bc

Be My Muse

book_age18+
21
IKUTI
1K
BACA
HE
drama
bxg
lighthearted
brilliant
genius
male lead
first love
poor to rich
slice of life
like
intro-logo
Uraian

(Prequel Thorn Of Rose)

Reven Leander, seorang jenius seni lukis yang menderita monokromasi, kondisi di mana dia tidak bisa membedakan warna dan hanya bisa melihat warna hitam dan putih, kondisi itu menyebabkannya banyak diremehkan oleh seniman lainnya.

Namun suatu hari, dia bertemu Rosanne Miller, seorang gadis dingin dan terhormat yang anehnya, mampu membuat Reven melihat berbagai warna di sekitarnya.

"Be my muse, dan aku akan memperlihatkan lebih banyak warna pada duniamu."

Kalimat dari Rosanne itu menyebabkan keduanya menjadi lebih dekat dan terjebak dalam hubungan diam-diam yang penuh resiko, namun memabukkan. Terlebih, dengan status Rosanne yang merupakan tunangan pria lain bernama Liam Decklan.

chap-preview
Pratinjau gratis
Prolog
"Seorang pelukis buta warna? Terlebih buta warna total yang hanya bisa melihat warna hitam dan putih? Bagaimana bisa kalian begitu percaya diri untuk mengirimnya kuliah di ibukota?" Kata-kata itu seperti guntur yang menggelegar di telinga Reven, dia menatap guru seni di depannya dengan nanar. "Guru, tapi kau sendiri yang memberiku dukungan untuk tetap melukis." Bagaimana bisa sekarang satu-satunya guru yang mendukungnya berbalik untuk menekannya? Guru seni itu menghela napas. "Reven, aku mendukungmu untuk tetap melukis karena bakatmu memang baik, tapi dengan kekurangan yang kau miliki, kau tidak akan bisa bersaing di kampus Miracle yang penuh dengan orang-orang jenius." "Omong kosong apa yang sedang kau ucapkan? Terlepas dari buta warna yang cucuku milik, dia memenangkan tempat pertama pada ujian seni ini! Bahkan jika kau berkata seperti itu, dia akan tetap mendapatkan beasiswa!" Kakek Reven yang sejak tadi menahan amarah, akhirnya tidak tahan, wajah tuanya telah memerah sedang suara seraknya meninggi. Si guru seni memijat kepalanya. "Tidak lagi, beasiswa itu akan diberikan ke orang lain." "Guru! Tapi aku memenangkan tempat pertama!" "Ya, tapi kita tidak bisa menyia-nyiakan bakat siswa lain hanya untuk mengirim seseorang yang kita semua tahu tidak akan berhasil di ibukota." Reven menunduk, sedangkan kakeknya yang marah hampir menyerang si guru seni dengan tongkatnya. Mimpi ini, telah dia pegang sejak kecil. Bahkan jika dia hanya bisa melihat warna hitam putih dan abu-abu di hidupnya, Reven tidak pernah ragu pada kemampuan lukisnya. Tapi hari ini impian itu dihempaskan begitu saja. Rasanya sangat menyakitkan. Reven telah memenangkan ujian dengan kerja keras yang tidak dimengerti orang lain, tapi pada akhirnya dia kalah dari orang-orang yang tidak memiliki kecacatan. Apakah aku benar-benar tidak bisa mengejar mimpiku? "Reven? Jangan dengarkan kata-kata guru itu. Tenang saja, kakek akan tetapi mengirimmu ke ibukota untuk belajar." Pria tua itu merangkul pundak cucunya dengan lembut. "Kakek punya banyak tabungan di rumah yang bisa kau gunakan untuk sekolah." Bakat lukis yang Reven miliki dia warisi dari kakeknya, karena itulah orang yang paling mendukungnya untuk mengejar mimpi adalah kakek. Tapi Reven ragu rencana yang kakeknya ini katakan bisa berhasil, karena semua orang di rumah tidak mendukung Reven untuk tetap melukis. Benar saja, malam itu, Reven mendengar keributan dari luar kamarnya. Samar-samar suara ibu dan kakeknya bertengkar, lalu ada nenek yang menengahi dan ayahnya yang hanya menanggapi sesekali. Kesimpulannya sama seperti yang Reven perkirakan, selain kakeknya, tidak ada yang ingin melepaskan Reven ke ibukota hanya untuk mengejar karir yang menurut mereka tidak memiliki masa depan yang cerah. Suara kakek yang awalnya besar semakin lemah dan kecil, dia terus memberikan pengertian bahwa keberhasilan mimpi seseorang tidak bisa ditentukan hanya dengan tebakan. Tapi ketidaksetujuan masih menentang setiap kata-katanya. "Sampai kapan kau akan terus seperti ini?" Devan yang mendengarkan bersamanya di dalam kamar bersuara. "Keluarga kita sudah cukup sulit, jika kau semakin mempersulit dengan mimpimu yang mustahil itu, kau hanya akan semakin menyusahkan." Reven menunduk, memegang kuas dengan sangat erat. Ini adalah kuas pertama yang dia miliki, hadiah ulang tahun dari kakek saat dia berusia tiga belas tahun. "Lihat ini, apa kau tau warna apa ini?" Devan tiba menyodorkan sebuah kertas minyak di hadapannya. "Abu-abu," jawab Reven tak peduli. "Lihat, kau bahkan tidak bisa melihat warna langit yang sebenarnya, bagaimana bisa kau melukisnya?" Kata-kata itu lagi, tentang kekurangannya yang selalu orang-orang katakan. Seperti pisau yang merobek-robek mimpi yang telah Reven rangkai sedemikian rupa. Reven berdiri, kemudian berlari keluar. Air matanya hampir tak tertahankan. "Hentikan! Jangan bertengkar lagi!" Dari matanya yang dipenuhi cairan, dia melihat suasana rumah yang semakin monoton. Tidak ada warna lain, hanya abu-abu. "Kakek, aku tidak akan ke ibukota. Setelah lulus sekolah, aku akan menggembala dan bertani seperti kalian." "Reven." Kakek berjalan pelan ke arah cucunya, kemudian memeluknya dengan erat. "Jangan berkata seperti itu, kakek sudah bilang akan mendukungmu bagaimanapun caranya." "Tidak kek, tidak perlu. Semua yang orang-orang katakan memang benar. Orang cacat sepertiku tidak akan bisa menandingi mereka yang memiliki penglihatan yang normal sekuat apapun aku berusaha." Reven dengan lembut melepaskan pelukannya. "Tidak apa-apa, aku akan tetap melukis, aku tidak perlu kuliah untuk tetap melukis, lagipula aku punya kakek yang bisa terus mengajariku." Kakek Reven masih tidak rela, tapi dengan semua tekanan yang dia dapatkan dari keluarga, dia akhirnya menyerah dan berjalan lunglai ke kamarnya. Di tengah malam, Reven duduk diam diantara suara dengkuran Devan, dia sedang menatap kuas yang telah bertahun-tahun dia pakai, menatapnya sangat lama hingga matanya perih. Kemudian, tanpa suara membawa semua cat yang dia miliki keluar dari rumah. Dia tidak bisa mengejar mimpi sebagai pelukis profesional, bukan berarti dia akan berhenti melukis. Di dunia ini banyak medan datar yang selalu bisa merealisasikan impiannya. Reven berdiri di depan dinding rumahnya, ditemani cahaya bulan yang cerah, dia mengeluarkan semua isi cat dan mulai melukis. Angin berhembus, memainkan surai pendeknya yang sekelam langit malam, remaja berusia tujuh belas tahun itu menatap dinding di depannya seolah menatap kertas kosong yang bisa dia nodai sesuka hati, tempat dia mencurahkan semua isi hatinya hingga dia mengeluarkan cairan bening dari matanya. Ketidakadilan, penghinaan, rasa rendah diri dan kekecewaan. Reven menuangkan semuanya ke dalam gerakan tangannya, tidak peduli apakah ada air mata yang menyatu dengan keringat di wajahnya, dia tetap melukis tanpa henti. Hingga pagi menyingsing, seluruh cat yang Reven miliki akhirnya habis, bersamaan dengan lukisan yang telah selesai. Dia berdiri menatap kosong lukisan yang dia buat dengan takjub. Rasa puas akhirnya menghapus semua perasaan tak mengenakkan yang dia alami kemarin dan senyumnya akhirnya kembali berkembang. Dari dalam rumah, Reven mendengar keributan. Suara kakek adalah yang paling nyaring memanggil-manggil namanya penuh kecemasan. Reven menghapus sisa keringat di wajahnya dan melongokkan kepala dari jendela. "Kakek, aku di sini. Ayo keluar, aku akan menunjukkan sesuatu padamu." Dia melambaikan tangan penuh ceria. Kakek Reven menghela napas lega, melihat cucunya telah kembali ke kepribadian cerianya yang biasa meski dengan mata bengkak dan hidung memerah. Yang paling penting, dia terlihat baik-baik saja. Pria tua itu mengabaikan semua tatapan orang rumah dan keluar dengan cepat bersama tongkat kayunya. "Apa yang ingin kau perlihatkan pada .... Ya ampun! Reven, apa kau yang membuat ini?" Kakek Reven hampir terjatuh melihat lukisan besar di dinding rumah mereka. Lukisan yang Reven lukis bukanlah lukisan unik yang mengundang decak kagum ataupun lukisan penuh teka-teki yang misterius, namun hanya sebuah lukisan bukit di belakang desa Reever, yang memiliki satu pohon kesepian di atasnya. Tapi lukisan itu penuh dengan perasaan yang bisa menyentuh sanubari orang yang memandangnya. Selain itu, detail yang Reven buat menyebabkan lukisan itu seakan hidup, seolah-olah angin yang berhembus bisa menggoyangkan dedaunan pohon tunggal di atas bukit itu. Di lukisan ini, Reven seolah memperlihatkan orang-orang tantang dunianya, bahwa dunia warna hitam putih itu adalah apa yang dia lihat setiap hari, dunia yang sangat berbeda dari yang orang lain lihat. "Kakek, aku mungkin tidak bisa menjadi pelukis terkenal seperti yang kakek dan aku impikan, tapi aku tetap bisa menjadi pelukis yang akan memenuhi desa Reever ini dengan karyaku." Kakek Reven memeluk cucunya dengan bangga. "Reven, jangan khawatir, dalam hal ini kau tidak rugi apa-apa. Kau tetaplah pelukis yang sangat hebat. Jika kau tidak bisa merentangkan bakatmu, maka dunia senilah yang akan rugi." Bersambung ...

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Scandal Para Ipar

read
700.4K
bc

Dilamar Janda

read
322.2K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.7K
bc

Sang Pewaris

read
53.4K
bc

Marriage Aggreement

read
83.7K
bc

JANUARI

read
39.3K
bc

Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi

read
2.7M

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook