“Liana, dari mana saja kamu? Tadi Mama cari di kantin tidak ada?” Nabila menginterogasi anak sulungnya yang baru saja kembali lagi ke rumah sakit usai menyerahkan kunci mobil pada Elang, minatnya untuk pulang sendiri karena tak bisa mengantar.
“Eh, Mama cari aku?” Pura-pura tak tahu. Tapi ekspresi wajahnya patut diacungkan jempol sebagai pembohong yang ulung. Meskipun dia sudah menekan dirinya untuk tetap tak menunjukkan ekspresi asli.
“Iya. Kata tante Sabila kamu di kantin sama pacarmu. Jadi Mama penasaran, mau samperin, tapi malah kamunya tidak ada.”
“Eh, siapa yang pacaran? Aku gak punya pacar kok. Lagian itu gak boleh kan, Om?” Liana menoleh pada Zayyan.
“Iya.”
“Tuh, dengar!” Senang bukan main karena Zayyan memihak dirinya. Artinya tidak termakan oleh omong kosong mereka yang terus mendesak agar Liana segera mengganti status.
Mengabaikan putrinya, Nabila terhipnotis oleh ketiga trio boys dengan panggilan ABC itu. Bayi mungil, kulitnya masih mengkerut, mata terbuka sedikit, tapi belum bisa melihat benda yang ada di sekitar. Kadang menguap. Sanggat menggemaskan.
“Ya Allah, kapan aku punya cucu seperti mereka?” Sindiran untuk Liana. Nabila menggendong salah satu dari bayi itu, diserahkan pada suaminya, kemudian dia mengambil yang lain.
“Suruh Liana cepatan nikah dong, Na,” sahut Sabila sambil menyuapi mantunya telur rebus. Usai operasi dokter menyarankan Luna untuk makan telur rebus untuk mempercepat proses penyembuhan luka. Dan untuk telur rebus, Sabila hanya memberikan putih telurnya saja. Sesuai dengan pengalamannya ketika melahirkan Nada.
“Tunggu dua tahun lagi. Biarkan aku menikmati hidup.” Liana menghempaskan bokongnya di sofa, menyalakan TV.
Mendengar ucapan putrinya, Barra membaringkan cucu Sabila kembali di dalam box bayi kemudian mengambil tas dan mengeluarkan amplop cokelat yang sudah disiapkan dari rumah.
“Sebaiknya kamu lihat ini!”
Liana penasaran dengan apa yang dikasih ayahnya itu. Segera dibuka.
“Ini CV apa?” Dia melihat setumpuk keras dengan foto laki-laki di sana.
“CV jodoh. Lihat mana yang kamu suka!”
“Enggak ah, Pa.” Menyerahkan kembali CV yang sudah dimasukkan kembali ke dalam amplop kepada ayahnya.
“Jangan dulu menolak! Kamu ingin menikah dua tahun lagi bukan? Sebaiknya dari sekarang lihat dulu calon-calonnya.”
“Ini bukan pilpres yang harus menentukan calon dulu sebelum debut. Lagian 2 tahun lagi itu masih lama.”
“Coba saja dulu! Jangan keras kepala! Usiamu semakin hari semakin bertambah, bukan berkurang. Ketika sudah tua, kamu pun akan kesulitan memiliki anak. Pahami itu!” ujar Barra kali ini mewakili istrinya. Sejak dari rumah mereka sudah sepakat bahwa yang memberi nasihat itu Barra karena jika Nabila sudah terlalu sering.
“Oke, Papa.” Terpaksa Liana melihat lembaran CV dengan setengah hati. Foto-foto yang terpampang memang tampan dengan senyum yang menawan, tapi tetap saja tak membuat hatinya berdesir.
Barra tak menuntut jawaban sekarang, diberi kesempatan untuk anaknya bisa membaca lebih saksama semua yang tercantum dalam CV tersebut.
Langit sudah tak lagi terang. Perlahan mulai redup seiring menghilangnya matahari. Malam ini yang menginap di rumah sakit Sabila, Nabila, Liana dan pastinya Rafan. Untuk yang lain kembali ke rumah.
Liana duduk di sisi Luna sambil menopang dagunya.
“Gimana rasanya?” Mulai menginterogasi. Tadi sore tak sempat karena dirinya yang diinterogasi oleh orangtuanya.
“Belum merasakan apa-apa. Obat anti nyeri masih ngaruh.”
Mangut-mangut, karena Luna masih diinfus, selain itu di ranjang bagian kakinya ada kantong yang menampung kencing yang keluar dari selang kateter.
“Setelah ini wajib cerita sama gue! Gue penasaran. Hitung-hitung buat persiapan mental gue kalau udah hamil nanti.”
Luna mengangguk pelan kepalanya.
Tak hanya mengobrol santai dengan Luna, terkadang Liana memperhatikan setiap inci dari tubuh Luna, bagian bawah perut yang diperban, selang kateter dan juga ekspresi yang ditampilkan Luna.
Kadang meringis ngilu sampai memegang perut dan merapatkan kedua kakinya. Tanpa sadar mimpi Elang yang melemparnya ke atas ranjang kembali terulang sekilas dalam pikirannya.
“Astagfirullah, amit-amit,” gumamnya mengusap gusar wajahnya.
“Kenapa?” tanya Luna menatap Liana keheranan.
“Gak ada apa-apa.” Dia menjawab dengan gugup, memilin tangan.
“Wajahnya kenapa merah? Hayo, mirikin apa?” Mulai menyeringai dan itu malah semakin membuat Liana memegang pipinya yang mendadak panas.
“Masa sih?” Sedikit berkelit, padahal benar adanya bahwa pikiran Liana ternodai oleh mimpi sepenggal yang membuatnya penasaran dan terus teringat.
Sialan. Kenapa juga gue harus mimpi kayak begitu? Bikin gue gak tenang aja.
Luna hanya tersenyum karena dia tak berani menertawai Liana di saat perutnya baru saja dibedah. Batuk dan bersin saja harus ditahan. Baru disadari ternyata operasi Caesar itu tak seindah yang dikomentari orang. Banyak yang harus dipertimbangkan, termasuk dokter menanyakan apakah dia sudah kentut?
Setelah kateter dilepas, Luna diminta untuk turun dari ranjang, dipantau langsung oleh dokter. Ragu-ragu tapi Luna harus melakukannya dengan sangat perlahan dan dibantu oleh suaminya.
Setelah kedua kaki berhasil menginjak lantai, dia diminta untuk melangkah pelan. Dan rasa ragu yang dialami itu yang mengakibatkan dia meringis padahal tak sakit karena obat anti nyeri masih menguasai tubuhnya.
“Ssst, kenapa gue yang ngilu ya?” gumam Liana meringis ngilu sampai tangannya spontan mengusap perut.
Tak pernah terlewatkan, Liana benar-benar memperhatikan Luna sampai ke kamar mandi untuk membuang air kecil dan mengganti pembalut.
“Lun, kayaknya gue gak sanggup hamil deh.” Tiba-tiba jadi parnoan.
“Sekarang gak sanggup, tapi kalau sudah sekali pasti nagih,” ujar Sabila, membantu memapah Luna kembali ke brankar.
“Dulu Tante gitu juga, setelah melahirkan Yasmin, Tante bilang sama daddy-nya anak-anak, sudah cukup satu saja mengingat sakitnya hamil dan melahirkan. Tapi begitu selesai nifas malah langsung manja-manjaan lagi sampai ada Rafan … manusia memang begitu, ketika sedang sakit kita tak ingin melakukannya lagi, tapi ketika rasa sakit itu hilang, kita akan terperangkap pada kenikmatan yang mendatangkan rasa sakit itu.”
“Duh, kok aku jadi ngeri ya, Tan?” Kembali terlihat wajah Liana berkerut, ngilu. “Lo gak takut gitu?”
“Enggak dong. Kan udah ada 3, tinggal KB aja,” jawab Luna tanpa beban. Toh sudah ada tiga anak, tinggal mengurusnya saja.
“Lo mah enak. Lah, gue? … ah, kayaknya harus cari calon suami yang kembar.”
“Sekarang sudah bisa hamil kembar tanpa harus memiliki silsilah kembar. Coba kamu datangi dokter kandungan, tanyakan caranya. Tapi sebelum itu pastikan kamu nikah dulu.”
“Ah, Tante bisa aja.” Liana terkekeh pelan.
Tiga hari di rawat di rumah sakit, Luna dan ketiga bayinya sudah diizinkan untuk pulang ke rumah.
Di sana terlihat Yasmin dengan suami dan kedua anaknya sedang menunggu kedatangan tiga anggota baru dalam keluarga Zayyan-Sabila.
Yasmin ingin menggendong bayi kembar itu tapi anak-anaknya malah menangis takut kasih sayang ibunya berpaling. Terpaksa menyerahkan kembali pada ibunya dan dia mengurus kedua bocahnya itu.
“Ribet ya say, punya anak,” celetuk Liana menyeringai.
“Lebih ribet lagi peluk guling tiap malam,” balas Yasmin cukup menohok lantas Liana tertawa.
“Setidaknya gak perlu bangun pagi buat keramas,” pungkasnya melangkah masuk.
Tiga hari di rumah sakit rasanya tak seindah di rumah. Meskipun semua perlengkapan di sana nyaman tapi tetaplah rumah paling nyaman. Apalagi bisa menikmati teh di sore hari bersama dengan keluarga.
Di saat kebersamaan dengan tiga keluarga—keluarga Zayyan, Pak Lukman dan keluarga Barra, Liana mengalihkan pada sebuah panggilan masuk dari Elang, segera ditolak karena tak ingin menjawab di depan keluarga yang ada malah menambah masalah bagi. Berkali-kali di telpon sampai akhirnya Elang mengirim sebuah pesan masuk.
[Cepat kabur, orangtua gua di depan.]
Kaget bukan main. Liana tak bisa lagi keluar dari pintu depan. Dia pun segera menghabiskan teh dalam cangkir kemudian pergi ke dapur. Alih-alih ingin minum air putih, dia malah memanfaatkan momen untuk keluar dari pintu belakang.
Mengendap-endap, matanya celingukan mencari orangtua Elang. Begitu mereka masuk ke dalam, dia pun berlari ke arah gerbang.
“Naik sini!” kata Elang menghentikan motor di depan Liana.
Tanpa pikir panjang, dia langsung menuruti, duduk di samping Elang dan pergi.
Semuanya akan cepat selesai jika orangtua ikut turun tangan, tapi malah membuat anak-anak menjadi rumit. Sehingga jalan melarikan diri untuk sesaat adalah ide yang tepat.
Di sawah, Elang menghentikan motor. Mereka berjalan beriringan menuju saung. Tapi nahasnya, kaki Liana malah terpeleset lumpur, spontan menarik lengan Elang hingga keduanya terjatuh dalam padi yang baru tumbuh.
“Aw …” Liana meringis. Detik kemudian jantung malah berdetak cukup cepat ketika melihat sosok yang mengusik mimpinya beberapa hari yang lalu terlihat begitu nyata. Elang menindih dirinya.
“Ini, apa kenyal-kenyal?” Tangan Elang salah memegang bagian tubuh dari Liana dan malah menyentuhnya lagi.
“Kurang ajar lo!” Liana memekik sontak mengundang para petani untuk mendekat.
“Oy, apa yang kalian lakukan?”
“Mampus, pasti mereka salah paham,” gumam Liana menggigit bibir bawah.