Bab 2

1685 Kata
Panik, Liana menyerah bayi yang digendongnya pada Elang, kemudian merampas hp yang dipegang Sabila. “Tante, bikin aku jantungan ah.” Liana menghela napas. Yang dihubungi bukan ibunya melainkan Zayyan. “Kena prank.” Sabila terkekeh mengambil hpnya lagi. “Liana, ini gimana?” keluh Elang. Tubuhnya kaku menahan bayi mungil di kedua tangan yang dilipat di dadanya. “Ya ampun, anak orang.” Liana kembali mengambil bayi itu, membaringkan di dalam box bayi. “Kalian jangan main-main sama bayiku! Setengah mati berjuang buat melahirkan mereka,” ujar Luna. “Sorry, gak sengaja.” Liana mengelus pipi ketiga bayi kembar itu. “Di sini di mana tempat makanan yang enak?” tanyanya menoleh pada Rafan. Perutnya mendadak keroncongan. Dia lupa bahwa belum makan siang. “Di kantin ada mie ayam. Langgan kita kalau lagi check-up. Enak sih menurut lidah gua.” “Udah pasti enak tuh.” Liana menarik tangan Elang, berpamitan pada semua orang yang ada di sana. Tangan itu pun terlepas begitu sudah keluar dari ruangan VIP. Memberi jarak. Tapi tetap jalan beriringan menuju kantin yang ada di luar gedung rumah sakit. Memesan dua mangkuk mie ayam, masing-masing dari mereka sibuk dengan hp yang ada di tangan. Elang fokus membaca berita politik, sedangkan Liana fokus membaca komik. Tiba-tiba saja Elang kehilangan fokus saat ada sesuatu yang lembut menyentuh kakinya. Semakin lama semakin membuatnya geli sampai bergoyang kaki dan terus saja terjadi hingga Elang mengangkat wajah menatap perempuan berkerudung hitam di depannya. “Gak usah mulai perkara.” Liana mengangkat wajah. Alis lebar itu berkerut. “Lu demen main bawah ya? Kenapa gak main atas biar semua orang lihat?” Elang terus mengeluarkan spekulasi. “Apa jangan-jangan lu udah lama demen sama gua sampai harus menggunakan cara ini? … ini terlalu buruk untuk lu seorang hijaber.” Sukses memancing emosi Liana. “Maksud lo apa? Gak perlu bertele-tele!” “Lu gak usah main kaki buat menggo—da—gu—a.” “Meong!” Elang tersentak ketika mendengar suara kucing, segera menoleh dan zonk! Kaki Liana tetap lurus pada posisinya, sedangkan seekor kucing oreng di kolong meja terus menggesek-gesekan bulunya pada kaki Elang. “Astaga.” Mengangkat kaki ke atas kursi. Geli dengan bulu yang terus bergesek pada kakinya. “Ini yang disebut main kaki.” Dituduh main kaki jelas membuat Liana geram. Kali ini dia membuktikan caranya bermain kaki pada Elang dengan cara menendang kursi sampai terjungkal ke belakang. “Aduh.” Elang meringis. Semua orang yang ada di kantin kaget dan menahan tawa. Elang bangkit lagi, membenarkan kursi, baru kemudian dia duduk. “Lu sebenarnya laki-laki yang menjelma perempuan, apa—” “Preman,” sahut Liana memotong ucapan Elang. “Oh, pantas.” Mangut-mangut. Elang tak bisa membalas Liana begitu saja karena dia bersalah sudah menuduh perempuan di depannya yang telah mencolek-colek kakinya. “Lu mau ke mana?” tanyanya ketika melihat Liana menegakkan tubuhnya. “Kamar mandi. Gak usah intilin gue.” “Dih, sok ke-PD-an amat. Meskipun cantik, tapi tua. Bukan selera gua.” Berhenti mengoceh, Elang menyambut mangkok mie ayam. Baunya menyeruak ke sela-sela bulu hidung. Nikmat. Tak menunggu Liana kembali, dia mengaduk mie ayam kemudian menyantapnya sendiri. “Siapa sih, ganggu gua makan aja.” Elang harus menjeda suapan pertama karena dering hp dalam sakunya. Beralih ke hp, dia melihat nama perempuan tua di hpnya. “Lang, tolong beliin gue pembalut sama CD dong!” “Ogah.” Tegas Elang menjawab. “Ayolah! Gue gak bisa keluar dari kamar mandi. Gue haid.” Liana terus memohon agar Elang dapat membantunya. “Gua lagi nikmati mie ayam. Jangan ganggu!” pungkas Elang menutup telpon. Kembali mengaduk mie ayam, sejurus kemudian perasaannya sedikit goyah. Alhasil dia pergi meninggalkan kantin untuk mencari mini market. Membeli pembalut adalah hal pertama yang dia lakukan seumur hidupnya. Terlahir sebagai anak bungsu, pacaran ala kadar dan tak pernah direpotkan oleh kebutuhan bulanan perempuan. Selain itu, dia juga tak pernah melihat iklan yang lewat di TV. Tepat sekali, sekarang Elang malah terjebak pada rak popok bayi. “Ini yang mana?” Celingukan mencari pembalut untuk perempuan. Ingin bertanya pada kasir, malah sedang antrian panjang. Ujung-ujungnya Elang hanya bisa video call dengan Liana. “Yang mana?” tanyanya mengarahkan kamera pada rak barang, satu persatu, dia terus berjalan. “Ooop. Stop!” “Yang ini?” Elang mengambil benda persegi empat dengan gambar sayap di kemasan. “Iya.” Rasa penasaran untuk pertama kali melihat pembalut, Elang jadi terlena dengan berbagai kemasan. Ada putting beliung, daun mint, sayap, daun sirih, dan masih banyak lainnya. “Mau yang ini gak? cooling fresh, adem anu lu.” Dia yang ngomong dia yang terkekeh. “Lo kayak orang hutan turun ke kota. Ambil yang gue tunjukin tadi, habis itu beli cd!” “Marah-marah terus. Cepat tua baru tau rasa. Tapi emang udah tua sih.” Panggilan terputus, Elang mengambil pembalut yang ditunjuk Liana saat video call tadi kemudian membawanya ke kasir. Tetap celingukan untuk memastikan tak ada orang yang melihat. “Dibungkus pakai kertas koran, dimasukkan ke dalam plastik hitam biar gak bisa dilihat.” Sesuai dengan perintah, si Eneng yang kerja di kasir pun membungkus dengan rapi kemudian di masukkan ke dalam plastik hitam hingga kemasan pembalut tak terlihat lagi. “Berapa?” “20 ribu.” Elang mengeluarkan uang pas untuk diserahkan pada si Eneng. “The, di sini toko jual cd perempuan di mana ya?” Dengan nada berbisik, dia bertanya pada perempuan yang berdiri di kasir. “Di seberang jalan ada toko UW. Di situ menjual semua aneka ragam pakaian wanita dari CD, bra—” “Iya, Teh. Cukup! Gak usah juga disebut satu persatu. Malu.” Si Eneng malah terkekeh. Elang beranjak pergi, mengikuti arahan penjaga kasir tadi. Tepat di sebuah toko underwear, dia pun bergegas masuk tapi … “Bapak, tidak boleh masuk!” “Kenapa?” tanya Elang penasaran ketika ditahan oleh satpam. “Ini area perempuan. Hanya perempuan yang boleh masuk. Untuk laki-laki ada di sebelah sana!” Pak Satpam mengarahkan pada tokoh sebelah. “Saya mau beli cd perempuan, Pak. Bukan untuk saya.” “Untuk bininya ya?” “Bu—iya.” Terpaksa Elang harus berbohong agar urusannya cepat selesai. “Kalau begitu tunggu di sini! Saya panggilkan salah satu karyawan toko.” Elang mengangguk saja. Diminta tunggu ya tunggu sampai karyawan toko datang. “Ada yang bisa saya bantu?” “Saya mau beli cd, ukuran …” Membuka hp, ternyata ada notifikasi pesan masuk dari Liana. “Ukuran L … tolong dibungkus pakai koran dan dimasukkan ke dalam plastik hitam ya! Biar gak ada yang lihat.” Permintaan yang sama, karyawan toko hanya mengangguk kepala. “Ada banyak model, Bapak mau yang seperti apa?” Elang menggaruk tengkuk. Model seperti apa? Bahkan dia saja tak tahu celana dalam perempuan seperti apa. Yang diketahui hanya punyanya saja dan itu tak banyak pilihan karena terkemas dalam kotak. “Ambilkan masing-masing model satu.” “Baik, Pak. Tunggu sebentar.” “Pengantin baru ya?” tanya Pak Satpam mengajak Elang mengobrol. “Iya.” “Kalau dilihat-lihat Bapak ini belum malam pertama. Cd perempuan saja tak tau,” kelakar Pak Satpam. “Iya.” Tersenyum kikuk. Sepertinya Elang harus mulai terbiasa untuk menjawab iya. “Segera malam pertama atuh! Enak loh, nagih.” Elang semakin dibuat bingung tapi lagi-lagi dia hanya mengangguk kepala sambil berkata, “Iya.” “Malam pertama itu sedikit sakit, jadi usahakan jangan tegang dan bersikap lembut! Mulai dulu dari men—” “Ooop, stop!” Elang mengangkat tangannya. “Jangan diteruskan! Istri saya lagi haid. Kasihan saya.” “Ooo, maaf. Kalau tegang memang gak enak. Tapi ada cara lain loh.” “Nanti saja kita teruskan.” Elang mendekat pada karyawan toko yang baru saja keluar. Dia menyerahkan uang setelah melihat bill. “Ambil saja kembaliannya!” Tak ingin menunggu kembalian karena pasti akan berhadapan dengan Pak Satpam yang membuatnya risih. Bagaimana tidak, pembahasan malam pertama itu hanya patut dibicarakan bagi orang yang sudah menikah ataupun hendak menikah. Lantas Elang? Jangankan untuk menikah, calonnya saja belum ada. Apa mungkin calonnya sedang berada di kamar mandi? Elang menggeleng kepala, tak ingin memikirkan perempuan tua itu. Yang terpenting saat ini menyerahkan pesanan itu pada orangnya langsung. “Jangan ke mana-mana! Tunggu gue di sini!” kata Liana setelah mengambil pesanannya. Tak seperti biasa yang membantah dulu, kali ini Elang menuruti. Mencari dinding dan bersandar di sana. Sementara di dalam Liana dikagetkan dengan celana dalam pesanannya. Hampir saja membuatnya geli ketika melihat model renda-renda dan bahkan ada yang lebih hot lagi—sama dengan punya Yasmin ketika tak sengaja dilihat saat berkunjung ke rumah. “Apa dia gila membeli yang gak penting?” Satu persatu disingkirkan hingga bertemu dengan celana dalam yang aman dipakai ketika sedang haid. Begitu semuanya selesai, Liana baru dapat bernapas lega dan kembali keluar untuk menemui Elang. “Ini gue kembalikan. Thanks ya.” Menyerahkan kembali dua kantong plastik, satu berisi pembalut dan satu lagi berisi celana dalam. “Gua gak pakai ini. Ngapain lu kasih ke gua?” Disodorkan kembali pada Liana. “Kasih pacar.” “Gak ada pacar.” Liana membuang napas, mengambil kedua benda itu. “Kenapa bisa kepikiran beli banyak model kayak gini? Apa lo sering nonton film emah-emah?” “Jangan su’udzon! Gua gak tau lu mau yang model kayak apa. Karyawan toko bilang banyak model jadi aku suruh ambil semuanya.” “Hmm …” Liana memalingkan wajahnya. Tiba-tiba saja dia tersentak melihat perempuan kepala empat sedang celingukan. “Kita sembunyi.” Tanpa pikir panjang, Liana menarik tangan Elang, masuk ke dalam toilet perempuan. Menutup pintu rapat. “Oy—” Baru hendak berteriak mulutnya sudah dibungkam. “Jangan ngomong dulu! Nyokap gue di luar.” Mengangguk kepala, baru tangan itu terlepas dari mulut Elang. Mereka tetap di sana, tak sedikitpun mengeluarkan suara hingga terdengar suara ketukan pintu dari luar. “Apa ada orang di dalam?” Itu bukan suara Nabila. Perlahan Liana membuka pintu, membiarkan seorang perempuan muda masuk ke dalam kamar mandi. “Lain kali kalau mau m***m jangan di toilet kantin.” “Eh!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN