Tidak Tahu Malu

1111 Kata
Lagi-lagi Ayana hanya mengangguk setuju. Mau menolak secara halus juga pasti akan sia-sia. Bos nya ini sikapnya benar-benar tidak terduga. Dia pandai mengaduk-aduk hati orang lain. "Apa kau ingin membeli buah segar?" tanya Brian tiba-tiba saat mobilnya melaju melintasi jejeran kios buah yang ada di pinggir jalan. "Tidak, Pak. Terimakasih," balas Ayana pelan. Sudah menumpang dia tidak berani ngelunjak. Walaupun sebenarnya Saliva-nya sudah tertelan beberapa kali melihat segarnya mangga muda yang terpampang menggoda selera. Sepertinya Ayana akan sering-sering menginginkan sesuatu secara tiba-tiba untuk beberapa Minggu ke depan. Yang kata orang identik ke kata "Ngidam". Hamil muda membuat hormonnya berubah-ubah. "Baiklah kalau begitu." Ayana pikir, Brian akan melajukan mobilnya kembali dan menghiraukan jajaran kios itu. Namun sebaliknya, pria tampan itu justru turun dari mobil dengan santainya dan menuju ke salah satu penjual. Dengan cekatan dia meminta mangga muda, jeruk, apel, dan beberapa buah lainnya yang dirasa segar. Dalam hati Ayana merasa sangat girang. "Maaf, Pak. Tetapi saya tidak minta." tetap saja Ayana merasa tidak enak karena Brian harus repot-repot turun dan membelikannya. "Mulutmu berkata tidak, tetapi raut wajahmu tidak bisa berbohong. Aku tahu kau sangat ingin," balas Brian dengan wajah datar. Ayana seketika membuang muka, dia merasa malu karena Brian dapat menebak kemauannya. Diam-diam wanita itu mengulas senyum tipis. Apa pria di sampingnya ini semacam cenayan yang bisa membaca pikiran orang hanya dengan melihat wajahnya saja? "Aku sudah menebus obatmu di apotik. Ini obat untuk pemulihan kondisimu. Juga untuk vitamin janinmu, dan yang ini untuk penambah nafsu makan. Kau harus menjaga tubuhmu karena kehamilan minggu pertama masih rentan," jelas Brian sambil menyerahkan sekantung plastik obat-obatan lengkap saat mereka sudah sampai di depan kontrakan Stella. Ayana terkejut mendapati Bos nya sampai seinisiatif itu. "Anda tidak perlu repot-repot melakukannya, Pak direktur. Saya bisa menebusnya sendiri. Anda tidak perlu merasa harus melakukannya. Saya tidak ingin merepotkan apalagi sampai membuat anda terbebani," ucap Ayana dengan lugas. Dia benar-benar merasa segan dengan Brian. "Aku melakukannya untuk anak yang kau kandung. Bukan untukmu." Lagi-lagi balasan Brian membuat Ayana bungkam. Dia hanya mengatupkan mulutnya sambil mengangguk pasrah. "Baiklah. Jangan ceroboh. Jaga janinmu baik-baik. Sampai dia terluka, aku tidak akan memaafkan mu," lanjut Brian mengancam. "Baik, Direktur." Brian pun melajukan kembali mobilnya menjauhi kontrakan Stella. Ayana hanya memandangnya dengan tatapan nanar. Dia tidak tahu harus bahagia atau sedih mendapati kepedulian bos nya. Bahkan pria itu benar-benar percaya jika anak yang dikandungnya adalah darah dagingnya. "Aku pulang, Stella," ujar Ayana dengan suara riang. Dia mendapati Stella tengah melipat baju-bajunya dibdepan televisi. "Wow. Sepertinya kau baru saja ketiban durian runtuh. Tidak biasanya kau seceria ini pulang kerja," sahut Stella dengan heran. "Ya. Aku membawa kabar gembira!" pekik Ayana tertahan. "Kabar gembira apa? Ayo beritahu, jangan buat aku penasaran," desak Stella. "Aku hamil!" seru Ayana sembari mengelus perutnya. "Oh, kau hamil. Eh, apa!" kali ini Stella yang memekik dengan keras. Dia baru sadar Ayana menyebut kata hamil. "Aku tidak salah dengar?" tanya dia kembali. Ayana menggeleng keras. "Aku hamil sungguhan." Ayana menunjukkan bukti hasil foto USG yang ia dapatkan dari rumah sakit pada Stella. Gadis itu tampak melongo tidak percaya dengan apa yang ia lihat. "Wah selamat ya, Ay. Ini bukan yang sangat kau inginkan?" tanya Stella ikut antusias. "Tentu saja!" seru Ayana gembira. "Tetapi, bukankah kau dan Daniel akan bercerai. Bagaimana nasib anak dalam kandunganmu?" tanya Stella sendu. "Kata siapa ini anak Daniel? Bukankah kau tahu sendiri aku tidak bisa hamil saat bersamanya dan aku baru berhenti mengkonsumsi obat itu saat tahu darimu?" terang Ayana mengingatkan. "Lalu yang kau kandung ini anak siapa?" Stella menghentikan aktivitasnya dan menyimak dengan serius. "Kau ingat terakhir kali aku tidur dengan siapa?" Stella menutup mulutnya tak percaya. "Anak direktur baru di kantormu?" "Kemungkinan. Aku tidak peduli anak siapa yang kukandung ini. Tapi aku hamil tepat setelah berhubungan intim dengan Pak Brian. Hanya tes DNA yang bisa membuktikan setelah dia lahir nanti." "Hei, kau bisa menggunakan ini sebagai kesempatan emasmu!" seru Stella dengan semangat. "Maksudmu?" lanjut Ayana tidak mengerti. "Kau bisa menjadi nyonya besar jika benar-benar bisa membuktikan bahwa anak itu adalah anak seorang direktur." "Tidak, Stella. Aku tidak tertarik dengan segala macam kemewahan. Bagiku hidup sederhana saja sudah cukup. Aku sudah terbiasa mandiri sejak muda sebelum menikah dan sekarang pun akan tetap sama," terang Ayana kekeh. "Tetapi, Stella. Kau tahu? Aku sangat bahagia begitu tahu aku hamil. Jika saja bukan karena perbuatan Alma, pasti aku sudah memiliki dua anak yang lucu-lucu sekarang." Stella merengkuh sahabatnya dengan erat. Dia bisa merasakan betapa pedih hati Ayana selama ini telah dikhianati adiknya sendiri. "Sudah, Ay. Jangan pikirkan Alma. Biarlah dia menuai karma atas perbuatannya. Yang terpenting sekarang kesehatan janinmu. Fokuslah untuk merawatnya hingga ia lahir nanti," balas Stella menyemangati. "Yah. Kau benar. Aku tidak akan terpuruk dengan penghianatan mereka. Aku punya malaikat kecil yang akan menemani hari-hariku nanti," jawab Ayana dengan binar kebahagiaan. "Hei, kau bawa banyak sekali obat dan buah-buahan." Stella memeriksa kantong plastik yang dibawa oleh Ayana. "Oh itu. Pak direktur yang membelikannya. Dia bilang mungkin aku ingin buah segar, dia juga menebus resep obatku di apotik," timpal Ayana. "Ay, kau sungguh beruntung! Demi apa dia melakukan ini semua? nasib baik lepas dari buaya darat itu dan bertemu lelaki pengertian seperti direktur," ujar Stella dengan senang. "Dari mana kau tahu jika dia baik, Stella?" "Lihatlah semua perhatian yang dia berikan padamu hari ini? Bukankah ini cukup untuk membuktikan bahwa dia bersungguh-sungguh akan bertanggung jawab?" tanya balik Stella. "Yah. Memang kelihatannya begitu. Tapi kau tidak tahu betapa bulu kuduk ku selalu merinding jika berada disampingnya. Dia lelaki dominan. Perintahnya mutlak harus dituruti, jika tidak maka dia akan marah," keluh Ayana. "Mungkin karena dia seorang Bos. Lagi pula bisa saja kemauannya itu untuk kebaikanmu. Lama-lama kau akan bisa menyesuaikannya, Ayana. Dan lagi, bisa jadi sang bos akan bucin abis denganmu! Hahaha." Terdengar tawa menggelegar dari mulut Stella. Dia begitu bahagia mengolok Ayana dengan bos barunya itu. Sedangkan Ayana hanya berdecak kesal melihat tawa Stella yang tidak berjeda. Apa yang ada di otaknya saat ini? Ting. Ada pesan masuk di ponsel Ayana. Dari Daniel. Pria itu seperti bayangan hitam yang seketika bisa mengacaukan mood Ayana. Daniel : Jangan lupa! cepat tanda tangani berkas perceraian kita. Datanglah besok jika kau tidak ingin mendapat masalah. Aku minta kau harus sepakat dengan pembagian harta gono gini yang sudah kukatakan tempo hari. Lebih cepat selesai lebih baik. Jangan mempersulit bagianku. "CK. Dasar tidak tahu malu." Ayana melempar ponselnya dengan geram. Daniel tetap saja ngotot ingin memiliki properti yang dia punya. Lelaki itu benar-benar muka badak. "Aku akan mempertahankan milikku sebisa mungkin. Aku tidak akan membiarkan kalian menikmati harta bendaku seenaknya." gumam Ayana memejamkan mata. Melerai emosi yang kembali menguasai. Beruntung Brian sedang berbaik hati menyuruhnya untuk tetap beristirahat tanpa perlu ke kantor hari ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN