Kabar Kehamilan

1073 Kata
Ayana terkejut mendengar ketukan yang sangat pelan itu. "Maaf di dalam ada orang." Mungkin saja seseorang yang mengetuk itu sedang iseng, karena kamar kecil di sampingnya banyak yang kosong. "Ayana!" bisik suara itu dari luar. Lirih namun terdengar tajam. Ayana hafal betul suara itu. Suara yang mampu membuat bulu kuduknya berdiri seketika. "Direktur Brian?" gumamnya. "Kau didalam?" tanya dia lagi. Ayana segera membersihkan diri dan menghirup aroma minyak kayu putih dalam-dalam agar saluran pernapasannya semakin lapang. Kemudian membuka pintu perlahan. "Di-direktur." Wajahnya tampak menahan mual yang tertahan di tenggorokan. Walaupun sudah tahu jika itu adalah suara Brian tetap saja Ayana tidak bisa bertatap muka langsung dalam keadaan kurang fit. "Apa kau sakit? Kenapa sampai muntah-muntah?" tanya Brian mengerutkan keningnya. "Tidak apa-apa, Direktur," jawab Ayana menyela. "Apa yang anda lakukan disini?" Brian terkesiap mendengar pertanyaan Ayana. Seharusnya dia memang tidak berada di kamar mandi pegawai. Apalagi kawasan wanita. Namun dia tidak sengaja saat melewati koridor justru melihat Ayana berjalan dengan tergopoh-gopoh menutup mulutnya. Penasaran dengan kondisinya, dia segera mengikutinya dan mendengar wanita itu beberapa kali muntah. Otaknya sudah mengatakan itu bukan urusannya namun nuraninya sudah menguasai lebih dulu untuk mencari tahu. "Aku hanya kebetulan lewat dan melihatmu kemari," balas Brian tidak peduli bagaimana Ayana menanggapinya. Wanita itu terdiam sejenak. Seorang direktur seperti Brian tidak mungkin peduli padanya kan. Apalagi dia hanya karyawan biasa. Mungkin hanya sekedar basa-basi seorang atasan pada bawahan. "Oh. Apa ada laporan saya yang harus direvisi kembali, Direktur?" tanya Ayana memastikan. "Tidak ada. Baiklah aku akan kembali bekerja," tutur Brian. Dia merutuki dirinya sendiri yang menghampiri Ayana. Pria itu membalikkan badannya dan melangkah menjauh. Tiba-tiba terdengar suara seperti benda jatuh. "Ayana!" seru Brian mendekati wanita itu. Dia sudah tergeletak di lantai depan kamar kecil. Ayana pingsan. Baru beberapa langkah Brian menjauh dia harus kembali menolong wanita itu yang tiba-tiba saja tidak sadarkan diri. Brian segera memanggil security untuk membawa Ayana masuk ke dalam mobilnya. Sebenarnya bisa saja dia membawanya sendiri, tubuh Ayana terlampau kecil untuknya, tidak mungkin tubuh besarnya tidak mampu menopang. Tetapi Brian menghindari pandangan para pegawai lain agar tidak menyebabkan skandal mengingat dirinya Direktur baru harus menjaga image. Pria tampan itu membawa Ayana ke rumah sakit dan menunggunya hingga ia sadar. "Bagaimana kondisinya, Dok? Apa sakitnya serius sampai dia pingsan?" tanya Brian saat dokter telah selesai memeriksanya. Dokter itu mengulas senyum lebar. "Anda tidak perlu terkejut, ini biasa terjadi saat seorang wanita mengandung." "Mengandung?" ulang Brian tidak percaya. "Iya, Bapak. Selamat istri anda tengah hamil. Anda akan segera menjadi seorang ayah," tutur sang Dokter memberi selamat. "Terimakasih, Dok." Sebenarnya bisa saja Brian menyangkal bahwa dia bukanlah suami dari Ayana, tetapi lagi-lagi dia malah memilih diam dan menerima sangkaan sang dokter. Kembali ke tempat Ayana terbaring, Brian menunggu di sisi ranjang dengan memainkan ponselnya. "Di mana saya?" tanya Ayana terkejut saat terbangun mendapati dirinya di dalam ruangan bernuansa putih-putih. "Jangan banyak bergerak. Kata dokter kau harus banyak istirahat," sahut Brian segera mendekatinya. "Direktur?" Ayana terduduk tegak begitu menyadari pria di sampingnya adalah Brian. Terakhir kali yang dia ingat tengah berbicara dengan direktur barunya itu. "Kenapa saya bisa ada di sini?" "Kau pingsan tadi. Aku yang membawamu kemari? Apa kau merasa sakit? Di Bagian mana?" tanya Brian tiba-tiba. Sikapnya itu sungguh di luar nalar. Wanita itu seperti magnet yang mampu menarik perhatiannya dalam sekejap. "Saya pingsan? Maaf, Direktur merepotkan anda," sahut Ayana merasa tak enak hati. Dia beberapa kali terjebak dalam situasi yang membuat pria itu harus menolongnya. "Tidak masalah," jawab Brian dengan santai. Tak berselang lama, sang dokter masuk untuk memeriksa Ayana dan memberitahukan bahwa wanita itu harus segera melakukan USG untuk mengetahui kondisi janin yang dia kandung. Ayana hampir saja menjerit saat dokter itu memberitahu tentang kehamilannya. "Saya hamil, Dok?" tanya Ayana dengan suara lantang. Dia sampai lupa jika Brian ada di sampingnya. "Benar, Bu. Saya sudah mengatakannya pada suami anda sebelumnya." Dokter itu menunjuk ke arah Brian. Ayana melebarkan bola matanya. "su-suami?" ulangnya dengan ragu. Bahkan sang direktur tidak bergeming sedikitpun. Dia hanya mengangguk setuju. "Baiklah, Dokter. Terimakasih, akan saya tebus nanti resepnya. Bisa tinggalkan kami sebentar saja?" kata Brian menghiraukan Ayana yang masih terkejut. Sang dokter pun mengangguk dan keluar setelah memberikan resep obat pada Brian. "Jadi, tidak mungkin kan anak yang kau kandung itu adalah anakku? Lagi pula kita hanya sekali melakukannya," tanya Brian tanpa basa-basi. "Saya tidak akan berkomentar," jawab Ayana kembali menunduk. Brian menatap lekat manik yang sudah memikatnya sejak awal. "Angkat kepalamu!" perintahnya. Ayana pun dengan malas melakukannya. Bersiap jika direktur baru itu akan memarahinya kembali. "Dengar, Ayana. Hal ini teramat penting bagiku. Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja jika memang anak ini adalah darah dagingku," tegas Brian memberi penekanan. Wanita itu tampak bimbang sejenak sebelum ia membuka suara."Saya memang tidak bisa membuktikan apapun sampai bayiku lahir, namun saya sangat yakin jika anak ini adalah anak anda. Tolong jangan berpikiran negatif pada saya, saya tidak ada niat sedikitpun untuk memanfaatkan jabatan anda." "Kalau begitu katakan padaku apa yang mendasari alasanmu sampai kau sangat yakin jika bayi itu anakku?" tantang Brian lagi. Ayana kembali mengingat apa yang telah menimpanya dengan enggan. Tetapi akhirnya dia mengatakannya juga. "Sebelumnya, saya tidak bisa hamil walaupun sudah dilakukan dengan berbagai cara. Sampai ke dokter kandungan melakukan cek up, saya dinyatakan sehat dan tidak ada masalah." "Apa karena hal itu lantas suamimu berselingkuh?" tanya Brian. "Benar. Dia tidak sabar dan malu pada keluarga besarnya sebab saya tak kunjung hamil. Namun belakangan ini saya baru tahu jika penyebab saya tidak dapat hamil karena sebuah obat," lanjut Ayana. "Obat penunda kehamilan?" tebak Brian lagi. "Ya. Dan parahnya lagi yang memberikannya adalah adik saya sendiri. Dia melakukan hal itu karena ingin saya dan Daniel bercerai. Jadi saya berhenti mengkonsumsinya saat tahu dari seorang teman jika itu obat penunda kehamilan," terang Ayana sambil menahan Kekesalan. Brian hanya menggeleng pelan. Dia tidak menyangka jika Ayana mengalami hal berat dalam hidupnya. "Jadi pada saat kau melakukannya denganku, kau sudah berhenti mengkonsumsi obatnya?" Brian memastikan. "Benar, Direktur. Saya sudah menghentikan pemakaian sebelum berhubungan dengan anda. Dan dokter telah memberikan saya obat penyubur kandungan," ujarnya pelan. "Jadi anda tidak perlu terbebani dengan cerita saya ini. Saya bisa merawat anak ini sendiri. Anda tidak perlu khawatir. Saya tidak akan menuntut apapun." Brian menghela nafas panjang. "Yah, Sebenarnya aku sedikit kesal denganmu, karena kau jadikan pelampiasan sesaat. Tapi tetap saja aku tidak bisa mengabaikan janin yang kau kandung." "Tapi kan anak ini belum tentu-" "Cukup, Ayana. Aku tidak mau dibantah." "Ba-baik, Direktur," jawabnya tergagap. "Aku akan mengantarmu pulang." Bersambung…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN