Kena Marah

1132 Kata
"Huek, huek." Ayana merasakan perutnya melilit. Beberapa hari ini dia terus mual yang tidak dapat ditahan. Bukan hanya itu, Ayana juga merasakan kantuk yang sangat hebat setiap kali tubuhnya merasa letih. "Aku rasa ada yang salah denganmu. Apa kau tidak ingin memeriksakan kondisimu?" tanya Stella yang tampak khawatir. "Aku baik-baik saja. Mungkin hanya masuk angin biasa," jawab Ayana lemas. Stella memperhatikan sekilas temannya sambil bersiap-siap hendak berangkat kerja. Dia punya firasat yang tidak baik. "Kalau melihat gejalamu, sepertinya kau hamil. Tapi entahlah aku tidak bisa memastikannya. Lebih baik kau cek pakai tespek supaya lebih meyakinkan," saran Stella. Ayana tampak terkejut mendengar pernyataan Stella. "Hamil? tidak mungkin. Kau tahu sendiri aku baru saja lepas dari ketergantungan obat itu." "Baiklah kalau menurutmu begitu. Bagaimanapun jaga kondisimu. Aku berangkat dulu," pamit Stella. "Oke, hati-hati di jalan," balas Ayana. Dia kembali berbaring di ranjang mengistirahatkan tubuhnya. Semalam dia baru saja lembur sampai pukul dua pagi. "Hoam. Lebih baik aku tidur sebentar saja sebelum berangkat," gumamnya. Dalam hitungan detik saja, Ayana sudah terlelap karena kantuk yang sangat berat. Sampai dia terkejut karena bunyi alarm yang memekakkan telinga. "Astaga sudah jam 8, aku kesiangan!" Ayana terkesiap bangun, otaknya seketika memberi perintah pada tubuhnya untuk berdiri tegak. Bergegas mandi dan berganti baju hanya dalam hitungan menit. Dia sampai di kantor jam sembilan tepat. "Maaf semuanya saya terlambat," ujarnya sambil ngos-ngosan karena setengah berlari. Ayana juga berkali-kali menundukkan badannya di depan Pak Handy dan Direktur Brian. Hari ini mereka melakukan meeting membahas pengenalan produk baru yang lebih ekonomis kepada masyarakat menengah ke bawah. Juga cara pendekatan kepada mereka agar lebih tertarik dengan produk baru ini. Semua yang ada di ruang rapat memandang Ayana sambil menahan tawa. Tidak berani melontarkan ucapan sebab wajah Brian tampak garang menatapnya tak bersahabat. "Apa yang kau lakukan? Kau tidak tahu rapat sedang berjalan? Cepatlah duduk!" perintah Pak Handy sembari menunjuk salah satu kursi yang masih kosong. "Ba-baik, Pak," sahut Ayana terbata-bata. Dia tetap menunduk sampai di tempat duduknya sekalipun. Tidak berani menelisik ekspresi Brian ketika tahu dia telat. "Hei, kenapa kau bisa telat? Tidak pernah kau berangkat kerja sampai selambat ini?" tanya Chaca sambil berbisik. "Aku ketiduran," jawab Ayana ikut berbisik. "Hah?" Chaca heran mendengar jawaban Ayana. Pasalnya temannya itu selalu disiplin waktu, kenapa bisa sampai tertidur sampai jam kerja kelewat. "Ssst." Ayana menempelkan telunjuknya ke sudut bibir, memberi isyarat pada Chaca agar tidak berisik. Karena Pak Handy melempar pandang pada mereka berdua. Ayana menyimak dengan serius apa yang disampaikan oleh Direktur. Mulai dari metode pendekatan, sarana dan prasarana yang dibutuhkan, juga target marketingnya. "Saya rasa cukup sampai di sini meeting kita hari ini. Saya himbau untuk setiap divisi agar secepatnya menyerahkan laporannya ke ruangan saya, paling lambat hari ini, saya tidak menerima revisi berkas besok," tegas Brian tanpa mau dibantah. "Dan satu lagi-" pria tampan itu menjeda kalimatnya sejenak. Matanya menatap lurus ke depan, menyelami gurat kecemasan di wajah para anggota rapat yang menanti kelanjutan ucapannya. "Karyawan yang terlambat datang sampai hampir satu jam lebih, tolong ke ruangan saya sekarang juga!" Hening. Brian beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang rapat dengan langkah lebar. Ayana merutuki dirinya sendiri yang kesiangan. Sedangkan Chaca hanya melempar pandang iba padanya. Para pegawai lainnya baru berani mendongakkan kepalanya di saat Brian sudah keluar dari ruangan. Setelah itu bergegas kembali ke kubikel-nya masing-masing, tak terkecuali Ayana. Namun dia harus menghadap sang direktur terlebih dahulu. "Kenapa dengan kinerjamu hari ini? Bukankah pegawai teladan seharusnya tidak telat disaat jam meeting?" tanya Brian langsung begitu Ayana sudah ada di dalam ruangannya. "Maafkan saya, Direktur," ucap Ayana terlebih dahulu sadar akan kesalahannya. "Saya tidak akan mengulanginya lagi," lanjut dia. "Seharusnya kau bisa mempertahankan kedisiplinanmu! Juga materi pokok hari ini, bukankah tim marketing yang meng-handle? Karena kau telat aku terpaksa ambil alih, beruntung proposalmu sudah memenuhi standar penilaianku," omel Brian panjang lebar. Ayana hanya mengangguk dan meminta maaf kembali atas kelalaiannya. "Sekali lagi maafkan saya, Pak Direktur. Saya tidak tahu kenapa hari ini mengantuk sekali." "Itu bukan urusanku. Aku hanya ingin pekerjaanmu selesai tepat waktu!" sekali lagi Brian menegaskan. Ayana semakin tertunduk. Kemarin saat Brian menawarkan bantuan kepadanya mengapa terlihat begitu peduli. Namun saat ini dia terlihat lebih menakutkan dari sebelumnya. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam menusuk. "Ba-baik, Pak. Saya mengerti." "Kenapa kau selalu saja menunduk?" sahut Brian mengerutkan keningnya. "Eh?" respon Ayana bingung. Tentu saja dia tidak akan berani mendongakkan kepalanya pada atasan. Apalagi dirinya tengah diceramahi. "Apa aku harus mengulangi ucapanku?" suara Brian tampak semakin dalam. Membuat Ayana bergidik ngeri. "Ma-maaf, Pak. Saya tidak akan berani," sela Ayana dengan cepat. "Angkat kepalamu! Apa tengkukmu tidak sakit sepanjang bicara denganku terus menunduk?" Brian kembali melunakkan suaranya. Ayana memberanikan diri untuk menatap sang atasan. Benar-benar pria yang susah ditebak. Tiba-tiba marah, tiba-tiba juga berubah baik dalam sekejap. Bahkan wajah tampannya tetap terlihat menawan saat rahangnya mengeras. Brian memperhatikan garis wajah Ayana yang tampak lesu. "Apa kau tidak sehat? Wajahmu sangat pucat?" tanya Brian. "Saya baik-baik saja, Pak. Hanya ada sedikit masalah dengan perut saya," jawab Ayana dengan pelan. "Baiklah. Aku harap kau tidak melakukan kesalahan yang sama seperti tadi. Supaya tidak menjadi contoh buruk bagi pegawai lain," sela Brian dengan santai. "Baik, Pak. Saya akan mengingatnya," balas Ayana. "Kau boleh pergi sekarang." Brian melambaikan tangannya ke udara. "Saya permisi." Membungkukkan badan dan berbalik keluar dari ruangan Brian, Ayana segera kembali ke tempat kerjanya. "Bagaimana? Apa Direktur memarahimu? Atau memberimu skors? oh atau lebih buruk lagi, me-me-cat-mu!" pekik Chaca sembari menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah saat Ayana baru saja duduk. "Ssst. Kau ini berisik sekali. Belum juga aku jawab, udah nyerocos mulu," sewot Ayana kesal. "He he… ya maaf, aku khawatir padamu," bujuk Chaca merayu. "Direktur hanya memarahiku, tidak sampai memecatku, entahlah mungkin aku masih beruntung," balas Ayana meletakkan kepalanya di meja. "Fuih." Terdengar helaan nafas lega dari mulut Chaca. "Syukurlah. Aku ikut senang." "Ayana!" panggil Pak Handy yang tengah mengawasi beberapa pegawai. "Ya, Pak!" seru Ayana segera menegakkan badannya saat mendengar suara atasannya. "Bagaimana bisa kau terlambat sampai hampir satu jam lebih? Biasanya kau tidak pernah seperti ini. Jangan membuat Direktur baru kita marah. Aku baru saja memujimu di hadapan Pak Direktur kemarin, dan sekarang kau sudah membuat kesalahan," omel Pak Handy panjang lebar. Sudah dua kali Ayana mendapat peringatan pagi ini. Terlebih lagi dia belum sarapan sama sekali. Perutnya kembali mual tak tertahankan. "Baik, Pak Handy. Maafkan saya," jawab Ayana pasrah. "Jangan diulangi lagi," balas Pak Handy kemudian pergi meninggalkan meja Ayana. Chaca yang mengerti perasaan Ayana segera menepuk-nepuk bahunya memberi semangat. Tiba-tiba perutnya kembali bermasalah. Rasa mual semakin tak tertahankan. Dia pun segera berlari ke kamar mandi supaya tidak mengganggu pegawai lain. "Huek… huek… huek." Ayana merasa tubuhnya begitu lemas. Padahal tadi pagi dia hanya makan buah. Karena tidak ingin sarapan berat. Perutnya menolak segala jenis makanan yang berbau karbohidrat. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Seseorang sedang menunggunya. Bersambung ..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN