Bab 1

1356 Kata
“Lo, bocah, jangan dekat-dekat! Pastikan lo pulih sunat baru boleh tidur seranjang sama gue.” Liana memberi peringatan pada laki-laki yang baru dinikahinya. Dia lurah baru di kelurahan Cibobrok. Perbedaan usia 2 tahun di bawahnya membuat Liana geli. “CK! Remehin gua. Mari kita buktikan, siapa yang akan menangis malam ini.” Elang berdecak sebal. Harga diri sebagai seorang laki-laki tulen merasa diinjak. Tangan kekar itu terulur menarik Liana ke dalam pelukannya. “Elang, lo mau apa?” teriak Liana meronta-ronta saat tubuhnya melayang. “Kita akhiri malam ini dengan indah, oke, Liana.” Tersenyum miring dan sanggat mengerikan di mata Liana. Bulu kuduk merinding, Liana menjerit meronta-ronta tapi Elang malah melempar tubuhnya ke atas ranjang dan … bruk! “Aww …” Liana memekik, memegang pinggangnya. Mata terbuka, dengan cepat dia bangun, melihat ranjang kosong, kemudian mengedarkan ke segala arah. “Huft, untung aja cuma mimpi.” Liana menghela napas panjang. Lega rasanya, ternyata dia bukan dijatuhkan oleh Elang, melainkan dirinya sendiri yang jatuh dari ranjang. Dia bangun, kembali membaringkan tubuhnya di atas kasur. Tak bisa memejamkan mata, masih memikirkan mimpinya yang hanya sepenggal saja. Segera mengusap b****g. “Gak basah. Masih aman.” Dikira bokongnya basah karena mimpi, ternyata masih aman karena kejadian di dalam mimpi tadi hanya sepenggal dan tak membuat dia harus mandi besar. Langit masih terang, bisa-bisanya Liana mimpi di siang bolong. Padahal tadi hanya rebahan saja karena terlalu lelah dengan kertas-kertas di atas meja. Tapi malah ketiduran dan apesnya dia hampir melakukan hubungan intim dengan Elang dalam mimpinya. “Tatak.” Liana terperanjat mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. Terlihat Nada sedang menangis, berlari memeluknya. “Nada kenapa?” Liana mengusap rambut Nada, perlahan jempolnya membersihkan cairan bening di pipi chubby itu. “Mi gak da,” celoteh Nada. Sebagai orang yang sering bergaul dengan bocah cilik, Liana langsung dapat menangkap apa yang disampaikan Nada—Mommy gak ada. “Memangnya ke mana?” Nada terisak menggeleng kepala. Kemudian Liana menoleh pada Mbok Nana yang baru saja datang ke kamarnya. “Tante Sabila ke mana, Mbok?” “Ibu, Bapak dan semua orang yang ada di rumah ini sudah pergi ke rumah sakit. Neng Luna melahirkan.” “Melahirkan?” Liana tersentak. “Bukannya tanggal 20 ya? Kenapa malah tanggal 10?” “Kurang tau, Neng. Kata bu dokter harus segera dioperasi biar bayinya selamat.” “Emp, ya udah kita ke rumah sakit yuk! Susul mereka,” ujar Liana turun dari ranjang. Nada di bawa Mbok Nana untuk mengganti baju. Sebenarnya Sabila ingin mengajak putri bungsunya itu, tapi karena sedang tidur tak tega membangunkannya. Tak butuh waktu lama untuk mengganti baju. Kini mereka sudah masuk ke dalam mobil, siap untuk pergi ke rumah sakit. Nada terlalu senang karena ingin segera bertemu dengan orangtuanya, karena itu dia duduk di depan bersama dengan Mbon Nana. Karena Liana berkata, “Nada, kalau mau cepat sampai harus duduk di depan.” Ban mobil terus berguling, mobil berjalan dengan kecepatan standar tapi karena Liana terlalu terbuai dengan celotehan Nada sampai-sampai dia tak menyadari ada sebuah motor yang keluar dari sebuah lorong dan … bruk! “Neng!” Mbok Nana spontan menutup mata Nada. Wajah Liana pucat, jantung berdegup kencang. Tak menyangka jika dia sudah menabrak orang. Rasa penasaran dan tanggung jawab menuntunnya untuk segera keluar—melihat siapa yang sudah ditabraknya. “Duh, maaf! Gak sengaja.” Berjongkok untuk membantu laki-laki yang memakai helm itu bangun. Begitu ditoleh dan kedua mata saling memandang, aura kegelapan segera berkumpul menyelimuti mereka. “Elo! Gue kira siapa.” Menghela napas lega. Setidaknya yang ditabrak bukan orang lain, melainkan Elang, lelaki berkulit putih berseragam PDH. “Astaga, reaksi seperti apa itu? Gak merasa bersalah udah nabrak orang?” Mendelik tajam. Elang beranjak bangun meskipun di bagian lutut terasa perih. “Halah, lebay. Itu aja udah bisa bangun.” Liana mengibas tangan, berlalu pergi tapi malah ditarik Elang. “Lu mau ke mana? Tanggung jawab udah nabrak gua.” Liana menoleh ke arah mobilnya. Di sana ada Nada yang sudah menunggu ingin segera diantar menemui kedua orangtuanya. “CK! Ayo gue antar ke rumah sakit!” Tanpa persetujuan, Luna menarik tangan Elang, membawanya masuk ke dalam mobil. “Ngapain gua diculik?” “Kita ke rumah sakit. Sekalian lihat debay.” Elang tak lagi bertanya, padahal dia bingung dengan kata debay. Tapi sudahlah, dia hanya perlu mengikuti saja. Kebetulan juga lengan dan kakinya terasa nyeri karena terdapat luka. Beruntung Liana tak menyetir dengan kecepatan tinggi, bisa dibilang akan jadi apa Elang nanti? Mungkin peyek. Na’uzubillah. Begitu tiba di rumah sakit, Liana menyuruh Mbok Nana untuk duluan membawa Nana ke ruang rawat Luna, sedangkan dia pergi membawa Elang ke IGD. “Ssttt …” Elang meringis saat Suster membersihkan lukanya di lengan dan juga kaki—kulit luar terkelupas lengannya terkelupas karena bergesekan dengan aspal sedangkan bagian kaki hanya lebam karena benturan. “Tanggung jawab ni. Gara-gara lu, gua gak mulus lagi.” Yang ada di sekitar Elang tersentak mendengar ucapannya, hingga detik kemudian tertawa. Bisa-bisanya seorang laki-laki mempermasalahkan kemulusan dari tubuhnya. Bukankah itu karakter perempuan? “Pak, tolong periksa dia! Kayaknya dia bukan laki-laki deh.” Liana menahan tawa, meminta perawat laki-laki untuk memeriksa aset pribadi Elang. Geram, tapi Elang tak akan mau kalah dengan Liana. Meskipun usia Liana jauh lebih tua darinya. “Kenapa suruh orang lain? Kenapa gak lu aja kalau lu penasaran?” Tersenyum miring. Sukses memancing Liana ketika melihat kedua mata indah itu melebar. “Elo!” Liana mengepal tangan, menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan kasar. Tak boleh terpancing, meskipun pikirannya menjadi kotor gara-gara mimpi tadi. “Kalian keluar! Liana akan memeriksa saya,” ucap Elang. Mereka pun menurut, meninggalkan Liana dengan Elang. Tak lupa menarik tirai hingga tak ada yang bisa melihat apa yang akan mereka lakukan. “Apa-apaan sih ini?” Gerah, Liana bergegas pergi. Lantas Elang tertawa puas karena sudah berhasil membuat Liana terperangkap dengan ucapannya sendiri. Sejurus kemudian dia tersadar tak akan bisa pulang jika Liana pergi. Segera dia menyusul. “Ngapain ikuti gue?” tanya Liana tanpa menoleh. Dia terus berjalan ke arah lift. “Lu yang bawa gua ke sini, lu yang harus antar gua pulang.” Menjawab dengan santai. Dia terus mengikuti Liana masuk ke dalam lift, kemudian keluar di lantai 3. “Anak bayi siapa yang mau lu lihat?” tanya Elang penasaran. “Anaknya Luna.” Langkah Elang terhenti ketika mendengar Luna sudah melahirkan. Patah hati, dia memegang dadanya. “Nasib,” gumamnya melangkah masuk ke ruang VIP bersama dengan Liana. “Gak suka, gak suka, tapi barengan terus,” celetuk Rafan menyeringai ketika melihat tamu yang datang. Sepasang anak manusia yang terus menghindar tapi dipertemukan oleh semesta. Tak menggubris, mereka langsung menemui ketiga bayi yang tidur di dalam box bayi. “Ya Allah, lucu banget.” Tak tahan dengan kegemasan yang dipancarkan oleh ketiga bayi yang masih menutup mata itu, tangan Liana terulur untuk menggendongnya. “Eh, mau apain anak orang?” Tahan Elang. “Udah diam aja. Gue udah pro soal beginian.” Liana menggendong bayi itu dengan perlahan-lahan. Meskipun belum pernah hamil dan memiliki anak, tapi dia sudah terbiasa menggendong bayi. Iya, mulai dari Nada dan juga anak-anaknya Yasmin. Elang melihat dengan penuh kekhawatiran. Tubuh Liana kecil, tapi kenapa bisa lihai sekali menggendong bayi? “Kalian terlihat seperti sebuah keluarga.” Sabila memberi komentar. “Dia gak bisa bikin kayak gini.” Lagi-lagi Liana meremehkan Elang. Iya, di matanya, Elang tetaplah sosok laki-laki yang belum dewasa. “Emang lu bisa?” Tak mau kalah, Elang menimpali. “Bisa. Tapi harus ada bapaknya dulu.” “Sama aja. Gua cari ibunya, gas terus.” “Emang tau caranya? Masih bocah pun, sok-sok_an bikin anak. Sunat aja belum pulih.” Liana tersenyum miring. “Jangan meremehkan kalau lu belum lihat dengan mata kepala lu sendiri! … kalau lu mau gua bisa bikin lu bunting.” Lupa mereka sedang berada di tengah keluarga Rafan dan Luna. Obrolan mereka pun dapat terdengar dengan jelas sampai membuat semua orang tercengang. “Wah, harus Tante lapor sama mamanya Liana ni,” ujar Sabila mengeluarkan hpnya. Justru itu membuat Liana dan Elang syok. “Tante, jangan!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN