Delapan

1195 Kata
Sore hari ini, Damian tengah kalang kabut mencari keberadaan gadisnya. Astaga Damian hampir gila! Pasalnya sudah ia cari di berbagai tempat, di rumahnya, dirumah orang tuanya, di rumah ayah Klarisa, dan juga di kampusnya, tidak ada jejak sama sekali. Saat ini ia berada dipinggir jalan, menepikan mobilnya sambil terus berpikir dimana Klarisa berada. Sudah hampir lima puluh lebih panggilan telpon yang ia luncurkan. Banyak pesan yang ia kirim untuk Klarisa. Yang ia dapatkan hanya panggilan tak terjawab dan pesan yang terabaikan. "Maafkan saya, saya sangat menyesal." Lirih Damian sambil menatap salah satu jarinya yang terpasang cincin pernikahan yang sudah beberapa hari ini melingkar disana. Sekali lagi ia menelpon Klarisa, ini terakhir kalinya sebelum ia memutuskan untuk mencarinya esok hari, karena saat ini sudah hampir memasuki petang hari. Telponnya hanya berdering, namun didering terakhir panggilan tersambung dan itu membuat kedua sudut bibirnya terangkat lebar. "Halo?" Damian menaikan sebelah alisnya. Ini bukan suara Klarisa. "Siapa?" Terdengar deheman dari sebrang sana. "Aku Paula." "Berikan ponselnya pada Klarisa." Kini Damian menggeram, ia kesal kenapa bukan Clay-nya yang mengangkat telpon? "Cass sedang mandi dan ia menyuruh ku untuk mengangkat telpon jika kamu menelpon kembali." "Oke." Damian mematikan telpon secara sepihak, ah bodohnya dia, kenapa tidak ada pikiran untuk melacak lokasi Klarisa lewat ponselnya? Bodoh. Begitu menemukan alamat yang di maksud, Damian menancap gas menuju deretan perumahan mewah yang lumayan jauh dari rumahnya dan Klarisa. Ia merasa Klarisa bodoh, kenapa harus kabur darinya? Tapi jelas-jelas disini ia lah yang paling bodoh. Bagaimana aku bisa sefrustasi ini?! Ternyata pintu gerbang rumah Paula sudah terbuka lebar dan terlihat mobilnya yang mungkin Klarisa kendarai sejak meninggalkan rumah mereka. Tidak ingin berlama-lama, Ia kembali menelpon Klarisa, namun tetap saja kembali Paula yang mengangkat nya. "Bawa Clay ke depan rumahmu, saya sudah ada disini." Lagi-lagi, Damian mematikan sambungan telpon secara sepihak tanpa mendengarkan Paula yang sebentar lagi akan teriak karena tindakan semaunya laki-laki itu. Damian kembali menempelkan ponselnya di telinga untuk menghubungi supir pribadinya untuk mengambil mobil kesayangannya. Karena Klarisa, akan pulang satu mobil dengan dirinya. Disisi lain Paula tengah kelimpungan. Ia berpikir keras bagaimana bisa ia terjerat masuk ke dalam hubungan sahabatnya dengan laki-laki tampan itu?! Lebih parahnya lagi Paula tidak tau harus berbuat apa supaya Klarisa turun menemui Damian. Klarisa menatap bingung Paula. Ia baru saja keluat dari kamar mandi dengan memakai baju hangat bewarna biru cerah. Paula bingung menatap sahabatnya. Bahkan setelah gadis itu menangis meraung-raung dikamarnya yang menghabiskan waktu sangat lama untuk sekedar menangisi Damian, mata gadis itu tidak terlihat sembab sama sekali. Bahkan terlihat fresh setelah habis mandi. "Ngantuk, mau tidur." Ucap Klarisa singkat yang tentunya membuat Paula semakin kebingungan. Dan Paula yakin Damian di bawah sana tengah mengumpati dirinya karena lelet sekali membawa Klarisa untuk bertemu dengannya. Lama-lama Paula bisa gila! Paula menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu mulai menyusun kata-kata apa yang tepat supaya Klarisa turun kebawah tanpa mencurigai dirinya sama sekali. Belum sempat Paula mengucapkan kalimatnya, suara berat sudah mengintrupsi pendengaran dirinya dan tentunya juga dengan Klarisa yang sudah menegang di atas kasur. Deg! "Ayo pulang. Saya hitung sampai tiga jika tidak beranjak saya akan lompat dari balkon ini!" Mengancam, heh? Klarisa terkejut? Tentu saja. Ia tidak ingin Damian kenapa-kenapa padahal Damian sudah menghancurkan hatinya untuk yang pertama kali selama ia menjalin hubungan dengan laki-laki itu. Paula yang mendengar itu merasa jengah, namun juga sedikit khawatir. Dan tetap saja walau Klarisa takut jika Damian benar-benar nekad, ia tetap tidak bergeming dari posisi terlentangnya. Bahkan ia sibuk menatap langit-langit kamar Paula yang dihiasi dengan art bunga sakura. "Satu.." Damian menggeram, ia kesal dengan Klarisa yang seolah-olah tidak peduli dengan ancamannya. Memangnya Damian terlihat bercanda? Mana ada laki-laki tampan dan mapan saat sedang marah terlihat bercanda? Tidak ada. "Dua..." "Dua setengah.." "Baiklah kamu yang memilih, Clay." Klarisa tidak sanggup bersikap seperti ini. Ia merasa seperti gadis bodoh karena kalah dengan perasaannya. Klarisa bergerak cepat sebelum Damian berbuat lebih lanjut. Ia memeluk erat tubuh Damian lalu menangis sesenggukan sambil meracau 'kamu jahat' dan memukul punggungnya. Damian lega sekali Klarisa bisa kembali memeluk dirinya. Ia juga rela jika Klarisa memukulinya habis-habisan, karena ini semua memang salahnya dan salah gadis s****n itu! "KAMU JAHAT, ORANG TUA!" Damian terkekeh dan mengusap sayang puncak kepala Klarisa lalu menciumnya. Klarisa sudah tidak memukulinya lagi, ia melemah, karena sudah hampir berjam-jam ia menangis. "Sana ih jangan di depan aku juga kali mesra-mesraannya, kaya tidak ada tempat lain saja, lebih parahnya malah di kamar aku." Ucap Paula yang merusak suasana karena tiba-tiba matanya sakit melihat pemandangan ini di depannya. Sangat tidak menghargai status singlenya. Klarisa menatap Paula namun ia tidak melepskan pelukannya pada Damian. "Cepatlah cari kekasih." ... Damian sangat bersyukur sekali kini Klarisa kembali kedalam dekapannya. Saat ini Klarisa tengah bergelayut manja sambil merapalkan kalimat 'Damian milik Klarisa' berkali-kali. Ia tau gadisnya itu mungkin trauma, tapi tidak apa bagai kesempatan dalam kesempitan, bukan? "Bibir saya habis di makan oleh gadis lain, apa kamu tidak ingin menghilangkan jejaknya?" Ucap Damian mengerling jahil. Ia hanya ingin mengerjai gadisnya, sumpah. Biasanya pipi Klarisa akan memerah seperti tomat dengan senyum malu-malu namun kali ini berbeda. Klarisa terlihat seperti lebih kearah cemburu? "Seharusnya tidak ada yang berhak nyentuh bibir kamu selain aku!" Dalam sekejap, Klarisa mencium bibir Damian membuat laki-laki itu sedikit kualahan. Damian tentu saja dapat mengimbanginya namun melihat Klarisa yang sudah hampir kehabisan napas dengan desahan kecewa ia melepas pangutannya. "Kamu agresif, siapa yang mengajarinya?" Klarisa hanya cengengesan. "Kamu". Gemas. Hanya itu yang dapat mendeskripsikan bagaimana perasaannya pada gadis itu. "Lapar.." kali ini Klarisa merengek seperti anak kecil. "Aku belum makan.." Bohong, padahal ia sudah makan pizza triple box dengan Paula masalahnya perutnya kembali lapar jika habis menangis. Kebiasaan nya sejak dulu. "Baiklah, kamu ingin makan apa?" Mata Klarisa berbinar, pertanyaan ini adalah yang paling ditunggu-tunggu oleh dirinya. "I WANT STEAK!!!" Damian hanya mengangguk dan tersenyum. Ia sangat menyesel mengetahui Klarisa yang begitu mudahnya melupakan masalah beberapa jam yang lalu. Klarisa gadis yang hebat bahkan ia tidak memiliki dendam terhadap dirinya yang sudah memperlakukannya dengan tidak baik. Dan gadis yang hebat itu adalah miliknya. Damian memarkirkan mobilnya. Lalu menggenggam tangan Klarisa dengan erat. Ia berjanji tidak akan lalai dan melepas genggaman ini lagi. Tidak akan pernah. Mereka memasuki restoran yang lagi-lagi sangat terkenal di london. Bertuliskan 'Blacklock Shoreditch'. Iya memang restoran ini bukan restoran mewah seperti pertama kali Klarisa makan dengan Damian. Tempat ini jauh lebih terlihat sederhana namun terkesan hangat. Tidak jarang tamu yang bahkan rela menghabiskan waktu dan uangnya hanya untuk memesan kembali menu lain karena mereka ingin berlama-lama ditempat yang nyaman ini. Yang mewah memang sangat memuaskan, namun yang sederhana jauh lebih membuat kamu merasa puas dan tercukupi. Damian memilih kursi yang dekat dengan mini bar. Lalu seorang waiter datang menghampiri mereka dan memberi mereka masing-masing menu. Damian menyebutkan pesanannya. "Saya ingin beef prime rib big chopes dengan saus chili hollandaise dan tolong pesankan dua gelas red wine." Waiter tersebut mengulang kembali pesanan Damian. Lalu menanyakan apa yang akan di pesan Klarisa. "Damian aku bingung." Damian hanya terkekeh. "Tolong untuknya, pesankan menu andalan steak yang ada disini dengan saus yang sangat di rekomendasikan. Saya tidak ingin restoran ini mengecewakan gadis saya." Waiter tersebut mengangguk paham. Setelah menulis kembali pesanan mereka, lalu ia kembali take off menu yang tadi ia berikan ke Damian dan Klarisa. "Damian, kamu sangat pengertian untuk aku yang terlalu bodoh memahami setiap menu di restoran. Aku bingung." Damian menatap Klarisa dengan sayang. "Kalau bingung sini saya genggam tangan kamu, supaya kamu tidak bisa kabur lagi dari saya." Pipi Klarisa menggembung, dan rona merah muda kembali muncul dipipinya. Ah sangat menggemaskan! // Next chapter... ❤️❤️❤️❤️❤️❤️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN