Dear Mantan: Mantan Playboy

1855 Kata
"Laki-laki yang ku kira playboy kacangan itu ternyata suamiku yang kini penyayang sekali." Calista Anggraina ♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡ "Aduuh duuh duuh sepupunya aku yang cantiiik," Tiara membuat gaduh. Ia langsung menyongsong Falista begitu masuk ke dalam rumah. Bayi mungil itu langsung jejingkrakan menyambut Tiara.  Fadli yang baru bangun dari tidur siangnya langsung berdecak begitu mendengar suara itu. Haaaah! Mengganggu saja, pikirnya. Itu bocah pasti mau menagih oleh-oleh darinya. "Tata cendirian yah? Aduuuh kaciaaan. Main cama kakak Aya yang cantik yuuk yuuk yuuuk!" Rayunya lalu mengambil Falista dari gendongan Caca. Wanita itu hanya terkekeh. Bersyukur karena tampaknya Tiara sudah keluar dari fase galaunya. Setidaknya lebih baik dari yang kemarin. Walau Caca tahu, setelah ini Tiara pasti akan kembali pada ketidakwarasannya (sebut: normal). Falista yang tahu mau diajak main, tentu saja gembira. Padahal, Tiara cuma modus saja membawa Falista untuk membangunkan sang ayah. Hal yang membuat Fadli punya feeling tidak enak seketika. Perasaannya memang selalu tak enak jika menyangkut gadis itu.  "Bangunin ayah Tata yuuuuk?" Ajaknya sambil menuil-nuil pipi tirus Falista. Bayi setahun itu terkekeh. Hal yang membuat Tiara gemas. Ia mencium-ciumi pipi Falista hingga bayi itu terpingkal-pingkal. "Duuh liat kamu gini jadi pengen punya dedek lagi deeeh!" Serunya sambil berjalan menaiki tangga. "Bikin aja lagi, kak! Sama siapa gituuuu!" Rain yang sedari tadi fokus pada games di ponselnya menyahut. "Enak aja! Dikira binatang apa!" Tiara menjawab sebal namun dengan gaya centil. Hal yang disambut gelak tawa Caca dan Rain. Gadis itu tiap datang ke rumah memang selalu membuat gaduh dan menaikan tekanan darah Fadli. Lelaki itu bisa mendadak terkena hipertensi karenanya. Parahnya, Fadli bisa kena stroke seketika. Sementara bagi Rain dan Caca, kehadiran Tiara menjadi hiburan tersendiri. "Ayaaaaaah!" Tiara memanggil manja. Itu juga karena ada maunya. "Tataaaa nih...mau ajak jalan-jalan yaaaaa, Taaaa?" Ia mengetuk-etuk pintu. Fadli langsung nungging dan menyembunyikan diri dibalik selimut. Ogah melihat muka Tiara yang menyebalkan itu. Tapi kini ia kena batunya, masalahnya Falista mulai terlihat centil seperti Tiara. Jadi inget nasehat Caca dua tahun lalu saat masih mengandung Falista. Wanita itu menyuruhnya untuk tak sebal pada Tiara yang memang nyebelin itu, supaya anak mereka tak seperti Tiara. Tapi lelaki yang berpikir logis seperti Fadli mana percaya? "Ooooom ganteeeeeng!" Kali ini lebih centil dan lebay. "Buka aja, Ya, pintunya!" Caca menyuruh lalu terkikik bersama Rain di bawah sana. "Oohooo gak disuruh juga, Tiara buka kok, Taaaan. Tadi intro duluuu," kilahnya yang makin menimbulkan gelak tawa. "Ooooooom! Tiara mau nagih utang nih! Siapa suruh janji sama Tiara?! Pakek ngutangin jas lagi ke Tiara!" Ia mendadak sewot saat melihat Fadli pura-pura tidur setelah membuka pintu kamarnya. "Ayaah!" Suara kecil Falista memanggil. Bayi itu nyaris melompat kalau saja tak dipeluk erat oleh Tiara. "Nih! Bangunin ayahnya, deek! Suruh banguun! Terus solat gitu! Udah tua juga!" Tiara mengomel aambil menurunkan Falista dari gendongannya ke atas tempat tidur.  Falista langsung menyerang ayahnya. Memeluknya dengan erat lalu mencungkil-cungkil mata Fadli dan mencabut bulu hidungnya. Hal yang membuat Tiara terbahak seketika sementara Fadli bersin-bersin. Bayi itu tertawa saat melihat mata Fadli terbuka namun ekspresi wajahnya amat sangat senewen. "Bulu keteknya belum, deek! Bulu keteknya tariik!" Tiara mengompor. Fadli langsung melotot dan gadis itu terbahak lagi. Falista nyaris saja menarik bulu ketek Fadli kalau saja Fadli tak segera mengangkatnya ke udara. "Duit mana duit? Terus oleh-oleh buat Tiara mana?" Tiara langsung menagih. Fadli menghela nafas. Beranjak dari tempat tidur sambil menggendong Falista yang kini terkekeh-kekeh. Jemari kecilnya masih berupaya menggapai bulu ketek ayahnya. Entah kenapa, sejak diajari Tiara, bayi kecil itu suka sekali menarik-narik bulu ketek Fadli. Apalagi kalau tidur bersama Ayahnya. "Oleh-oleh ada dibawah noh. Tanya sama tantemu aja." Jelas Fadli sambil mengambil dompetnya. "Berapa?" Lelaki itu bertanya harga jas yang dipesannya kemarin. Tiara terkekeh centil seketika. Matanya terang-terangan menatap isi dompet Fadli yang tebal. "Semuanya juga boleh, Om! Tapi gak pakek KTP sama dompetnya!" Ucapnya lalu terkikik centil. "Anaknya siapa sih kamu?" Fadli senewen. Ia menghitung-hitung jimlah lembaran-lembaran merah di dompet. Saat mencapai hitungan ke lima belas, ia serahkan pada Tiara. "Anaaaaaaknyaaaaa Daddy Feri sama Mommy Saraaaaa doooong!" Serunya lalu menarik pipi Falista. Tak lupa mencabut bulu ketek Fadli daei tadi melambai-lambai. Lalu berlari kencang, keluar dari kamar usai mendengar teriakan kesakitan Fadli karena bulu keteknya dicabut tanpa perasaan. Gadis itu terbahak-bahak sambil pamit pada Caca dan Rain. Rain tak kuat menahan diri untuk tak tertawa bahkan sampai saat mobil Tiara meninggalkan rumahnya. Kakak sepupunya yang satu itu memang paling menyebalkan namun juga menghibur. "Gadis yang satu itu...," Fadli mendumel sambil menuruni tangga. Tampangnya hancur-hancuran, boxer kemana-mana dan kaos putih yang tak beraturan. Belum lagi rambutnya yang seperti semak-semak tak beraturan. Wajah kusut dan teraniaya itu membuat Rain makin tak bisa menghentikan tawanya. "Tapi mendingan deh, Yah. Dari pada kemarin-kemarin galauaaan mulu." Tutur Rain ditengah tawanya. "Ya sih," Fadli setuju juga walau agak sebal karena ujung-ujungnya dia yang dikerjai gadis tengil itu. Tapi, mau sedang patah hati atau tidak pun sama saja. Tiara akan sama tengilnya kalau sudah bertemu dengannya. "Nih gendong Tata dulu. Ayah mau mandi dulu," tuturnya kemudian lalu menyerahkan Falista pada Rain. Gadis itu menyambut adiknya dengan ciuman semuka-muka. Bukannya menangis, Falista malah kegirangan. "Fa, abis mandi keluar yah? Beliin kue sama es kelapa. Tadi Fasha nitip itu," tutur Caca. "Terus Fasha kemana?" "Tadi ditarik-tarik Dina. Diajak jalan." Fadli mengangguk-angguk dengan muka kantuk. Lalu berjalan menaiki tangga. Kembali ke kamar mereka. Sementara Caca menyimak kelakuan suaminya yang akhir-akhir ini rada serius. Mungkin efek usia atau memang sedang ada masalah di kantor, Caca tak tahu juga. Tapi kemenelannya berkurang pesat. Bahkan sejak dua tahun lalu, lelaki itu kerap sekali menatapnya lekat tanpa berkedip-kedip. Sudah tak pernah menatap perempuan lain atau sekedar mencuri pandang bahkan menggodanya. Namun sialnya bagi Fadli, Caca malah risih ditatap-tatap seperti itu olehnya. Wanita itu tak terbiasa menerima tatapan yang menurut Caca itu bukan khas suaminya tapi kakak iparnya--Fadlan. ♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡ "Tumben gak siul sana sini, Yah!" Rain angkat bicara.  Sore ini, ia, Falista dan Rain yang berjalan ke pasar ramadhan dan membeli beberapa makanan untuk berbuka puasa. Gadis itu bertanya sambil memainkan ponselnya. Bukan bertanya lebih tepatnya, tapi komplain karena ayahnya tak menel seperti biasanya. "Ayah siul salah. Enggak juga salah!" Cibir Fadli sambil menggendong Falista. Lelaki itu terlihat keayahan sekali kalau seperti ini. Jadi cool gitu! Tapi masih kurang cocok karena pembawaannya tengil dari lahir. "Takuuut dicuekin ibuuu yaaaaaa?" Rain terkikik-kikik. Fadli mendengus lalu menciumi Falista hingga bayi itu tertawa terbahak-bahak. Entah lah. Ia juga tak mengerti kenapa tingkat kemenelannya dan ketengilannya berkurang sejak bayi perempuan digendongannya ini hadir. Mungkin ada benarnya ucapan Caca waktu itu yang bilang, supaya ia tak menel-menelin perempuan lain agar anaknya tak diperlakukan seperti itu. Aaah...memgingat itu, ia jadi ingat anak sulungnya. Gadis itu sudah diam tambah diam pula semenjak ditinggal Adit. Walau yah....ia tak tahu permasalahannya. Tapi ia kesal juga pada Adit. Dari dulu juga kesal dan memang tak suka sih pada bocah lelaki yang satu itu. Namun saat tahu bahwa anaknya benar-benar menyukai lelaki itu, Fadli makin senewen. Sebab ketika Fasha sudah jatuh cinta, Adit malah menyerah dan meninggalkan anaknya. "Kakakmu masih suka ngintipin Adit di medsos?" Rain angkat bahu. Tak tahu menahu perihal itu. Sebab Fasha sangat tertutup soal perasaannya. Bahkan ketika patah hati pun, Fasha gak mau jujur. Gadis itu memilih diam dan menyimpannya sendirian. "Begitu lah, Yah. Batu ketemu batu!" Ucap Rain yang mengundang tawa Fadli. Lelaki itu merangkul anak gadisnya. "Makanya, ayah bilang juga apa. Mending sekolah dulu diseriusin baru abis itu cowok yang diseriusin." "Ayah lagi nasehatin Rain atau kak Fasha nih?" Pertanyaan itu membuat Fadli senewen. Sementara Rain terkikik geli. "Dua-duanya lah. Anak ayah pokoknya jangan ada yang pacar-pacaran dulu!" "Halaaah ayah sok-sokan nasehatin padahal dulu--" "Ya kan dulu." Fadli memotong dengan gemas. "Boleh dong, ayah pengen anaknya lebih baik dari ayahnya?" Ia berucap serius. Bukannya ditanggapi serius juga oleh Rain, gadis itu malah terbahak.  "Duh, yah....jangan kayak Om Fadlan deh! Gak cocok sumpah!" Somplaknya lalu terkikik-kikik. Kabur dari pandangan ayahnya sebelum telinganya ditarik Fadli. Fadli menghela nafas. Ia bukannya mau sok nasehatin atau sok serius seperti saudara kembarnya. Tapi ia hanya ingin sekali-kali anaknya menanggapinya. Tapi mungkin salahnya juga yang sejak dulu tak pernah serius dalam menasehati Rain dan Fasha. ♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡ "Tadi ayah godain siapa aja di pasar?" Rain yang baru saja tiba, langsung ditodong pertanyaan yang membuatnya terbahak seketika oleh ibunya yang sedang berdiri sambil memegang wajan penggorengan. "Kali ini gak ada, buuu! Gak tahu deh kalau besok!" Rain menjawab santai. Fadli yang mendengar pertanyaan itu langsung geleng-geleng dramatis dan memasang wajah terzalimi sedunia. "Teganya, hoon. Gak percayaan sama suami!" Ucapnya lebay. Caca terkikik-kikik saja mendengarnya. Lelaki itu kan memang lebay! "Kayaknya kepala Ayah waktu di Jerman kemaren, kejedot apa gitu, buuuuuk!" Caca terbahak lagi. "Masya Allah....," Fadli mengelu d**a. "Kejedot cinta lah...cintanya ibuu kamuuu," gombalnya kumat lagi. Wajah tengilnya muncul. Matanya mengedip-edip nakal. Caca yang tadi terbahak langsung mencibir kelakuannya. Sementara Rain masih terkikik-kikik. Tak ada ayahnya di rumah hampir seminggu kemarin rasanya sepi sekali. Pasalnya, tak ada yang di-bully. "Ibuuu ibuuuu, kok mau sama ayah?!" Rain geleng-geleng. Kadang gak habis pikir juga kenapa dua orang yang sangat berbeda ini bisa bersatu. Selayaknya ia dan Fasha. "Mau lah. Orang ganteng!" Tutur lelaki itu. Narsisnya kumat. "Kayaknya ayah kamu ke tuker deh, Rain." Kali ini Rain terpingkal-pingkal di lantai. Ibunya sekali melucu emang sangat mengocok perut. "Haaah sudahlah. Sudahlah.....," Fadli senewen sendiri. Percuma membela diri karena pada akhirnya akan tetap sama. Tetap di-bully. ♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡ "Gak tidur?" Fadli tiba-tiba muncul. Lelaki itu menghela nafas saat melihat Fasha yang sedang menulis sesuatu namun langsung menutup bukunya saat melihat kehadirannya. Lalu gadis itu menggeleng lemah dan menunduk. Caca yang menatap Fadli dari lantai bawah langsung terenyuh. Ah....biar kadang-kadang narsis, tengil bahkan mungkin tidak waras, ia perhatian sekali. Walau yaaah....keperhatianannya itu sering dicandai oleh Rain. Tapi Caca tahu, Fadli tidak main-main jika sudah menyangkut anak. "Gak belajar?" "Uasnya udah selesai, Yah." Tutur gadis itu lalu menyimpan bukunya dilaci dan mengunci lacinya dengan gembok kecil. Ia berjalan menuju tempat tidurnya. Agak tak nyaman akan kehadiran ayahnya. Walau ia tahu bahwa sebenarnya Fadli hanya ingin tahu kondisinya. Tapi, ia memang sulit menanggapi ayahnya dengan hangat. "Berarti besok gak ke kampus?" "Enggak, Yah." Caca menguping di depan pintu kamar sambil menutup mulut Falista yang berceloteh. Wanita itu fokus mendengarkan obrolan sepi di dalam kamar Fasha. "Ayah boleh minta sesuatu gak?" Fadli mencoba mendekati Fasha. Mencoba membuka hatinya untuk mau bercerita padanya. Sesedikit apapun ceritanya sudah amat sangat membahagiakan Fadli. Sebab seumur hidup, gadis itu tak pernah bercerita apapun padanya. Apalagi soal Adit. Boro-boro soal Adit malah, soal sekolah saja enggan. "Apa, Yah?" Fasha bertanya sambil pura-pura menguap. Itu triknya untuk mengusir Fadli secara halus. Walau yah....merasa bersalah juga melakukan itu. Tapi ia memang sedang tak ingin diganggu sekarang.  "Belajar yang benar lalu bantu ayah di kantor." Ucap lelaki itu serius. Ekspresinya menunjukan keseriusan yang mendalam. Jika saja Fasha tahu, ia pasti baru sadar kalau wajah serius itu mirip sekali dengannya. "Kalau bukan kamu, siapa lagi yang bantu ayah di kantor?" Lanjut Fadli yang membuat Caca terenyuh dan berkaca-kaca. Caca tahu, itu hanya cara Fadli untuk membuat Fasha lebih terbuka padanya. Cara Fadli untuk mengalihkan pikiran Fasha dan tidak hanya berpikir tentang Adit saja. Fasha masih punya masa depan yang panjang. Fasha punya keluarga yang sangat menyayanginya. Terlebih ayah yang sangat hebat meski terkadang tengil dan terlihat tidak waras. Tapi itulah Fadli yang apa adanya. "Mau ya?" Lelaki itu meminta. Mana mungkin Fasha menolak. Wajah dinginnya itu pun nyaris dipenuhi air mata. Entah kenapa, Fasha nampaknya terpesona sekaligus haru melihat ayahnya ternyata bisa cool juga. Gadis itu mengangguk lemah tanpa berani menatap mata ayahnya. Sementara Fadli tersenyum tipis lalu dengan semangat menyelimuti Fasha dengan selimutnya. Mengelus kepala gadis itu dan mematikan lampu kamarnya. Lalu keluar dan disambut peluka oleh Caca. Aah....makin cinta rasanya Caca padanya. The End
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN