Dua puluh

1024 Kata
Dikediaman keluarga Davinci, Leonard sedang menunggu kepulangan anaknya yang paling ia banggakan siapa lagi kalau bukan Valleri. Ia membaca koran lama tentang dirinya yang sempat masuk berita karena percobaan membunuh istrinya sendiri. Cih, Leonard hanya tidak sadar waktu itu. Ia juga sudah memohon maaf kepada Hellen, namun sayangnya wanita itu menolaknya mentah-mentah. Sekarang Leonard tidak ingin ambil pusing, ia bahagia dengan caranya sendiri tentu saja tanpa Hellen. "Ayah, Valleri pulang." Leonard tersenyum sangat lebar, matanya berbinar melihat Valleri yang pulang membawa banyak paper bag yang ia yakin isinya adalah barang pesanannya, baju-baju branded dan sepatu kulit. "Anak ayah sudah pulang." Ucap Leonard sambil mengecup kening Valleri. "Ini punya ayah dan selebihnya milik Valleri." Gadis itu menyerahkan empat paper bag kepada Leonard. Paper bag dengan brand berbeda pada tulisan depannya, membuat dirinya berdecak kagum. "Ayah bangga sama kamu." Valleri hanya mengangguk dan tersenyum simpul, lalu masuk ke dalam kamarnya yang berada di lantai dua. Ia menaruh semua paper bag itu di atas meja belajarnya. Ia menghempaskan tubuhnya, merasa lelah yang luar biasa. Hubungannya dengan Leonard juga tidak sebaik dulu. Semenjak kejadian di belakang rumahnya dan Damian memergoki mereka berdua, Valleri sedikit benci dengan ayahnya karena Damian sampai saat ini menjauh dan enggan bersamanya kembali. Namun ia tidak boleh egois dan menyalahkan kejadian itu sepenuhnya pada Leonard. Sudah cukup buruk ayahnya di pandangan masyarakat. Bahkan rekan bisnisnya satu per satu enggan berurusan dengan Leonard yang pernah menginjakkan kaki di penjara selama dua tahun, itu juga ayahnya bisa keluar berkat dirinya yang bekerja menggantikan sang ayah menjadi kepala perusahaan dan ia bekerja paruh waktu di sebuah club malam, kalian tau 'pekerjaan' seperti apa yang dimaksud. Ia menebus Leonard dengan jerih payahnya. Rasa sayang Valleri lebih besar daripada rasa bencinya. Ah, membingungkan! Valleri berdecak kesal saat ponselnya terus-terusan bergetar. Namun rasa sesalnya hilang begitu melihat siapa yang mengirimkannya pesan. Ibu Kamu kemana, Valleri? Ibu menunggumu untuk makan siang bersama adikmu. Dengan segera Valleri membereskan paper bag yang tadi ia bawa ke dalam lemarinya dengan rapih, lalu menguncinya. Tidak mungkin ia membawa itu semua ke rumah, bisa-bisa Hellen berpikir yang aneh-aneh. Ia melesat dan pamit pada ayahnya yang sedang menikmati secangkir kopi. Tanpa mau berlama-lama lagi, ia mengendarai mobilnya yang ia dapat dari kekasihnya yang sudah dengan baik hati memberikan hartanya selama satu bulan penuh ini. "Laki-laki bodoh jika sudah jatuh cinta." ... Paula Aku ke rumahmu ya? Klarisa mengernyitkan alisnya menjadi satu, tidak biasanya Paula seperti ini. Bahkan untuk kerumahnya yang sekarang ini ia belum pernah, hanya sekali waktu itu Paula mengantarkan dirinya sampai depan gerbang, tapi selalu menolak jika dirinya menawarkan untuk masuk dulu kedalam tapi ditolak karena katanya ia ada urusan keluarga, padahal kan Klarisa ingin Paula menyicipi bagaimana kelezatan masakan Eric! Klarisa Kemarilah, aku sudah sangat bosan Memang setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Damian kembali berkutat dengan kertas dan laptop diruang kerjanya yang berada di samping kamar mereka. Membuat Klarisa berdecak sebal, namun merasa bangga dengan Damian yang memang pekerja keras. Ahhh bagaimana sifat Damian pun ia suka. Klarisa menghampiri Damian, membuka perlahan pintunya supaya tidak menggangu Damian. Terlihat disana laki-laki itu tengah sibuk mengetik sesuatu sambil sesekali menyesap kopi buatannya dan memakan french toast buatan Eric. "Damian?" Laki-laki itu menoleh begitu gadisnya yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Damian menarik tubuh Klarisa sehingga gadis itu duduk dipangkuannya. Segera ia mencium Klarisa dengan lembut yang dibalas oleh gadis itu. Mereka menyudahinya dan menatap satu sama lain dengan tatapan sayang. "Ada apa?" Tanya Damian. Klarisa menggaruk tengkuknya, merasa gugup karena jujur mereka tidak pernah menerima tamu sama sekali. Bahkan keluarga Damian belum pernah datang kesini, selalu mereka yang mendatangi pekarangan rumah Wilson, membuat Klarisa semakin gugup untuk bilang jika Paula akan main kesini. "Paula sahabatku ingin kesini, apa boleh, Damian?" Cicit Klarisa sambil memainkan jemarinya. Damian terkekeh melihat Klarisa yang gugup itu, mungkin gadisnya sedang berpikir kemana-mana. "Tentu saja boleh, kenapa tidak?" Mata Klarisa berbinar. Ia memeluk d**a bidang Damian dengan erat. Ia benar-benar menyayangi laki-laki ini. "Terimakasih, i love you, Damian." Damian mengecup puncak kepala Klarisa berkali-kali. "Apapun untukmu, sayang." Entah sejak kapan Damian yang terkenal cuek dan tidak tertarik sama sekali dengan para gadis menjadi laki-laki yang manis bahkan takut kehilangan gadis yang kini sedang mendekap tubuhnya dengan erat. Ia menjadi sangat menyayangi Klarisa lebih dari kasih sayangnya dulu kepada Valleri. Ia menjadi sosok yang peduli dan perhatian, itu semua berkat adanya Klarisa dalam hidupnya. Klarisa memberi kehidupan baru, memberi warna baru, dan memberikan pengalaman baru padanya. Klarisa dengan berani menyentuh rahang kokoh milik Damian sampai siempunya mengerang rendah. Pertanda gawat jika diteruskan, pikir Klarisa. Ia segera bangkit dari pangkuan Damian, lalu mencium pipi laki-laki itu. "Dadah, selamat bekerja, aku dibawah, jangan terlalu menguras otakmu karena kamu butuh istirahat." Klarisa segera melesat pergi melihat tatapan Damian yang sudah menggelap dibuatnya. Ia tidak tau jika mengusap rahang Damian saja membuat laki-laki itu menjadi seperti itu, mengerikan sekali. Damian menghela napas, "Kapan kamu memberi akses untuk saya, Clay?" ... Klarisa dan Paula kali ini sedang melakukan aksi perang bantal di kasur king size, kamar tamu. Ia sudah menghabiskan waktu dengan Paula, dari makan siang buatan Eric yang tidak pernah membosankan, lalu sampao perang bantal seperti anak kecil. Dan Paula merasa beruntung memiliki Klarisa dihidupnya. Mengenal Klarisa beberapa semester membuat dirinya mengenal cukup baik gadis itu. Manis dan baik, tidak pernah ada niatan untuk mencari musuh, dan cantik tentunya, namun hidup Klarisa kurang sempurna mengingat keluarganya yang benar-benar jauh dari kata harmonis. Walaupun belum terlalu lama persahabatan mereka, Paula benar-benar tidak ingin sosok Klarisa pergi dari hidupnya, ia sudah menganggap Klariaa sebagai adik kecilnya. "Paula huft huft Klarisa capek, berhenti dulu Klarisa tidak kuat ketawa terus." Mereka duduk di pinggir kasur dengan Klarisa yang sedang sibuk menghapus air matanya karena tertawa terlalu geli. Sedangkan Paula masih sibuk menertawakan wajah konyol Klarisa yang berusaha menggapai tubuhnya di atas kasur. "Ih Paula, berhenti ketawanya nanti Klarisa jadi ketawa lagi." Rengek Klarisa. Paula mengangguk dan memainkan ponselnya. Klarisa diam-diam memperhatikan wajah Paula. Ia tau betul jika gadis disampingnya ini sedang berusaha menutupi kesedihannya. Ia juga tidak ingin banyak bertanya, karena mungkin pertanyaannya akan membuat Paula mengingat masalahnya kembali. Hari ini Paula bahkan tidak berpenampilan seperti biasanya. Gadis itu hanya mengenakkan t-shirt dan celana jeans selutut, sangat berbanding terbalik dengan penampilan biasanya yang lebih sering terbuka. Wajahnya juga tidak menampilkan make up yang sehari-hari ia gunakkan, hanya ada make up tipis.  Paula, kamu kenapa? batinnya. ... Next chapter... ❤️❤️❤️❤️❤️❤️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN