Tujuh

1042 Kata
Setelah mati-matian membujuk Klarisa bahwa semuanya akan baik-baik saja dan Eric pasti bisa dengan mudahnya belajar bahasa Inggris, disini lah Damian, berkutat dengan notebook miliknya dan sesekali membaca beberapa laporan yang memerlukan tanda tangan dirinya. Ia sangat menyukai jika pekerjaannya banyak, namun kali ini ia mendesah kecewa karena hari ini tidak terlalu banyak dokumen yang harus ia periksa ulang. Ia mengerjakannya dengan teliti, sesekali pikirannya mengingat Klarisa. Ah gadisnya yang menyebalkan. Ia teringat apakah Klarisa berhasil dengan masakannya? Apakah Klarisa dapat dengan baik mendengarkan instruksi dari Eric? Drrttt.. Drttt... Semua yang Damian pikirkan buyar, ia menatap layar ponselnya yang bertuliskan 'mom'. "Halo, mom? Ada apa" "Damian, dia kembali." Damian mengangkat alisnya merasa bingung dengan ucapan disebrang sana. "Maksud mommy apa?" "Valleri, datang kerumah, ia ingin bertemu denganmu. Mommy sudah jelaskan kalau kamu sudah menikah, Mian. Tapi dia sulit untuk percaya hal tersebut." Napas Damian tercekat, matanya memerah menahan amarah. Gadis itu, gadis dengan segudang rasa egoisnya dan ketamakkannya membuat dirinya tersadar bahwa tidak ada wanita yang lebih baik dari Mommy nya. "Untuk apa mom? Aku benci dengannya." "Aku sudah menjelaskan nya, mian. Dia sekarang menuju ke kantor mu." "Baik mommy, ku sudahi telponnya, bye. Love you mommy." "Love u too, Mian. Jaga perasaan Klarisa, menantu mommy." Damian hanya berdehem dan mematikan sambungan telponnya. Ia memijat pangkal hidungnya. Apalagi ini? Gadis yang tiga tahun lalu mengisi hari-harinya, namun gadis itu juga yang menghancurkannya. Niat awalnya sih Damian ingin keluar dari ruangannya dan ingin minum di bar. Namun suara pintu yang terbuka ditambah sosok yang berjalan perlahan kearahnya membuat dirinya mematung. "Valleri?" Valleri Victoria. Gadis yang sempat bersama Damian selama satu tahun itu tidak pernah berubah. Ia selalu suka dengan lip mate bewarna tua, jangan lupa ia juga sering kali mengikat rambutnya menjadi satu. Dengan mata coklat pekat dan pipi yang tirus menjadi daya tarik tersendiri bagi gadis itu.   Valleri hanya tersenyum lalu berhambur memeluk tubuh kokoh mikik Damian, Damian yang memang masih mematung pun tidak memberontak namun juga tidak membalas. Ia masih terkejut dengan ini semua. "Aku merindukan kamu, sorry." Detik berikutnya, Valleri mencium bibir Damian dengan lembut. Damian yang terbuai karena Valleri merupakan cinta pertamanya membalas ciuman gadis itu dengan tidak kalah lembutnya. Menahan tengkuk gadis itu untuk memperdalam lumatan mereka.  Brak Terlihat jelas disana berdiri sosok Klarisa yang mematung dengan tubuh bergetar ditambah air mata yang pertama kalinya Damian melihat gadis mungilnya itu menangis. Sontak, Damian mendorong tubuh Valleri sampai bokongnya mencium lantai. Sudah dipastikan sakit. Klarisa menggeleng tidak percaya apa yang ia lihat. "Kamu jangan mendekat, Damian." Lirihnya sambil berusaha berdiri tegak walau sebenarnya ia tidak kuat. Damian menurut, ia diam sambil menatap Klarisa sebagai isyarat kalau ini semua tidak seperti yang ia lihat. Namun terlambat, Klarisa sudah berlari kencang meninggalkan dirinya yang kini menatap paper bag yang di jatuhkan Klarisa, beruntung tidak tumpah. Damian berbalik badan dan menatap tajam Valleri. "Keluar dari ruangan saya, atau saya akan membuat kamu di tarik paksa oleh penjaga keamanan di perusahaan ini?" Valleri tau jika gadis tadi adalah istrinya Damian, ia sengaja ingin menghancurkan hubungan mereka. "Akui saja, ciumanmu tadi pertanda kamu masih merindukan diriku, walau kamu sudah mempunyai seorang istri." Setelah itu Valleri keluar dari ruangannya, "See you, honey." Ucap Valleri sambil menutup pinti rungan Damian dengan sopan. Damian memijat pangkal hidungnya. Dan duduk kembali di kursi kerja miliknya. Lalu membuka perlahan apa isi dari paper bag itu. Ia merasa sangat bersalah mengenai kejadian beberapa menit yang lalu. "Lunch box?" Damian merasakan rasa bersalahnya berlipat ganda menjadi dua kali lebih menyesal di bandingkan sebelumnya. Ia yakin sekali ratatouille ini merupakan buatan istrinya itu. Bahkan Klarisa rela mengantarkannya untuk dirinya. Dan Damian tau ratatouille ini belum di icip sama sekali. "I hate my myself, i love you, Clay." ... Klarisa membuang ponselnya sembarangan melihat notifikasi dari Damian. Ia sudah tidak menangis, namun rasa sesak memenuhi rongga dadanya. Kini ia berada dirumah Paula, dan ia yakin Damian tidak akan pernah menemukan rumah sahabatnya itu. Tapi mungkin saja bisa, mengingat laki-laki itu punya banyak cara untuk melakukan apa yang diinginkan. Paula pun bingung dengan kehadiran Klarisa yang tiba-tiba. Datang kerumahnya dengan rambut yang berantakan dan mata yang sembab. Belum lagi gadis itu mengendarai mobil mewah ke rumahnya. Pikiran awal Paula, sahabatnya itu kabur dari rumah. Saat ia tanya pun Klarisa hanya diam lalu memeluk tubuhnya dan menangis di pundaknya. Dan kini, Klarisa hanya duduk diam di dekat jendela kamarnya. Sesekali gadis itu melirik kearah ponselnya yang terus saja berdering. Paula semakin khawatir, ia sudah memesan triple box pizza untuk mereka. "Setidaknya tolong ceritakan kamu kenapa, Cass." Klarisa membuang napasnya kasar. Ia kesal, sebal, dan tentunya marah. Bercampur menjadi satu. Ia tidak ingin melampiaskan pada sahabatnya, makanya ia ingin membiarkan moodnya membaik dengan cara diam dan meredam emosinya. Dam(n)ian❣️ Jawab pesanku, Clay Dam(n)ian❣️ Maafkan saya, pulanglah Dam(n)ian❣️ Saya merindukanmu Dam(n)ian❣️ Saya sudah memakan Ratatouille buatanmu, sangat enak, terimakasih Dam(n)ian❣️ Saya sangat menyesal. Cih Klarisa menatap sinis ponselnya yang menampilkan pesan dari Damian. Iya, benar memang penyesalan datang belakangan. "Shut up, jerk." Paula menghampiri Klarisa dengan membawa box pizza di kedua tangannya. "Makanlah, patah hati juga butuh energi." Klarisa mengangguk dan mulai melahap pizza yang diberikan oleh Paula. Ia sangat lapar mengingat dari pagi dirinya belum makan sama sekali, dan sekarang sudah pukul tiga sore, jangan di tebak berapa lama dirinya menangis.  "Damian mencium gadis lain, dan aku melihatnya sendiri." Paula yang sibuk dengan ponselnya pun membelalakkan matanya. Lalu menatap kearah Klarisa untuk meminta penjelasan yang lebih detail. Klarisa menceritakan semuanya mulai dari ia merengek kepada Damian yang ingin berangkat ke kantor, sampai ia mengantarkan masakan pertamanya selama menikah kepada Damian ke W'company. Sesak kembali memenuhi dadanya. Mengingat Damian yang sangat lembut mencium gadis itu. Ah, bahkan Klarisa tidak pernah diperlakukan seperti itu. Klarisa kesal dan cemburu! "Apa Damian tau kamu ada disini, Cass?" Tanya Paula menatap Klarisa dengan sorot mata khawatir.  Klarisa menggeleng, sambil terus mengunyah pizza-nya. Tatapan matanya menjadi kosong, ia bingung. Apa sifatnya ini terlalu berlebihan? Atau memang Damian pantas mendapatkan ini semua? Ah rasanya ia tidak tega pada laki-laki itu. Namun hatinya sakit, sangat sakit. "Baiklah, tidak apa-apa, Cass. Aku tau bagaimana perasaanmu. Jangan memberitahu siapapun jika kamu disini. Aku tidak membiarkan sahabatku disakiti olehnya. Kalau kamu sudah siap, temuilah Damian." Klarisa hanya mengangguk, perasaan lega karena sudah cerita dengan sahabatnya. "Terimakasih, Paula." Untuk banyak hal, Klarisa terlalu bergantung pada Paula. Kisah hidup dirinya, dari yang terkecil sampai yang besar, sahabatnya itu tau dengan sangat detail. Klarisa nyaman bercerita pada Paula, ya hanya pada Paula. Tidak, bukan berarti Vrans tidak tau apapun, laki-laki itu tau, namun tidak sedetail Paula.  Ia beruntung memiliki Paula. // Next chapter... ❤️❤️❤️❤️❤️❤️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN