkan saat musim panas. Tawa renyah anak-anak bersahutan dengan serangga musim panas, menarik perhatian para wanita paruh baya yang sedang mencuci di pinggir sungai. "Ya ampun, ya ampun, dia melakukannya lagi. Bagaimana jika putraku jatuh!" Seorang wanita paruh baya melepaskan pekerjaannya, mengangkat tinggi roknya dan berlari ke sisi bukit. "Reven! Jangan mengajari anak-anak lari seperti itu! Bagaimana jika mereka jatuh dan berguling dari bukit!" Reven, pria tinggi yang sedang berlari dengan sejumlah bocah laki-laki di belakangnya menoleh. "Bibi! Apa aku terlihat sedang mengajari mereka lari?" Dia berlari mengelilingi pohon. "Merekalah yang sedang mengejarku!" "Lalu berhenti lari!" Reven menghela napas dan akhirnya menghentikan langkah kakinya. Bocah yang berlari lebih kencang dari yang lainnya langsung memeluk paha pria itu. "Yeey! Aku menangkap kak Reven lebih dulu! Jadi aku yang akan mendapatkan gambarnya lebih dulu." "Aku kedua." "Aku ketiga." Selanjutnya dua anak lagi mengikuti. Reven menyerah dan mengangkat tangan. "Baiklah, baiklah. Jadi tuan-tuan ingin memesan gambar apa untuk hari ini?" "Aku ingin naga!" "Aku, aku mau pahlawan super!" "Aku juga!" "Aku ingin gambar diriku sendiri!" "Aku ingin gambar Minnie, anak bibi sebelah rumah." " ... " Reven menoleh pada anak terakhir yang berbicara. "Kau ini masih bocah! Untuk apa gambar seorang gadis?" "Tapi Minnie cantik dan imut. Aku suka." Sesaat setelah mengatakan itu dengan malu-malu, empat anak lain langsung mengelilinginya dan mulai mengolok-oloknya. Reven memutar mata, berbalik untuk mencari tempat duduk dan mulai menggambar. Setelah selesai dan memberikan semua yang anak-anak itu mau, barulah Reven bisa lepas dari jeratan mereka. Reven kemudian turun dari bukit dan mencari tahu keberadaan domba-domba yang dia gembala hari itu, tetap di sekitar mereka hingga matahari mulai condong ke barat dan perutnya mulai menjerit untuk di isi. Pemuda yang baru saja menginjak usia dua puluh tahun itu kemudian berlari pulang, di tengah jalan dia bertemu seorang nenek yang sedang menggendong sayuran di punggungnya. Reven menghampiri dan menyapa, kemudian mengambil alih keranjang dari punggung wanita itu. Si nenek adalah tetangga seberang rumah Reven, jadi saat sampai di rumah, Reven membawa dua lobak ekstra sebagai tanda terimakasih. "Ibu, aku lapar!" Ibu Reven adalah wanita paruh baya yang cantik, berusia lebih dari empat puluh tahun, menikah di usia sembilan belas tahun, melahirkan anak pertamanya di usia dua puluh tahun, kemudian melahirkan Reven lima tahun kemudian. Saat ini dia telah menggendong cucu pertamanya dari si anak pertama, menimang-nimangnya seperti harta sembari bersenandung. "Masuk ke dapur dan makan, kakakmu juga sedang makan siang." Reven menghentikan langkah di depan ibunya, mengecup pipi keponakannya beberapa kali hingga bayi itu mulai bergerak-gerak tak nyaman. Mrs. Leander memukul kepala putra bungsunya. "Jangan mengganggunya, dia baru saja tidur." Reven hanya tertawa pelan dan memberikan kecupan terakhir sebelum masuk ke dapur. Setelah makan siang, Reven kembali ke bukit untuk menggembala hingga sore hari dan akhirnya pulang. Seperti itu dan kegiatan hariannya yang hampir sama setiap hari selesai. Rumah keluarga Leander hanya memiliki tiga kamar tidur. Satu untuk Mr. Dan Mrs. Leander, satu untuk kakek dan nenek, dan satunya lagi milik Reven dan kakaknya Devan. Tapi setelah menikah, dua pria yang berbagi kamar dari kecil itu tentu tidak bisa bersama lagi. Reven yang masih sendiri harus mengalah dan membawa semua barang-barangnya ke gudang yang terdapat di atap dan mengaturnya sedemikian rupa hingga menyerupai kamar yang layak. Reven senang akhirnya memiliki ruangnya sendiri dan merayakannya dengan menggambar banyak graffiti dan mural di dinding. Hingga kini, hampir keseluruhan dinding kamar Reven penuh dengan karya seninya. Keesokan harinya, Reven masih menggembala, lalu membantu ibunya memetik sayuran dan buah sebelum pamit untuk turun gunung sebentar. "Kau mau apa?" "Buku sketsa dan cat minyakku habis. Lihatlah, bahkan pensilku tidak sepanjang jari kelingking lagi, sangat tidak nyaman memakainya." Mr. Dan Mrs. Leander sebenarnya tidak terlalu senang dengan obsesi putranya tentang lukisan, tapi bahkan berapa kalipun mereka marah dan membuang semua peralatan lukis Reven, anak itu sama sekali tidak menyerah, bahkan mulai membuat gambar dengan ranting di tanah. Jadi setelah Reven dewasa, keduanya menyerah dan membiarkannya melakukan apa yang ingin dia lakulan. Setelah pamit dan mendapatkan persetujuan, Reven menarik sepedanya dan mengayuh menuju pusat desa di bawah gunung. Di perjalanan, Reven bertemu wanita paruh baya yang memarahinya karena berlari kemarin. Reven berhenti. "Bibi, mau ke desa?" "Ya." Bibi itu sedang membawa buah-buahan di punggungnya, seharusnya mau ke pasar untuk berdagang. "Ayo naik, aku juga mau ke pasar." Bibi itu tidak menolak dan naik ke boncengan dengan keranjang buahnya. "Reven, bukankah kau sangat suka melukis?" Bibi itu bertanya. "Ya? Ada apa?" "Kemarin aku mendengar bahwa di desa sejumlah pemuda kota datang bersama dosen mereka, dan katanya mereka adalah mahasiswa seni yang membawa kertas dan cat kemana-mana." "Oh." "Kau tidak tertarik?" "Tidak, aku suka melukis, tapi aku tahu kemampuanku tidak hebat hingga bisa masuk universitas di kota, lagipula meninggalkan desa sangat tidak mungkin bagiku." "Eehh! Bagaimana bisa kau mengatakan itu? Di desa ini siapa yang tidak tahu kalau lukisanmu sangat bagus? Reven tertawa. "Level lukisan desa dan mahasiswa kota itu berbeda bibi, jangan memujiku terlalu tinggi. Oke! Kita sampai." Reven membantu bibi itu ke stan jualan miliknya sebelum lanjut melaju ke satu-satunya toko buku di desa Reever. "Selamat siang paman!" Reven mendorong pintu dan memamerkan senyum lebarnya. "Aku datang lagi." "Oh Reven, masuk." Pria paruh baya di belakang kasir melepaskan buku bacaannya. "Kehabisan cat lagi?" Reven mengangguk, masuk dan meletakkan buah yang dia bawa dari rumah ke meja kasir. "Ini untukmu, makan lebih banyak buah agar tetap sehat." "Terima kasih." Paman kasir itu menurunkan buahnya dan meletakkan semua benda yang Reven cari ke hadapan pria muda itu. "Masih ada lagi?" "Ya, satu buku sketsa juga." "Oke, untungnya kau datang lebih cepat, buku sketsa ini yang terakhir." Reven mengangkat alis dan menatap sekeliling toko buku yang juga merangkap sebagai toko peralatan tulis itu. Sepertinya memang lebih ramai dari hari lainnya. "Jadi mereka adalah mahasiswa seni dari kota yang orang-orang katakan?" Paman kasir mengangguk membenarkan. "Lihatlah, pakaian dan perhiasan mereka yang sangat mewah, semuanya pasti tuan muda dari keluarga kaya." Reven mengangguk, tapi tidak begitu tertarik. Selesai membayar semua benda yang ingin dia beli, dia pamit dan mengayuh sepedanya untuk pulang. Tapi setibanya di danau, dia tiba-tiba saja ingin mampir sejenak untuk menggambar. Jadi dia melakukannya. Mencari pepohonan yang teduh, duduk di bawahnya dan mulai menggambar dengan buku dan pensil barunya. Saat mulai menggambar, Reven biasanya akan lupa waktu dan keadaan sekitarnya, jadi dia sama sekali tidak merasakan ketika seseorang mendekat dari belakangnya. Barulah setelah selesai menggambar, dia melihat sepasang kaki di sisinya, Reven berjengit hingga menjatuhkan gambar yang baru saja dia selesaikan. "Kau mengejutkan saja." Reven menyipitkan mata. "Siapa kamu?" Pria itu tinggi dan tampan, berusia diatas tiga puluhan, dengan pakaian rapih dan sepatu yang mengkilap, jangan lupa jam tangan mahal di pergelangan tangannya. 'Apakah salah satu mahasiswa dari kota?' Pria itu mengalihkan tatapannya dari wajah Reven ke gambar yang pria itu jatuhkan. "Gambarmu sangat bagus, aku suka." Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN