"Tak perduli seberapa kuat, aku mempertahankanmu. Nyatanya, kamu memilih yang lain. Tak apa. Sebab kamu telah mengajarkanku untuk kuat bertahan tanpamu."
Ardina Wirasatya
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
"Curuut! Kasih liat napa!" Bisiknya pada gadis yang duduk di bangku sebelahnya.
Gadis itu mendengus seketika. Memiringkan kertas jawabannya ke arah Dina sambil jengkel menatap gadis itu. "Lu ngapain aja sih semalem? Kagak belajar?"
"Tarawehan!" Ketus Dina sambil fokus menyalin jawaban. Sesekali gadis itu mengintip asisten dosen yang sedang mengawasi ujian mereka.
"Halaah. Paling nangisin si Pras lagi yak?" Ledeknya yang membuat Dina melotot seketika.
"Ogah banget nangisin dia. Kayak gak ada cowok laen aja!" Songongnya.
"Emang gak ada!" Ledek gadis itu--Shally. Ia terkikik saat wajah masam milik Dina muncul. "Eh tapi semalem gue liat dia lewat tauk! Rumahnya kan gak jauh dari rumah gue. Kayaknya abis tarawehan bareng sama ceweknya. Soalnya dia pakek baju koko gitu." Shally memancing-mancing.
Dina terpancing sih. Tapi gengsi mengakui. Gadis itu hanya mendengus sebagai balasan. Seolah-olah gak ada yang berkobar di d**a mendengar mantan jalan sama pacarnya.
"Lo gak kayak dia kan?"
"Siapa? Pras?"
"Bukanlah."
"Ooooh si itu?" Shally baru nyambung. Ia baru paham, siapa yang dimaksud Dina. "Gak lah. Ngapain gue suka sama Pras?"
"Ck!" Dina berdesis. "Bukan gitu konteksnya!" Dina mulai kesal karena kode-kodenya gak berhasil. Shally yang loading lama itu memang ujian hidup baginya.
"Oooh...." ia baru paham lagi. "Gue mana suka tampang-tampang cowok kurus model Pras gitu!" Tuturnya menggebu-gebu. "Gue kan demen yang cool kayak sepupu lo yang i--"
"Farrel maksud lo?"
"Nah itu!" Shally terkikik-kikik. "
"Farrel mana demen sama cewek pecicilan dan lola kayak lo!" Ketus Dina yang membuat Shally merajuk seketika.
"Gak gue kasih nih jawabannya! Gue tarik lagi nih!" Ancamnya yang sukses membuat Dina kelabakan seketika.
"Ah lo mah gitu ngancemnya. Gue takut dapet D nih. Entar bisa dicekik emak gue!" Tuturnya sambil mengomel. Selintas wajah sangar dan seramnya Aisha muncul di benaknya. Baru selintas memikirkannya saja, bulu kuduknya langsung merinding. Memang yah, Mamanya itu punya aura yang bisa membuat ia dan Ardan takut seketika.
Shally hanya bercanda. Lagian, ia mana tega pada Dina seketus apapun omongannya. Gadis itu blak-blakan bukan diam-diam menghanyutkan. Lagi pula, ia juga tidak suka tipikal cowok yang disukai Dina. Cowok plin plan macem Pras ya lewat aja kali!
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
"Langsung pulang?" Shally bertanya ketika mereka baru saja keluar dari kelas.
"Males sih sebenarnya," Dina menimbang-nimbang. Jam sepuluh gini, rumahnya pasti sepi. Paling-paling pulang ke rumah Omanya. Tapi ia sedang malas kesana. Entah kenapa. Padahal tadi pagi, Aisha sudah menitip pesan untuk pulang ke rumah Oma saja.
"So? Lo mau pulang apa kagak nih? Gue mau pulang soalnya. Kasian adek gue sendirian di rumah," ucap Shally sambil mencari-cari kunci motornya.
"Yaaaah, lo gak mau jalan sama gue nih?" Dina mencebik. Merajuk beneran. Pasalnya, selain Shally, siapa lagi yang akan menemaninya? Farras? Gadis itu masih sekolah jam segini. Rain? Sama juga.
"Bosen kali jalan sama lo!" Ketus Shally dengan nada bercanda. Gadis itu terkikik. "Jadi gimana nih? Lo mau pulang atau gimana? Gue buru-buru nih!"
Dina memonyongkan bibirnya. Sebal karena Shally memilih pulang dari pada menemaninya. "Ya udah sono-sono pulang lo!" Usirnya yang disambut tawa Shally.
"Bye, jombs.....!" Ledeknya lalu terkikik-kikik sambil berlari menuju parkiran sebelum digaplok Dina.
"Kayak dia gak jomblo aja!" Keluhnya lalu berbalik namun degup jantungnya seolah berhenti sesaat. Seolah dunia berhenti berputar untuk sejenak. Setidaknya bagi dua orang yang dulu pernah saling berhubungan.
Dulu, boleh jadi, Dina selalu merindukannya.
Dulu, boleh jadi, Dina selalu membayangkannya.
Dulu, boleh jadi, senyum Dina miliknya.
Tapi kini? Semua berbeda. Semua sudah berlalu. Begitu saja. Hanya dalam sekejab mata, semua berakhir. Tanpa perlu mengingat kapan pertama kali dimulai.
"Din...."
Raaanya Dina ingin menangis sekarang. Tangannya sampai bergetar menahan asa yang sesak di dalam hati. Paru-paru meremas sisa oksigen yang ada berharap bisa bernafas seperti biasa. Tapi nyatanya? Tidak.
"Maaf....," lelaki itu bertutur penuh rasa bersalah. Kata maaf yang terus membayang dibenak Dina. Maaf untuk masa lalu yang indah. Maaf untuk mengakhirinya. Maaf untuk kepedihan yang tersisa.
"PRAS!"
Dan gadis lain memanggil. Penuh kekagetan ketika sadar akan punggung gadis yang sedang ditatap pacarnya. Sahabat. Itu katanya. Tapi nyatanya?
Dulu boleh jadi, Dina pernah merasakan cinta dan bagaimana rasanya dicintai lelaki itu. Dulu boleh jadi, Dina sangat percaya pada perempuan yang katanya sahabat itu. Tapi itu dulu. Lalu kini? Dina rasanya ingin tertawa dibanding harus menangis di hadapan mereka. Bukan gengsi untuk mengakui betapa ia patah hati karena pacar yang lalu jadi mantan dan ditikung sahabat sendiri. Tapi....ia hanya tak ingin merendahkan harga dirinya di hadapan orang yang tak tulus. Namun sialnya, hati tak pernah pandai berkhianat. Nyatanya, air matanya mengalir deras tanpa bisa ia hentikan. Air mata untuk sebuah cinta yang kemudian dikhianati sahabat sendiri. Sakit? Jangan ditanya. Dina sudah tak kuat menahannya namun ia dipaksa berdiri di antara dua orang ini. Dua orang yang tak ia inginkan untuk bertemu kembali.
Namun kita tak bisa menyalahkan cinta. Sebab cinta itu hubungannya dengan hati. Siapa yang akan tahu kemana hati ingin singgah? Begitu juga cinta perempuan yang katanya sahabat itu. Dia juga tak akan tahu bahwa hati memiliki kecenderungan pada orang yang sama. Orang yang juga dicintai Dina. Dina tak berhak memaksa ia untuk mencintai orang itu kan? Atau dengan nama sebenarnya, Pras.
Pras juga tak pernah tahu bahwa hati itu bergerak dinamis. Bukan statis. Ia bisa berubah. Hati bisa mencintai siapa saja yang ia inginkan tanpa pernah diminta. Iya kan? Begitu pula yang dirasakan Pras. Mana ia tahu bahwa lama kelamaan cinta pada Dina pudar namun tumbuh cinta yang lain dihatinya? Cinta pada perempuan yang katanya sahabat pacarnya?
Mereka tak pernah tahu kapan dimulai. Tapi mereka baru menyadari setelah sekian lama pertemuan itu ternyata menyatukan. Lalu ada celah untuk bisa bersama meski harus mengorbankan hati yang lain. Hati Dina yang menjadi korbannya. Korban perasaan perempuan lain dengan lelakinya. Ah...bukan .....tapi mantannya.
Apa Dina berhak menyalahkan sahabat yang menikung pacarnya?
Mungkin bagi Dina, iya. Lalu apa perempuan itu tak punya hak untuk jatuh cinta? Sekali pun jatuh cinta itu pada pacar sahabatnya sendiri? Lalu apa Pras tak punya hak untuk memilih? Perempuan mana yang benar-benar ia cintai?
Dilema bukan?
Disini bukan tentang siapa yang benar dan siapa yang disalahkan. Disini belajar untuk melihat keseluruhan sudut pandang. Bagaimana jika kalian di posisi Dina? Sakit? Pastinya. Siapa yang tak sakit diputus pacar karena sahabat? Siapa yang tak sakit melihat mantan ditikung sahabat?
Tapi salah kah perempuan itu? Perempuan yang tak bisa mengendalikan hati kemana ia ingin singgah? Salahkah jika mencintai orang yang menjadi pacar sahabat? Lalu salah kah Pras? Salah kah Pras yang tak ingin mengecewakan Dina supaya tak terlalu dalam mencintainya sebab hatinya sudah tak seperti dahulu?
Waktu. Kini Dina hanya perlu untuk cepat berlalu dan cepat melupakan.
"Jagain sahabat gue," itu pesan Dina ketika kaki memutuskan untuk pergi melangkah.
Tuhan.... kalau lah bisa memilih, ia lebih memilih untuk mencintai satu lelaki setelah tahu bahwa sahabatnya sendiri mencintai lelaki itu juga. Sehingga ia bisa menahan diri dan perasaan. Meski cinta adalah hak asasi. Tapi Dina memilih mengalah demi sahabat dari pada menikung tak sehat.
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Ardan hanya bisa menghela nafas ketika punggungnya menjadi tempat bersarang air mata dicampur ingusnya Dina. Belum lagi upil yang turut mengalir dan kini menempel di kaos putih yang dikenakan Ardan. Bocah itu sudah pasrah walau geli juga karena punggungnya basah. Namun ini lebih baik dibanding ia melihat Dina menyembunyikan diri dibalik kamar. Sebab Dina yang seperti itu tak asyik baginya. Ia lebih senang mendengar bully-an Dina atau lebih baik ia yang di-bully juga tak apa-apa. Dari pada melihat wajah kusut kembarannya dan air mata serta ingus yang merembes kemana-mana.
"Din....," rasanya Ardan geli saat memanggil Dina dengan nama. Jujur saja, ia hampir tak pernah memanggil Dina dengan menyebut namanya. Biasanya untuk memanggil Dina, ia menarik rambutnya atau menuil dengan kakinya ketika gadis itu sedang tiduran di lantai atau menyekap Dina dengan keteknya hingga gadis itu berteriak-teriak.
"Lo sakit gak waktu ditolak Tatal berkali-kali?" Dina mengabaikan Ardan yang memanggilnya dengan melempar pertanyaannya yang lain. Sementara Ardan mendengus sebal. Kenapa 'berkali-kali'-nya harus disebut juga? Itu kesannya gak tahu malu banget! Tapi ya...gimana? Emang gak tahu malu! Dan....Dan....
"Males gue," gerutu Ardan.
Dina menyemburkan ingusnya hingga mengundang bunyi 'srooot' itu benar-benar membuat Ardan ingin mendorong Dina dari motornya kalau saja Dina tak sedang patah hati begini.
"Jorok lo ah!"
"Bodo!" Ketus Dina lalu menarik kaos Ardan dan dijadikan tempat bersarang ingusnya. Ardan teriak-teriak geli. Hal yang mengundang kekehan Dina. Sadar kalau kelakuan gelinya itu berhasil mengundang tawa Dina, Ardan tersenyum tipis. Senyuman yang lagi-lagi mirip dengan Wira. Namun dengan versi yang lebih manis dan tak cool sama sekali.
"Sekali lagi lo sro--"
Belum juga Ardan selesai ngomong, Dina sudah mengeluarkan jurus srot ingusnya yang kemudian menempel di dekat pundak Ardan hingga membuat lelaki itu geli dan jumpalitan di atas motor. Gadis itu terkikik sambil puas mengerjai Ardan dengan ingusnya. Tanpa tahu bahwa Ardan pura-pura geli walau yah agak geli juga sebenarnya dengan ingus-ingus itu tapi ia menahan diri. Baginya tawa Dina lebih penting dari pada kegeliannya pada ingus-ingus itu. Yah setengil apapin Ardan, sekalipun terlihat kasar atau tak perduli, nyatanya yang namanya saudara itu tak bisa dipungkiri. Rasa sayang itu ada namun setiap orang berbeda dalam menunjukannya. Sama halnya dengan Ardan.
Din, jangan nangis lagi ya.....
Pesannya yang diiringi tawa Dina yang terbahak-bahak di belakangnya.
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Ketika patah hati inilah Dina belajar. Tentang sahabat yang sesungguhnya. Walau kita tak bisa menyalahkan atas perasaan yang dimiliki seseorang. Tentang kesetiaan yang tak bisa diukur hanya dengan seberapa banyak bilang cinta atau sayang. Tentang kepercayaan yang dikhianati oleh orang paling dekat ternyata sangat menyakitkan.
Ketika patah hati inilah Dina belajar bagaimana untuk bangkit dan menguatkan perasaan. Belajar bagaimana untuk tak membenci seseorang walau rasanya ingin sekali.
Namun tak ia lalukan. Hatinya sudah cukup picik karena sering mengerjai Ardan. Ia tak perlu menambahkan kepicikan untuk itu. Ia hanya ingin kedamaian hati walau sulit sekali menerima kenyataan.
The End