20.
Aku dan Agatha duduk di taman markas ini. Di sana kami bercerita soal pengalaman kami selama berpisah selama itu. Angin berhembus begitu kencang. Membuat tubuhku kehilangan rasa panas karena terik sudah berada di tahtanya.
“Sudah lama aku tidak melihat kota ini. Kota ini sudah mengalami banyak perkembangan. Alat-alatnya semakin canggih.” Agatha menunjuk beberapa bagian dari kota ini.
“Aku yang menjadi saksi betapa kemacetan terjadi karena pembangunan terus digencarkan.” Aku menggelengkan kepala.
Agatha mencandaiku katanya aku tidak perlu takut karena aku bisa menghilang dan berpindah tempat dengan begitu cepat.
“Aku tidak ingin menunjukkan kekuatanku pada khalayak umum, Agatha. Makanya ketika aku naik mobil mau ke mana, aku tidak membuat mobilku tiba-tiba menghilang.” Aku tertawa merasa aneh.
“Aneh juga ya rasanya kalau kita pergi ke mana gitu, tiba-tiba menghilang.” Agatha tertawa juga membayangkan itu benar-benar terjadi.
Agatha tidak pernah menggunakan kekuatan manusia biasa. Katanya dia memilih menggunakan kekuatan paranormal untuk pergi ke mana pun. Bahkan ketika membeli nasi sekalipun.
“Tetapi semua itu aku lakukan dengan bersembunyi-sembunyi. Tidak mungkin di tengah taman kota yang banyak orang tiba-tiba aku muncul. Mereka akan lari tentunya.” Agatha mencegah pikiran anehku.
“Tahu saja yang aku pikirkan.” Aku tertawa lagi.
“Kamu sudah berpikiran aneh-anah soale.” Agatha menepuk jidat.
Ketika kami tengah asyik bercanda, tiba-tiba pintu taman markas ini terbuka dengan kasar. Kami refleks menoleh bersamaan.
“Oh jadi begini ya kerjaanmu. Bersantai-santai di taman markas ini dan tidak bekerja.” Amanda datang dengan celotehannya yang membuat darahku naik.
Agatha langsung berdiri dan menghampiri Amanda. Tanpa berbasa-basi, dia menampar Amanda. Amanda terkejut. Karena selama ini tidak ada yang berani menamparnya kecuali aku.
“Siapa kamu? Anak baru berani sekali menamparku.” Amanda meradang. Dia ingin membalas, tetapi Agatha menangkisnya.
“Apa kamu tidak mengenaliku ha?” Agatha memukul perut Amanda.
Amanda mengenal suara itu. Dia menebak kalau perempuan yang memukulinya saat ini adalah Agatha. Dia menelan ludah ketika mendapati kalau Agatha ada di sini.
“Mentang-mentang kamu sudah berhasil membunuh musuh sebanyak itu dan menjadi pemimpin, kamu ingin mengajakku bertarung ha?” Amanda masih berlagak jagoan meskipun rasa takutnya sudah menggerogoti hatinya.
“Sudah jangan banyak bicara, aku ingin menguji seberapa kuat kekuatanmu. Apa hanya mulutmu saja yang kuat berbicara seperti itu ha?”
Amanda menyerang Agatha. Agatha hanya menanggapinya dengan berdiri tanpa bergerak sedikit pun. Aku tersenyum melihat perkembangan kekuatannya. Dia bisa melawan musuh dengan setenang itu.
“Apa hanya itu kekuatanmu?” Agatha mencoba menyulut amarah Amanda.
Amanda yang tidak pernah berlatih hanya menyerang dengan kekuatan yang biasa-biasa saja. Kekuatan yang dia keluarkan sangat mudah ditebak oleh Agatha. Makanya hanya dengan diam, Agatha bisa menghalau serangannya.
“Kamu sudah banyak berubah, Agatha.” Aku tersenyum memuji kekuatannya. Setidaknya kali ini dudukku mendapat tontonan yang menyenangkan.
Amanda mulai kelelahan. Napasnya tersengal-sengal. Kini giliran Agatha. Amanda dia pukuli berkali-kali tanpa menyentuh badannya. Amanda tidak bisa menepis karena memang serangan itu Agatha berikan tanpa menyentuhnya.
Dia hanya menggelengkan kepala, tidak menyangka kalau Agatha akan sekuat ini. Satu pukulan telak membuatnya tumbang. Bibir dan hidungnya berdarah.
“Kita biarkan saja dia. Nanti kita panggil pelayan agar mau mengurusnya.” Agatha mengajakku untuk pergi meninggalkan taman ini dan membiarkan Amanda tergeletak dengan bibir dan hidungnya berdarah.
“Kita sebaiknya pergi ke taman kota.” Aku mengangguk mengiyakan.
Sebelum kami keluar, kami berpapasan dengan Ayah. Dia menatap kami. Lebih tepatnya menatap Agatha yang ada di sampingku. Sepertinya Ayah agak lupa dengan Agatha. Dari gelagatnya dia masih bertanya-tanya.
***
“Deal. Kamu sudah menjadi anggota kami. Sesuai kesepakatan. Aku tidak ingin banyak menyuruhmu. Tugasmu seperti kamu saat ini. Lakukan apa pun sesukamu.” Gareth menepuk pundakku. Aku mengangguk kecil.
Dia mengajakku ke halaman belakang. Di sana ada taman yang disediakan untuk mengobrol santai. Aku mengiyakan saja. Dia memintaku menunggu di sana, nanti akan ada makanan dan minuman yang lezat-lezat. Untuk hal ini aku tidak akan mungkin menolaknya.
Aku pamit pada Komandan Hadi dan Gareth untuk segera ke taman menunggunya. Mereka mengizinkan. Aku berjalan melewati ruang demi ruang.
“Hei Jason. Ayo main kartu bersama kami.” Willy dan Tedjo terlihat asyik berjudi sejak tadi pagi.
“Kalian itu, kerja yang bener. Awas kalau ada yang menyerang meminta bantuan kami. Tidak sudi aku membantu kalian yang kerja seenaknya begitu. Apa mau aku panggilkan paranormal untuk menyerang kalian?” Aku memarahi mereka.
Mereka meminta ampun sambil sesekali menelan ludah. Sudah sejak lama mereka bekerja seenaknya. Hanya paranormal yang mereka takuti. Tetapi kini karena adanya aku dan Gareth, mereka menjadi bisa bersantai-santai.
“Kenapa suka serius banget kalau dengan kita.” Tedjo dan Willy kembali melanjutkan berjudinya.
Aku tidak menggubrisnya dan kembali melanjutkan perjalanan menunju taman. Beberapa petugas penjaga menyapaku. Aku mengacungkan dua jempol.
“Sudah lama Bang Jason tidak ke markas. Lagi sibuk berlatih Bang?” Sang sopir andalan Komandan Hadi bertanya padaku usai menyapanya.
“Iya. Ada keperluan yang mendesak. Kepala desa memanggilku kembali.” Aku mengangguk lalu izin untuk berjalan ke taman.
Taman masih lengang. Ada ayunan dari kayu dengan ukuran yang lumayan besar. Di sekelilingnya ada meja-meja dan kursi-kursi untuk bersantai.
Aku memilih duduk di ayunan sembari menunggu Gareth datang membawa makanan dan minuman yang dijanjikan.
“Jason kemarilah. Aku sudah datang.” Gareth memanggilku. Aku yang memugunginya segera turun dari ayunan dan menghampirinya.
“Mantap sekali. Hanya kita saja yang memakan semua ini?” Aku terkejut melihat makanan lezat terhidang di meja ini.
Ternyata ada beberapa anggota lain menyusul. Tetapi itu tidak masalah. Mereka sudah mempersiapkan porsi khusus untukku.
Aku mengambilnya lalu kembali ke ayunan. Gareth menyusul dan ingin mengobrol lebih dekat denganku.
“Aku sudah lama tidak pulang ke kampung halaman. Maafkan aku karena aku tidak mengenalimu waktu. Bapakmu adalah sesepuhku. Dia seusia dengan kepala desa. Waktu itu ada kandidat kepala desa, bapakmu dan kepala desa sekarang. Tetapi bapakmu memilih untuk mundur karena tidak ingin ada perpecahan.” Gareth menceritakan tentang masa lalu bapak.
“Keluarga di sana sehat. Kepala desa hanya berpeasan padaku dan pada Om Gareth. Kita harus mewaspadai serangan VENOM yang Mark dirikan. Mereka sudah merajalela dan akan terus merajalela sampai detik ini.” Aku menggeleng sembari mengunyah ayam goreng dicampur nasi dan sambal.
Gareth juga menceritakan kalau mereka dulunya adalah sahabat sejak kecil. Mark memang memiliki ambisi yang besar.
“Sebenarnya niatnya sangat mulia. Dia ingin membuat paranormal itu menjadi penguasa. Bukan hidup secara bersembunyi-sembunyi seperti ini. Tetapi caranya salah. Dia ingin membunuh semua manusia yang juga merupakan nenek moyang dari kita.” Gareth bercerita menggebu-gebu soal masa lalunya itu.
“Memangnya manusia nenek moyang kita juga?” Aku bertanya dengan nada terkejut.
“Kalau bukan nenek moyang kita, kita tidak akan memiliki wujud seperti ini. Dulu paranormal menikah dengan manusia biasa dan mempunyai keturunan. Ada yang menjadi paranormal dan ada pula yang menjadi manusia biasa. Sebenarnya setiap manusia mempunyai kekuatan supranatural. Hanya saja kekuatan mereka tertutup oleh kebiasaan manusia biasa sehingga seperti hilang.” Penjelasan Gareth menambah wawasan untukku.
Oleh sebab itu, Kepala desa senantiasa mewanti-wanti agar tidak menyerang manusia. Semua menurut kecuali Mark. Kepala desa sudah mengancam dan bahkan akan membunuh Mark. Tetapi bapak mencegah. Begitulah cerita Gareth.
“Kenapa Bapak mencegah?” Aku meletakkan makananku dan menyimak ceritanya.
“Katanya. Mark akan menemui takdirnya sendiri. Dia akan mati sesuai takdirnya. Kata Bapak takdirnya bukan mati di tangan kepala desa. Itulah kenapa Mark masih hidup saat ini.” Gareth tersenyum.
Tetapi aku tidak terima. Aku ingin membunuh Mark sekarang karena menebus dosa bapakku yang membiarkan Mark masih hidup sampai detik ini.
“Tenanglah. Mungkin saja dia ditakdirkan mati di tanganmu. Tetapi kamu tidak perlu gegabah. Perlu rencana yang pas dan matang untuk membunuhnya. Teruslah berlatih aku akan membantumu mewujudkan impian itu.” Gareth memintaku duduk dan menikmati makanku lagi.
Aku mengangguk. Kembali aku mengunyah makanan-makananku yang tersisa. Pikiranku melayang-layang membayangkan bapak.
***
“Ayah.” Agatha langsung memeluk Ayah ketika dia masih kebingungan siapa yang bersamaku saat ini.
“Ah, Agatha ternyata. Sudah lama aku tidak berjumpa denganmu. Makanya aku tidak asing dengan wajahmu. Bagaimana kabarmu saat ini?” Ayah langsung menggiring kami di ruangannya.
Agatha menceritakan pengalamannya selama ini seperti yang dia ceritakan padaku tadi. Ayah mengangguk kagum. Dia juga menunjukku dan mengatakan kalau VENOM besar gara-gara dua nama, aku dan Agatha.
“Kalau aku disandingkan dengan nama, Aleksia. Rasanya kurang tepat, Ayah. Dia sudah di atas rata-rata. Dia memiliki kekuatan maha dahsyat yang disebut dengan kekuatan ratu.” Agatha menggelengkan kepala dan mengacung jempol. Aku hanya tersenyum.