-12-

4422 Kata
21. Sore menjelang dengan begitu cepat. Sudah hampir empat jam aku ada di markas, rasa bosan mulai menggerogoti tubuhku. Aku menggeliat. Gareth sepertinya mengetahui gelagatku. “Kalau kamu mau pergi, silakan pergi. Aku kan sudah bilang berbuatlah sesukamu, Jason.” Gareth tersenyum padaku. Aku mengangguk. Sore ini aku ingin menghabiskan waktu di taman kota. Semenjak pulang ke kampung halaman, aku tidak pernah lagi menyambangi taman itu. Melihat orang-orang berjalan di taman kota dan melihat matahari mulai menuruni tahtanya, merupakan hal menyenangkan di waktu sore. Ada pilihan untuk menuju ke sana: Berjalan kaki atau mengendarai mobil. Tetapi aku memilih berjalan kaki. Udara alami dari kota ini memang tidak sesegera udara di kampung, namun aku selalu merindukannya ketika jauh. Di tengah jalan, ketika sedang asyik berjalan dan melihat-lihat gedung, motor, dan orang berjualan di trotoar, ada seorang perempuan yang usianya sudah lumayan tua berteriak meminta tolong. “Tolong. Ada copet, tolong.” Perempuan itu menunjuk laki-laki yang memakai jaket hitam dan kepalanya ditutupi topeng hitam. Laki-laki itu berlari di dalam kejaran orang-orang. Melihat perempuan yang seusia ibu itu tidak berdaya, aku langsung mengeluarkan kekuatanku. Aku gunakan kekuatan lari cepat untuk mengejar pencopet itu. “Aduh.” Entah dari mana, ada seorang perempuan juga mengejar copet itu. Kami bertiga bertabrakan. “Maaf. Aku tidak lihat karena fokus pada pencopet ini.” Perempuan itu seketika memegang kerah jaket si pencopet itu. “Tidak apa-apa. Aku juga meminta maaf karena menabrakmu.” Aku tersenyum ke arahnya. Perempuan itu sepertinya seusia denganku. Dengan sigap dia memukuli pencopet itu dan meraih dompetnya. Aku terkesima melihat kesigapannya menangkap copet itu. Mungkin dia seorang mata-mata atau intelegent yang ditugaskan untuk menjaga wilayah ini atau ah entah apa aku tidak mau menduga-duga lagi. “Terima kasih sudah membantuku menangkap copet itu. Ah tidak, tidak. Mungkin kita sama-sama ingin menangkap copet itu dan kebetulan kita bertabrakan di sini.” Perempuan itu tersenyum. Dia samarkan salah tingkahnya dengan menaikkan bahu. “Aleksia.” Aku menoleh ketika ada perempuan yang memanggil dirinya. Ah ternyata namanya Aleksia. Perempuan itu mengangguk padaku. Aku pun membalasnya. Karena tidak ada kepentingan lain, aku meminta izin untuk pergi duluan. Mereka tersenyum sembari mengangguk. Aku berjalan lagi menikmati sore yang kian meredup. Waktu bergulir agak cepat usai pertemuanku dengan perempuan itu. Wajahnya menyerupa bayangan yang hadir acapkali otakku bekerja. “Aleksia. Nama yang cantik.” Aku tersenyum sendiri mengingat-ingat namanya. Wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang pas, membuat dia tampak sempurna. Taman kota sudah dipenuhi pengunjung. Di taman ini ada bukit kecil yang menghadap ke barat. Itu menjadi spot kesukaanku untuk menikamti matahari tergelincir dari singgah sananya atau yang sering orang-orang sebut sebagai senja. Langit mulai menguning ketika mataku khusyuk mengamatinya dari bawah sini. Sinarnya redup-redup terang memberi kesan tersendiri. “Sudah lama kamu tidak memakan ice cream ini?” Samar-samar aku mendengar suara perempuan tadi. Aku menoleh ke seluruh penjuru. Tidak ada. Mungkin hanya dengar-dengar saja karena terus-menerus kepikiran wajahnya dan namanya yang terngingang-ingang di kepala. Kembali aku mendengar suaranya yang khas itu. Aku terdiam dan melihat di sekitar, tidak ada lagi. Karena kesal dengan bayanganku sendiri, aku memutuskan untuk tidak menghiraukan mereka. “Boleh kami bergabung?” Aku tersentak kaget ketika melihat mereka meminta izin padaku untuk bergabung duduk di atas bukit. “Oh tentu saja boleh. Kan ini untuk umum.” Aku tersenyum membolehkan mereka duduk setelah beberapa detik terperangah melihat mereka. Mereka mulanya diam dan memilih asyik memakan ice cream. Sesekali aku melihat mereka, memastikan kalau mereka merupakan perempuan yang sama dengan perempuan yang ada di jalan tadi. “Bukankah kamu laki-laki yang tadi kita bertabrakan?” Aleksia sekilas menatapku dan bibirnya masih memakan ice cream di tangannya. “Iya. Kamu Aleksia, kan?” Aku mencoba berlagak sok tahu soal namanya. Dia bingung dan bertanya padaku. Dari mana aku tahu namanya. Seketika aku menunjuk temannya yang ada di sampingnya saat ini. “Oh waktu dia manggil namaku tadi.” Dia tertawa kecil menyadarinya. “Benar. Sampai saat ini aku masih mengingat namamu.” Aku tersenyum dan mencoba menggodanya. “Ah terima kasih. Kalau kamu sendiri, namanya siapa?” Aleksia tersipu malu. Aku pun mengulurkan tangan dan menyebut namaku. Dia mengangguk dan membalas uluran tanganku. “Aku Aleksia. Panggil saja Aleksia jangan dipotong-potong, nanti namaku jadi kayak nama laki-laki.” Aleksia tertawa. Dalam hati aku merasa dia sangat menarik. Baru pertama kenal saja sudah bisa seakrab ini dengannya. Aku tidak akan menyangka akan bertemu dengannya di taman ini. Semakin jauh kami mengobrol sembari menghabiskan sore yang kian menghilang di telan malam. Aku pamit karena sudah malam. Dia dan temannya pun juga sama. *** “Kenapa kamu masih senyum-senyum sendiri, Aleksia. Memangnya laki-laki itu membuatmu jatuh cinta?” Agatha meledekku ketika aku masih senyum-senyum sendiri sepulang dari taman tadi. “Ah tidak. Mungkin aku tidak akan pernah jatuh cinta. Karena aku merasa semua laki-laki itu membosankan. Mereka suka menang sendiri dan membuat wanita merasa tertekan.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Memang sih laki-laki membosankan, kecuali dia kan?” Agatha menggelitik pinggangku. Aku tertawa tidak bisa menutupi wajahku yang kemerah-merahan. Agatha mengatakan kalau aku sedang diterpa virus jatuh cinta. Jatuh cinta yang sama sekali tidak pernah aku rasakan sebelumnya. “Memangnya kamu pernah jatuh cinta?” Aku bertanya menyelidik. Dia hanya tersenyum-senyum sendiri sembari melangkahkan kakinya masuk ke kamarku. Aku terus mengejarnya agar mengaku. Tetapi dia tetap menyembunyikannya. “Iya deh, iya. Aku mengaku kali ini. Aku pernah jatuh cinta ketika pertama kali aku menjadi seorang perempuan dewasa.” Mendengar itu aku merasa senang. Aku langsung takzim menyimak ceritanya. Aku menyerangnya dengan banyak pertanyaan. Siapa laki-laki yang membuat seorang Agatha yang keras dan pembunuh berdarah dingin jatuh cinta? “Jangan berlebihan begitu, Aleksia.” Agatha menggelengkan kepala tidak mau disebut sebagai pembunuh berdarah dingin. “Apa satu anggota atau bukan?” Aku terus menggempur dinding rahasianya dengan berbagai macam pertanyaan. “Ini yang menjadi masalah. Mungkin hampir sama denganmu saat ini, jatuh cinta dengan laki-laki yang bukan anggota.” Agatha mendengus kesal. Wajahnya yang berseri-seri berubah menjadi murung. Mungkin cintanya akan menjadi cinta yang bertepuk sebelah tangan dengan laki-laki itu. Untuk masalah cinta, aku rasa tidak ada masalah. Banyak yang menikahi manusia biasa. Bahakan Ayah sendiri mempunyai istri manusia biasa hingga lahirlah seorang Amanda yang menyebalkan itu. “Mungkin untuk masalah cinta, aku rasa tidak ada masalah. Asalkan dia bukan dari kelompok lawan. Karena Ayah sendiri mempunyai dari istri manusia biasa.” Agatha mengangkat kepalanya. Dia menatapku lekat-lekat. “Kenapa aku tidak menyadarinya sejak dulu ya?” Agatha langsung memelukku. Seketika tangannya meraih telepon di sakunya dan menelepon seseorang. Aku diam menunggu dan turut bahagia atas itu. “Waktu itu karena aku takut akan larangan aku meminta dia untuk berjaga jarak denganku.” Agatha menggelengkan kepala. “Tapi sekarang dia bisa kamu hubungi lagi?” aku menanyakan laki-laki yang Agatha maksud. Agatha menggelengkan kepala. Aku terdiam. Urusan asmara belum pernah aku berkecimbung di dalamnya. Bahkan untuk asmaraku sendiri pun, aku tidak tahu. Sejak kecil aku tidak pernah tahu apa itu cinta dan bagaimana rasanya. “Kamu mau tahu bagaimana pertemuanku dengannya?” Agatha yang semula tampak sedih kini bahagia lagi. “Tentu saja aku mau tahu. Sini-sini cerita.” Aku mendekatinya. Dia bercerita, waktu itu ada pertempuran antara VENOM dan warga asli daerah itu. Mereka terlibat perang besar. Penduduk asli tidak ingin memberikan tanah kelahirannya untuk VENOM kuasai. Pertempuran itu sangat sengit. “Bahkan aku yang sudah mengeluarkan kekuatanku pun kewalahan mendapatkan serangan dari mereka.” Agatha menggelengkan kepala. Membayangkan betapa kuatnya kekuatan penduduk asli sana. Waktu itu, Agatha terkena pisau tak kasap mata. Lenganku terluka dan darahnya mengucur deras keluar dari lukanya. Agatha menepi karena keadaan tidak memungkinkan untuk dia bertarung lagi. Dia meminta pelayan membawakan perban untuk menutupi lukanya yang menganga. “Ketika aku memperban lenganku, tiba-tiba aku diserang oleh salah satu dari mereka. Aku panik dan berlari mencari tempat sembunyi yang nyaman sembari memegangi lengan serta perban.” Kata Agatha sembari meremas tangannya. “Jadi kamu belum sempat memperban semua lukamu sudah ada yang menyerangmu lagi?” Aku tersenyum merasa terheran-heran dengan semua ini. Agatha mengangguk. Kembali dia bercerita. Ketika berada di tempat persembunyiaan. Dia melihat ada laki-laki yang juga bersembunyi. Laki-laki itu tidak terluka sedikit pun. Agatha pun keheranan dan diam-diam mendekati laki-laki itu. “Kenapa laki-laki itu bersembunyi?” aku penasaran dengan hal itu. “Laki-laki ketakutan karena dia tidak bisa bertarung.” Agatha cekikikan membayangkan laki-laki itu. Aku masih belum paham. Tetapi keburu dia bercerita lagi. Agatha pun mengageti laki-laki tadi. Laki-laki tadi terkejut dan agak melompat. “Ampun. Ampun. Ampun. Ampuni aku. Ampuni aku. Aku tidak bisa bertarung.” Agatha mempraktekkan cara laki-laki itu meminta ampun sembari bersimpuh di kakinya. “Terus kamu bagaimana?” Aku penasaran lagi. Agatha tertawa katanya saat melihat laki-laki itu bersimpuh di kakinya. Dia tidak tahu kenapa laki-laki sebesar itu tidak berani bertarung dan malah bersembunyi di balik pohon dan bebatuan. “Konyol sekali. Tetapi itu laki-laki yang kamu suka?” Aku menyelidik. Agatha mengangguk. Dia mencintai keunikan yang laki-laki itu miliki. Dia memang laki-laki yang unik. Berbeda dari laki-laki lainnya. “Mungkin selera kita sama, Aleksia. Laki-laki unik tidak seperti laki-laki pada umumnya yang terlalu membosankan.” Agatha tertawa kecil sembari menggelengkan kepala. “Ah tidak juga.” Aku sempat mengerlingkan mata. Sekilas wajah laki-laki tadi muncul di pikiranku. Aku pun tersenyum-senyum sendiri membayangkannya. Agatha mencubitku. Katanya tidak boleh atuh keseringan membayangkan yang belum jadi miliknya. Aku balas cubitannya karena berani menggangguku membayangkan laki-laki itu. “Terus bagaimana kalian menjalin hubungan?” Aku kembali penasaran dengan hubungan Agatha dan laki-lakinya itu. Agatha bilang katanya dia sering diam-diam berkencan dengan laki-laki itu. Laki-laki itu mulanya takut ketika Agatha menunjukkan kekuatan yang dia miliki. “Dia sempat hendak lari meninggalkanku sendiri di taman kota sana karena hal itu. Katanya aku mirip hantu.” Agatha tertawa tepingkal-pingkal membayangkan ekspresi kekasihnya waktu itu. “Gara-gara kamu bisa mengeluarkan api itu? Jadi kamu disebut mirip hantu bola api ya?” Aku juga ikut tertawa mendengar ceritanya. Keusilan Agatha juga dia keluarkan saat bersama laki-laki yang dia ajak kencan itu. Katanya dia membawa boneka setan lalu menerbangkannya sendiri. Laki-laki itu mengompol dan pingsan seketika. “Aku suka mengerjainya. Makanya aku selalu bahagia melihatnya menderita seperti mengompol dan pingsan sendiri saat aku takut-takuti.” Agatha memukul-mukul kasurku karena saking puasnya tertawa. “Kamu itu aneh-aneh saja.” Tertawaku bahkan lebih keras darinya dan perutku dibuat keras oleh ceritanya itu. Agatha melanjutkan lagi ceritanya usai tertawanya berhenti. Katanya laki-lakinya mengeluh karena semenjak dekat dengan dia, laki-laki itu mengalami hal-hal ganjil seperti ditakut-takuti oleh setan. “Aku bilang mungkin mereka iri kamu dekat denganku. Tahu enggak dia balas apa setelah aku mengatakan itu?” Agatha menutup mulutnya karena menahan tawanya yang hendak meledak. “Apa memangnya?” “Katanya aku siluman bidadari. Mana ada siluman kok bidadari.” Kami tertawa bersamaan usai mendengar jawaban itu. Laki-laki itu suka dan cinta pada Agatha. Tetapi di satu sisi dia juga ketakutan karena pengalaman dengan Agatha membuatnya sering masuk angin hampir rutin setiap minggunya. “Usai aku menjahilinya. Aku yang jadi tukang kerok tubuhnya karena dia kerap masuk angin usai melihat setan-setan. Bahkan dia sempat muntah-muntah juga.” Agatha tertawa tidak berhenti-henti. “Terus-terus, bagaimana tuh kelanjutannya?” Aku semakin penasaran karena cerita cintanya sangat unik dan membuatku terus tertawa. “Besok lagi. Kita harus tidur.” Agatha menguap dan langsung tidur pulas usai menjatuhkan kepalanya ke bantal. Aku menggeleng dan menyusulnya tidur. Aku matikan lampu kamar dan aku tarik selimut itu ke atas. Dinginnya malam tidak mampu menembus kaca kamar ini. *** Sebenarnya aku ingin datang lagi ke taman kota besok sore, tetapi karena Kepala desa meneleponku mendadak dan membuatku harus pulang lagi ke kampung halaman, terpaksa besok sore aku tidak bisa bertemu dengan Aleksia lagi. Mataku masih belum bisa terpejam membayangkan pertemuan singkat yang diisi canda tawa tadi. Entah mengapa, baru kali ini aku merasakan sesuatu yang aneh saat berdekatan dengan seorang perempuan. “Padahal aku selalu bersikap dingin ketika dekat dengan seorang perempuan. Aleksia memang berbeda.” Aku bergumam. Wajahnya tiba-tiba mendatangi pikiranku. “Apa ini namanya jatuh cinta yang kerap kali dimaksudkan oleh orang-orang itu?” aku menggeleng. Entah mengapa rasa kantuk menyergapku hingga aku tidak ingat apa-apa lagi. Paginya aku menemui beberapa orang. Gareth, Komandan Hadi dan yang lain. Aku izin pulang ke kampung halaman karena ada urusan penting dengan Kepala desa. Mereka memberiku izin dan membekaliku makanan yang melimpah. Katanya untuk cadangan makan di jalan. Sebenarnya aku tidak perlu hal-hal seperti ini, karena aku sendiri menyadari bisa berpindah tempat dalam waktu sekejap. “Jason akhirnya kamu datang juga.” Kepala desa langsung memelukku. “Ada apa, Pak? Kenapa memanggilku lagi?” Aku bertanya penasaran. Katanya kemarin ada serangan besar entah dari mana munculnya. Kami kewalahan menghadapi serangan itu. Mereka mengambil hewan ternak yang ada di desa ini. “Apa mereka VENOM, Pak?” “Sepertinya iya. Mereka semua merenggut hewan ternak dan hasil panen. Bahkan salah satu dari mereka ada yang mengenaliku. Padahal aku tidak mengenalinya sama sekali.” Sudah bisa aku tebak, si pembuat onar yang ada di sini pasti adalah anggotanya VENOM. Aku berjanji akan membantu warga desa ini melawan mereka. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus membunuh mereka.   22. Pagi ketika semua sudah bangun, aku dan Agatha terlambat bangun. Tidak ada yang berani membangunkanku. Bahkan Amanda sekalipun tidak berani membangunkanku. “Wah kita terlambat bangun.” Agatha menguap dan turun dari ranjang. Tanpa meminta izin padaku dia masuk ke kamar mandi. Aku yang sudah merapikan rambutku di depan kaca mendengus kesal. Sudah sejak tadi aku yang kebelet buang air kecil, kenapa dia duluan yang nyelonong masuk ke kamar mandi. “Maaf, Nyonya. Ada yang mencari Nyonya di lobi.” Ada pesan masuk dari penunggu lobi ketika aku membuka teleponku. Aku segera mencari baju dan mencari kamar mandi lain yang ada di luar kamarku. Beberapa pelayan melihatku lalu menundukkan kepala. “Siapa yang mencariku?” Usai mencuci wajahku dan merapikan rambutku. Aku bertanya pada pelayan. “Saya kurang tahu, Nyonya. Siapa yang mencari Nyonya pagi-pagi begini.” Pelayan itu meminta maaf. Aku mengangguk dan berjalan agak cepat menuruni tangga. Ah kenapa aku sampai lupa kalau aku bisa menghilang. Kekuatan itu aku gunakan. Bayangan laki-laki terbesit di pikiranku. Ah apa mungkin laki-laki itu datang kemari? Ketika aku sampai di lobi, aku mendesah lega. Aku ingat karena aku sama sekali tidak memberitahu identitasku yang sebenarnya. Entah mengapa, laki-laki itu selalu muncul di pikiranku. Duniaku seperti diisi olehnya. “Selamat pagi, Nyonya Aleksia.” Dalot berdiri. Aku diam sejenak. Sepertinya aku tidak ada kepentingan dengan Dalot dan anggotanya. “Memangnya kita membuat janji untuk bertemu pagi ini?” Aku menatap mereka dengan tatapan kurang suka. Mereka juga bingung. Katanya mereka diminta untuk menghadapku pagi ini. Tetapi setelah sampai di markas, aku merasa tidak memanggil mereka. “Siapa yang menyuruhmu menghadapku?” Aku bertanya dengan amarah yang sudah meluap-luap. “Nyonya Amanda.” Dalot menjawab dengan ragu-ragu. Aku meminta mereka untuk pergi. Mereka menggangguk. Sedangkan aku sudah tidak bisa menahan kesabaranku lagi. Dia sudah keterlaluan berani-beraninya mempermainkanku. Tidak ada kepentingan yang bisa dikerjakan apa? Ketika aku membuka pintunya, Amanda terkejut melihatku datang dengan seluruh wajah yang memerah dan menyala-nyala. “Aku bisa jelaskan Aleksia. Aku bisa jelaskan.” Amanda mengatupkan tangannya, meminta ampun padaku. Aku meraih bajunya dan melemparnya sampai jatuh ke lobi. Semua orang terkejut dan berteriak histeris. Terutama resepsionis. “Kenapa kamu meminta Dalot untuk menghadapku?” Aku mengangkat tubuhnya. “Aku tidak bermaksud memakakan kamu dengan dia.” Dia masih ketakutan. Kedua tangannya mengatup lagi. Aku memberinya pukulan telak hingga dia terpelanting ke belakang. Agatha segera turun dan menyusulku. Saat dia hendak mendekatiku, dia berhenti. Melihat wajahku yang memerah begitu, dia tahu kalau aku sudah tidak bisa dikendalikan lagi. “Bangun.” Amanda menggelengkan kepala. Tubuhnya masih terlentang dan bibirnya merintih kesakitan. “Aku sudah bilang, jangan sekali-kali menggodaku secara berlebihan.” Aku memukul kepalanya. Dia kembali tersungkur lantai. Bibir dan hidungnya berdarah. Matanya bengkak. Ayah datang. Dia hanya menatapku sebentar lalu mengacuhkan kami. Ayah tidak akan bisa melakukan apa-apa. Mungkin kalau bukan aku yang menghajar anak kandungnya, pasti dia sudah marah. “Kamu manfaatkan situasi ini untuk apa? Mengaku!” Aku membentaknya. Tubuhnya kembali aku dudukkan. Amanda tidak bisa duduk tegak karena kepalanya masih terasa ngilu akibat pukulanku barusan. Bibirnya sudah tidak bisa dia gunakan untuk berbicara dengan lancar. Dia hanya memberiku isyarat. “Apa kurang uang yang setiap hari aku berikan padamu dan pada VENOM ini ha?” Aku menarik rambutnya hingga kepalanya ke belakang. Agatha menelan ludah. Kali ini dia merasa senang dan kasihan. Meskipun dia sangat membenci Amanda, tetapi ketika aku sudah marah, dia akan tidak tegak melihat Amanda aku siksa. “Maafkan aku, Aleksia.” Amanda mencoba meminta maaf dengan suara terputus-putus. “Sudah berapa kali kamu mengerjaiku seperti ini. Kemarin kamu juga meminta maaf, tetapi kali ini kamu mau minta maaf terus kamu ulangi lagi?” wajahnya kini aku hadiahi dengan tendangan keras. Dia terjungkal ke belakang. Darah kembali mengucur deras dari hidungnya. Sepertinya dia mati. Ayah yang ada di sudut ruangan ini hanya diam. Diam-diam air matanya mengalir. Tiba-tiba aku tersadar ketika melihat Ayah menangis. Amarahku yang begitu besar telah mengendalikan tubuhku. Amanda telah mati ketika aku menggendong tubuhnya. “Maafkan aku, Ayah.” Aku menyerahkan Amanda padanya. “Bukan kamu yang salah. Tetapi Amanda sendiri dengan segala kesombongannya. Aku sudah memperingatkan dia berkali-kali agar tidak rakus dan sombong. Tetapi dia masih saja bandel. Maafkan aku dan Amanda, Aleksia.” Ayah membawa Amanda menghilang entah ke mana. Agatha menghampiriku. Aku masih sibuk melihat telapak tanganku yang seharusnya berwarna putih semua, menjadi berwarna merah semua. “Aku telah membunuh Amanda, Agatha.” Aku menggeleng. Meskipun aku membencinya, ada penyesalan ketika aku membunuhnya barusan. “Tidak. Kamu tidak membunuhnya. Kamu hanya membunuh sifat jahatnya saja, Aleksia.” Agatha memelukku. Dia mencoba menenangkanku. Semua orang kembali bekerja seperti semula. Mereka bekerja seolah tidak terjadi apa-apa. Agatha mengusap rambutku dan memintaku untuk tenang. “Ayo kita ke taman.” Agatha menuntunku ke taman. Dia menggunakan kekuatan menghilang dan membawaku ke taman. Aku masih belum bisa keluar dari penyesalan ini. Amarahku memang menakutkan. Bahkan aku sendiri pun takut dengan amarahku. Amarah ini sudah membunuh banyak orang. Bahkan orang tua kandungku sekalipun aku bunuh dengan amarah ini. “Mungkin kalau kamu bisa mengontrolnya. Kamu bisa menjadikan amarah itu sebagai kelebihanmu, Aleksia. Bukankah kamu pernah bilang padaku kalau ketakutanku akan menjadi kelebihanku saat aku bisa mengendalikannya?” Agatha tersenyum. “Tentu saja aku ingat dengan kata-kata itu. Ternyata kamu masih mengingatnya.” Aku mendongak lalu tersenyum ketika mengingat kata itu. Agatha bilang dia tidak pernah lupa dengan semua yang aku katakan dan aku ajarkan padanya. Latihan-latihan dan kata-kata nasihat menjadi penghuni terbanyak di ingatannya saat ini. “Kalau boleh tahu, kenapa kamu marah ketika Amanda meminta Dalot menghadapmu?” Agatha memang pandai membaca situasi. Melihat keadaanku yang sudah membaik, dia memberiku pertanyaan yang sudah pasti akan dia tanyakan karena itu memang membuat penasaran. “Dalot si tua bangkotan itu menyukaiku. Setiap hari dia hanya ingin bertemuku saja. Katanya sih kalau bertemu dia sudah sangat senang. Hal ini dimanfaatkan sama Amanda. Mulanya aku dijebak seperti ini menganggap biasa. Tetapi kok sampai keterusan. Lalu aku tanya, baru tahu deh soal informasi itu. Aku mengancam Amanda. Amanda meminta maaf, tetapi kali ini dia tidak bisa aku maafkan lagi.” Aku meremas tanganku. Agatha mengangguk-angguk. Dia mengerti apa yang aku rasakan. Memang sih sekarang, banyak orang yang sudah berumur suka dengan remaja-remaja atau perempuan dewasa yang belum menikah. Makanya tidak aneh kalau Dalot menyukaiku. “Untung kamu punya kekuatan. Kalau tidak, mungkin kamu sudah diperkosa dengan kekuatan yang dia miliki.” Agatha menggodaku. “Sialan. Kalau sampai berani, aku penggal lehernya.” Mendengar itu Agatha langsung lari. Aku yang kebingungan meneriakkinya dan bertanya kenapa dia lari terbirit-b***t seperti orang habis ngeliat setan. “Kamu mengerikan. Sukanya memenggal kepala orang.” Agatha tertawa sembari menjulurkan lidah. “Haha kemarilah. Memangnya kamu tidak apa ha?” Aku menggelengkan kepala. Seketika gelisahku hilang karena dia menghiburku. *** VENOM mendatangi lagi desaku ini. Aku dan yang lain sudah bersiap-siap. Mereka membawa pasukan yang lebih banyak lagi. “Tadi mereka hanya berjumlah dua puluh orang. Kini mereka bertambah, menjadi empat puluh orang.” Kata Alex saat menghitung jumlah mereka. “Sialan, apa mereka tidak berterima kasih pada tanah kelahirannya sendiri.” Aku mengumpat dan langsung menyerang mereka dengan semburan api. Semua tubuh mereka terbakar dan terjatuh dari benda ajaib mereka yang bisa terbang. Mereka berteriak panik. Tiba-tiba dari arah belakang, ada bulatan benda tajam menyerangku. Aku merunduk seketika. Dalot! Aku mengumpat ketika mengetahui biangkerok kali ini adalah dia. “Waktu itu dia hanya kecil seusiaku yang suka menangis.” Bapak memberitahuku soal Dalot. “Lalu mengapa dia yang sudah tua malah menjadi anak buah yang terhitung seusia anaknya sendiri?” Aku bertanya keheranan. “Dia tidak bisa bertarung. Makanya dia hanya berani bersembunyi di ketiak orang-orang kuat seperti Mark.” Bapak menyebut nama Mark. Karena itu aku menjadi teringat dengan cerita Gareth soal Bapak, Kepala Desa, dan Mark. Ketika aku ingin bertanya, tiba-tiba Dalot menyemburkan api. Aku menarik Bapak hingga api itu hanya mengenai udara yang tidak berdosa. “Hati-hati, Pak.” Aku meminta Bapak bersembunyi di balik punggungku. Api itu terus datang dengan semburannya kian membesar. Meskipun dia sudah tua, tenaganya masih kuat. Semburannya sampai menjalar beberapa meter. Karena memang sejak kecil aku menyukai api, maka aku pejamkan mata dan mencoba menangkap api itu. “Bos, apinya dia pegang begitu saja.” Salah satu anak buahnya terkejut dengan apa yang aku lakukan. Semburan api itu memang benar-benar aku pegang seperti aku memegang benda biasa. Dalot tidak keheranan karena mungkin dia sudah mengetahui bagaimana kekuatanku yang sebenarnya. “Aku sudah memberimu kesempatan untuk pergi beberapa hari lalu. Kenapa kamu datang lagi?” Aku memberi ancaman lagi pada Dalot. Dalot menggelengkan kepala lalu tersenyum. “Memang aku kembali lagi. Tetapi kali ini aku lebih kuat dari sebelumnya.” Dalot menyerangku dengan mata tombak yang tidak terlihat. Tombak itu bisa aku hindari dan hanya mengenai lenganku. Sialan. Kesabaranku sudah tidak bisa menahanku lagi. Aku keluarkan biji petir yang sangat kecil. Biji itu aku lemparkan tepat di dadanya. Dalot terkejut. Tubuhnya mengejang-ejang karena petir itu menyala-nyala di dalam tubuhnya. Menyambar hati, jantung, dan organ vital lainnya. “Bos. Kenapa Bos?” anak buahnya panik karena petir itu masih terus menyambar di dalam tubuhnya. Tetapi tiba-tiba aku melihat ada burung elang yang begitu besar menyambar tubuh Dalot. Dandelion. Aku menggumam sembari mengepalkan tanganku. Pantas saja dia seberani tadi. Dandelion lah yang akan membantunya. “Apa kabar Jason? Sudah lama kita tidak bertemu. Ah akhirnya aku kembali kampung halaman yang miskin ini.” Dandelion teman seperjuanganku memilih berpihak pada Mark ketimbang menerima perdamaian dengan manusia biasa. “Seharusnya kamu kembali ke tanah ini dan berubah menjadi paranormal sejati.” Aku mendengus kesal. “Paranormal sejati katamu? Paranormal sejati adalah penguasa alam semesta. Bukan seperti kalian yang harus hidup dengan bersembunyi-sembunyi karena takut dianggap parasit oleh manusia biasa. Cuih.” Dia meludah ke samping kirinya. Aku mengumpat dan menyerangnya. Biji petir yang masih ada di tanganku aku lempar ke tubuhnya. Dia hanya menertawakan kekuatanku. Hampir dua puluh biji petir aku lempar ke arahnya, tetap saja tubuhnya tidak terasa apa-apa. “Aku bukan si tua bangka itu, Jason. Aku Dandelion si pria peredam semua serangan.” Dia tertawa lagi.   23. “Bukankah kamu adalah anak cengeng yang suka menangis sendirian di pinggiran sungai?” Aku tersenyum mengejek. Matanya langsung melotot. Tawanya seketika berhenti. Dia benar-benar marah apabila diingatkan kembali dengan masalah itu. Tanpa aku duga-duga dia melempar api yang dilapisi udara sehingga api itu bergerak begitu cepat mengenai tubuhku. “Hanya itu kekuatan yang kamu miliki?” Aku mencoba berlagak sombong meskipun tubuhku terasa agak panas karena serangan dari bola apinya. “Kecilkan kepalamu. Jangan besar kepala dulu. Itu baru permulaan.” Dia mendengus kesal mendengar kekuatannya dia ejek. Dengan sekuat tenaga dia melempar petir dengan awan gelap sehingga mataku tidak bisa melihat arah petir itu ke mana. Tetapi kaki yang aku hentakkan ke tanah membantuku, aku bisa merasakan arah petir itu. “Lumayan juga kekuatanmu. Aku kira, di desa ini kamu tidak mendapatkan sesuatu dan hanya begitu-begitu saja.” Dandelion semakin kesal karena kekuatannya tidak berhasil mengenai tubuhku. Aku minta dia untuk mengeluarkan kekuatan lain. Dia pun merespond dengan cepat. Gumpalan petir yang dia ambil dari langit-langit ia kumpulkan menjadi bola-bola. Aku meminta Bapak dan yang lain untuk menepi dahulu. Ini bukan kekuatan biasa dan bisa mengenai sekitarnya. “Rasakan ini anak bodoh!” Gumpalan itu terlempar dan mengarah kepadaku. Aku yang sudah belajar dari berbagai orang cara bertarung paranormal yang baik hanya tersenyum menghadapi kekuatan seperti ini. Aku menangkapnya dengan santai. Dia terperangah, bibirnya menganga. “Mana mungkin kamu bisa menangkapnya seperti menangkap bola biasa.” Dia menggelengkan kepala. Dengan sekuat tenaga aku melempar gumpalan itu balik dan mengenai tubuhnya. Tubuhnya seketika mengejang-ejang karena petir-petir itu terus mengenai tubuhnya. Dia mengangkat tangan mencoba menetralkan, tetapi terlambat. Petir itu melumat habis tubuhnya hingga tubuhnya tampak gosong. Para anak buahnya mulai ketakutan dan meninggalkannya sendiri. Aku dan yang lain mendekat dan melihat tubuhnya tersambar gumpalan petir itu lebih dekat lagi. “Mustahil sekali. Jason memang sudah berkembang dengan luar biasa. Dia bisa mengembalikan kekuatan yang mengerikan ini seperti anak kecil mengembalikan bola yang dia dapat.” Mereka memujiku. Sesekali tangannya menepuk bahuku. “Apa dia akan mati?” Alex bertanya padaku. Aku menggeleng. Mati atau tidaknya Dandelion bergantung pada daya tubuhnya. Kuat atau tidak. Kalau dia benar-benar kuat maka petir itu hanya akan melukainya saja. Jika tidak, dia akan mati. Semua mundur ketika tiba-tiba Dandelion bangun lagi. Mulanya dia hanya duduk lalu berdiri. Namun saat hendak berbicara, tubuhnya sudah tidak kuat. Dia terjatuh lagi. “Petir yang ada di gumpalan tadi memiliki kekuatan yang begitu besar karena terdiri dari beberapa petir yang dia ambil dari langit. Makanya tubuhnya tidak akan mampu bertahan lama.” Aku menjelaskan pada mereka. “Dia akan kesakitan karena petirnya terus melukai apa yang ada di dalam tubuhnya. Mengerikan sekali.” Aku menggelengkan kepala karena tidak bisa membayangkan. Mereka mengangguk ngeri. Tubuh Dandelion sudah semakin hitam legam. Asap yang keluar dari tubuhnya semakin banyak. Mereka semua bertanya padaku apa yang harus kita lakukan. Aku meminta mereka untuk mencarikan air. Dengan menyiram air, asap itu akan menghilang. Mereka berbondong-bondong mencarikan air dan menyiram tubuh Dandelion yang masih mengeluarkan asap. “Dandelion masih hidup. Lihatlah dadanya masih kempas-kempis.” Alex menunjuk d**a Dandelion. Aku mengangguk. “Sebaiknya kita bawa saja dia ke kantor kepala desa dan kita rawat di sana.” Karena merasa kasihan, akhirnya aku putuskan untuk mengobatinya. Tubuhnya sudah hangus begitu kasihan bila hanya dibiarkan di bawah terik matahari ini seperti ini. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN