12.

2187 Kata
Percakapanku dengan papa berakhir begitu saja sejak beberapa hari lalu. Tidak sedikit pun dalam diriku merasa ada yang salah. Yah … meski begitu, aku tetap menjalankan kegiatan dengan riang bersama teman-teman. Bahkan, aku tidak terbebani tentang topik yang papa bahas waktu itu. Aku menghabiskan waktu di rumah hanya untuk berdiam diri di kamar. Bahkan, aku hanya bertemu dengan orang tuaku saat makan dan tanpa sengaja di sekitar rumah ini. Aku tahu, ini tidak baik untuk hubungan orang tua dan anak. Namun, aku hanyalah remaja dalam tahap perjalanan menuju dewasa, pengertian dari merekalah yang kuinginkan. Ya, hanya sebuah kata mengerti. Dalam perjalanan kedewasaan yang penuh masalah remaja, aku mencoba untuk tidak memulai sebuah pertikaian. Aku hanya malas memiliki masalah dengan orang lain, termasuk dengan teman-temanku sendiri. “Bosan sekali di kamar terus. Hem, sepertinya aku perlu menghubungi mereka untuk pergi mencari angin segar. Aku juga ingin melihat apa yang dilakukan orang-orang pada hari minggu sore.” Aku terus saja bergumam tentang apa yang dilakukan mereka—yang ada di luar sana. Pada akhirnya, kuputuskan menghubungi teman-teman untuk berkumpul di taman yang tidak jauh dari rumah. Ya, aku tidak ingin terlalu jauh karena itu pasti akan melelahkan jika ditempuh dengan berjalan kaki. Kukenakan pakaian santai, kaus dan celana jogger menjadi pilihanku. Tidak lupa kubawa tas selempang yang berisi dompet dan beberapa keperluan, ponsel menjadi salah satu benda yang tidak akan kulupakan. Tentu saja ponsel menjadi salah satu benda penting untuk anak remaja sepertiku. Apalagi di dalam ponsel tersebut ada banyak hal yang bisa membuatku tidak kesepian di rumah ini. Aku melangkah ke luar dari kamar, kuturuni anak tangga untuk bisa sampai di pintu keluar. Tetapi, tiba-tiba saja seseorang memanggilku. Siapa lagi jika bukan mama, selalu saja ingin tahu apa yang kulakukan. “Kamu mau ke mana, Alea?” tanya Mama padaku yang hampir saja menyentuh gagang pintu. Tanpa membalikkan tubuh, aku menjawab, “Pergi sama teman.” “Ke mana? Ini sudah sore, jangan terlalu malam pulangnya,” tambah Mama dengan nada suara yang sama. “Cuma ke taman saja, bukan ke planet lain.” Aku kembali menjawab dengan malas. Tanpa persetujuan Mama, aku pun membuka pintu dan menghilang dari baliknya. Sebelum kembali mengambil langkah, kuhirup dalam-dalam udara sore ini yang terasa menyejukkan. Ya, meski di sekitar ada banyak kendaraan berlalu lalang, tapi aku menyukai udara sore ini. Terasa menenangkan dan damai. “Hah … aku sampai lupa, kapan terakhir kali aku menghirup udara seperti ini.” Kuberjalan dengan langkah ringan, melewati jalanan setapak khusus pejalan kaki. Kulihat, ada banyak orang yang menikmati minggu sore dengan bersenang-senang bersama keluarga mereka. “Mereka sangat beruntung, memiliki keluarga yang terlihat bahagia,” gumamku tanpa sadar. Tiba-tiba saja seseorang memelukku dari belakang. Sepertinya aku tahu ulah siapa itu, benar saja, mereka sampai bersamaan denganku di taman. “Cemberut saja kamu. Kenapa?” tanya seorang temanku yang mengenakan pakaian hampir sama denganku. “Cuma malas saja, main ayunan saja, yuk!” ajakku sambil menunjuk pada mainan ayunan yang kini ditinggalkan anak kecil. Kami melangkah mendekati ayunan dan bermain di sana. Ah, aku lupa … kali ini aku pergi bersama dua temanku, mereka memang cukup dekat denganku di sekolah. Jadi, aku memutuskan mengajak mereka untuk ke luar bersama. Tentu saja, mereka berbeda dengan Ian, entah ke mana dia, beberapa kali sangat sulit untuk dihubungi. “Kamu kenapa, Alea? Katanya orang tuamu marah ya?” Sepertinya jiwa ingin tahu mereka memberontak dan tidak bisa ditahan. Pertanyaan tentang masalahku pun ditanyakan. Aku yang tidak terlalu suka mengumbar masalah, entah kenapa merasa ingin sekali berbagi kisah dengan mereka. Jika biasanya aku akan melakukannya bersama Ian, tidak untuk kali ini. Mungkin, tidak masalah jika aku melakukannya. Aku hanya berharap mereka menjadi pendengar yang baik. “Hanya masalah kecil, seperti biasa. Orang tuaku mengungkit masalah yang sebenarnya bukan salahku. Sudahlah, malas bahas itu. Jadi, besok pulang sekolah … kita jadi mampir ke café yang baru itu?” Aku mencoba mengalihkan percakapan agar tidak mengungkit masalah orang tuaku. “Ah, ya! Tapi … aku ada kelas tambahan besok, sepertinya ada tugas kelompok yang belum selesai, tapi aku lupa apa ya?” Tidak heran dengan satu temanku itu, dia selalu saja mengerjakan tugas di hari terakhir. “Ya sudah, aku bisa kok. Kayaknya kita berdua saja deh. Atau … kamu mau ajak Ian?” Pertanyaan yang malas untuk kujawab. “Entahlah, Ian susah dihubungi. Aku coba dulu besok.” Kami benar-benar menghabiskan sore di taman. Tidak hanya bermain ayunan dan berbagi kisah. Kami juga menikmati jajanan yang dijual di sekitar taman. Meski harganya terbilang murah, tetapi jajanan di sana tidak pernah mengecewakan lidah anak sekolah sepertiku. Baru saja kami duduk di kursi taman untuk menikmati makanan yang baru saja dibeli. Suara remaja laki-laki membuatku malas untuk menjawab. “Hai! Alea? Kalian ada di sini juga? Wah, kebetulan sekali,” ucapnya dengan tersenyum. Aku tidak terlalu menyukai senyumnya, seperti dibuat-buat. “Hai, Dimas! Lagi olah raga sore?” tanya salah satu temanku yang menjawab sapaan Dimas. Ya, Dimas memang remaja yang menyukai olah raga, tidak heran jika tubuhnya begitu menggoda kami kaum hawa. Sayang, aku tidak tertarik untuk lebih dekat dengannya, meski ada banyak anak gadis yang menjadikan Dimas bahan rebutan. “Alea, makan apa?” tanya Dimas padaku dan lagi-lagi temanku yang menjawab. “Alea makan jajan yang dibeli di depan sana, Dim. Kamu mau?” “Tidak, terima kasih. Kalian lanjutkan saja, aku mau lanjut lari dulu.” Akhirnya, Dimas pun berpamitan dan membuatku menghembuskan napas dengan lega. “Kamu kenapa sih? Dimas itu baik loh sama kamu, apalagi dia kayaknya tertarik gitu sama kamu.” “Malas, tipe seperti itu buat aku jadi posesif. Kalian tahu sendiri, dia ada banyak fans. Dan semua anak di sekolah memujanya.” Kenapa Dimas harus muncul di sini? Itu membuatku malas untuk berada lebih lama di taman. Akhirnya, kuputuskan untuk mengakhiri pertemuan kami. Aku pun kembali ke rumah dengan berjalan kaki. “Alea, sudah pulang?” Suara yang tidak ingin kudengar kembali menggema di telingaku. “Ya. Aku ke kamar duluan.” Aku berpamitan agar bisa menghindari kontak dengan Mama dan Papa. “Tunggu! Kamu tidak makan malam?” tanya Papa seakan peduli denganku. “Tidak. Aku belum lapar.” Kulanjutkan langkahku setelah menjawab, tanpa peduli dengan ucapan selanjutnya. Sampai di kamar, kuletakkan tas selempangku di atas meja belajar, lalu kuhempaskan tubuh ini ke atas tempat tidur. “Ah … rasanya begitu nyaman, kamar yang sangat kusayang.” Tanpa terasa, rasa kantuk menyelimutiku dan membuatku terlelap. *** Pagi ini, aku terbangun dengan tubuh yang lebih segar dari sebelumnya. Rupanya aku memang kurang tidur saja beberapa hari ini. Tugas sekolah memang membuatku jarang tidur di bawah pukul sembilan malam. Seperti biasa, aku melakukan rutinitas pagi dengan mandi, menyiapkan buku dan seragam. Tidak lupa, aku merapikan rambut yang kini semakin panjang dan membuat gerah. Aku lebih suka menguncir rambut agar terasa lebih segar saja. “Oke, siap berangkat!” seruku sembari meraih tas sekolah dan berjalan ke luar dari kamar. Kulihat di ruang makan tidak ada siapa pun, tetapi di sana ada sepiring nasi goreng yang disiapkan untukku. Aku tahu karena ada catatan di sana. [Makan dulu sebelum berangkat.] “Tumben, peduli.” Kutarik kursi dan duduk di sana. Sendok demi sendok kuhabiskan nasi goreng itu. Rasanya memang tidak seenak nasi goreng di ujung komplek, tapi aku menghargai apa yang diberikan padaku. Tentu saja kuhabiskan makanan itu dan bersyukur karena bisa makan pagi. Baru saja aku ingin membuka pintu rumah, ponselku berdering dan menampilkan nama seorang teman di sana. Tidak menunggu lama, kugeser ikon hijau untuk menerima panggilan itu. “Hem? Ada apa?” tanyaku ingin tahu tujuannya menelepon. “Aku di depan, nih! Berangkat bareng, kuy!” jawabnya di seberang telepon. “Oke, ini aku baru mau buka pintu, ya sudah.” Kulihat temanku melambaikan tangan. Padahal, aku berharap Ian yang ada di sana dan mengajak berangkat bersama. Tapi, sepertinya Ian memang sangat sibuk sampai tidak sempat membalas pesanku. Sampai di sekolah, kulihat Ian berjalan dengan memandangi ponselnya terus menerus tanpa melihat ke jalan. Aku pun mencoba menggodanya dengan berpura-pura menabrak Ian di sana. Bugh! “Eh, maaf!” ucap Ian sembari melihat siapa yang ditabraknya. “Aduh!” keluhku saat jatuh terduduk. “Alea? Kamu sengaja?” tanya Ian tiba-tiba, seakan menuduh aku yang memang sengaja melakukannya. “Sengaja? Kamu tuh ya! Nabrak orang bukannya nolongin. Kenapa jadi nuduh aku begitu?” Aku kesal dan sedikit emosi padanya. “Bangun sendiri!” seru Ian sembari melanjutkan langkahnya. Kesal? Tentu saja. Tidak biasanya Ian seperti itu padaku. Tapi, tiba-tiba saja tubuhku terangkat dan seseorang membantuku dari belakang. “Eh, eh! Lepasin!” ucapku agar dilepaskan. “Kenapa duduk di sana? Ada yang sakit?” tanya anak laki-laki yang ternyata adalah Dimas. “Bukan urusan kamu! Minggir! Aku mau lewat.” Bodohnya aku, bukannya berterima kasih, kenapa aku justru bersikap kelewatan pada Dimas? Sampai di kelas, aku melihat teman-teman melambaikan tangan dan menyuruhku segera menghampiri mereka. Kulihat Ian duduk dengan pandangan mata yang masih tertuju pada ponselnya. Ian tersenyum saat melakukannya. “Aneh,” cetusku. “Lama banget, sih? Ke mana dulu?” tanya teman yang tadinya berangkat bersamaku. “Toilet. Kebelet,” jawabku beralasan. Kuikuti pelajaran hari ini tanpa peduli dengan Ian. Bahkan, beberapa kali kulihat Ian seperti hilang fokus dan memilih berkutat pada ponselnya. Sampai jam istirahat tiba, aku mencoba untuk mengajak Ian ke kantin bersama. “Ian, ke kantin, yuk!” “Aku nggak ke kantin hari ini.” Jawaban Ian sungguh seperti dibuat-buat. “Kenapa? Padahal aku mau traktir kamu, loh!” “Malas, kamu traktir yang lain saja.” Ian menjawab sembari mengibaskan tangan, seperti mengusirku. Aku melangkah menjauhinya dan menuju kantin sendirian. Dalam perjalanan, kulihat Dimas menghampiriku dan memberikan tempat duduk. “Sini! Duduk sama aku! Yang lain sudah penuh.” Dimas menarik kursi kantin dan mempersilakanku duduk di sana. “Makasih. Aku pesan makan dulu, deh.” “Eits! Aku sudah pesan buat kamu. Kamu suka pesan di sana ‘kan? Sama minumnya yang di sana? Benar ‘kan?” Ian seperti cenayang yang tahu apa kesukaanku, sayangnya aku tidak peduli dengan perhatian itu. Aku memilih berterima kasih agar tidak membuatnya kecewa. Tapi, tetap saja aku tidak suka berlama-lama di sana bersama Dimas. Itu karena ada banyak pasang mata yang melihat ke arahku dan Dimas saat ini. “Uhm, Dim. Aku pindah saja ya?” pamitku tetapi langsung ditahan oleh Dimas. “Kenapa?” “Nggak enak di sini, ada banyak yang lihatin. Mendingan aku gabung sama temen-temen di sana.” “Di sana nggak ada kursi buat kamu. Sudah, cuekin saja mereka. Di sini saja, ya?” Dengan terpaksa, aku pun mengiyakan apa yang diinginkan Dimas. Jam istirahat berlalu dengan cepat. Saat kembali ke kelas, aku melihat Ian sekali lagi dengan ponselnya. Merasa aneh karena tidak biasanya Ian seeprti itu, aku pun kembali mendekat dan mencoba mengajaknya untuk pergi ke café. “Ian, pulang sekolah ke café, yuk! Sama temen-temen tuh.” “Tidak bisa. Kamu sama mereka saja, aku nggak bisa datang.” Jawabannya sama dan membuatku kesal. “Kamu sibuk apa? Kenapa akhir-akhir ini seperti tidak bisa dihubungi?” “Bukan urusanmu, Alea. Sudah sana! Ada guru masuk tuh!” Kecewa, tentu saja aku sangat kecewa dengan sikap Ian. Tidak biasanya dia seperti itu, bahkan ini adalah kali pertama Ian menghindariku tanpa alasan pasti. *** Aku dan teman-teman berada di café yang terletak tidak jauh dari sekolah. Namun, di antara kami ada seseorang yang tiba-tiba saja bergabung dan duduk di antara aku dan temanku. Orang itu adalah Dimas, dia tiba-tiba saja mengekor padaku seperti anak anjing bertemu ibunya. “Dimas jadi ikutan ke sini, ada yang mau ditemuin?” tanya seorang temanku. Dimas menggeleng dan tersenyum menatapku. Entah kenapa tatapan itu membuatku sedikit aneh. “Aku ke sini karena Alea.” Ucapan Dimas terdengar aneh di telingaku. Kami pun berbincang santai di sana. Seperti biasa, hanya aku yang paling pendiam di antara mereka. Bahkan, aku seperti pendengar yang baik untuk teman-temanku saat ini. Di tengah percakapan kami, pandangan mataku tertuju pada pintu masuk. Rupanya Ian juga datang ke café, aku pikir dia tidak ingin bergabung dengan kami setelah perdebatan di kelas. Namun, ada yang aneh dengan Ian, rupanya dia duduk di kejauhan, sepertinya tidak untuk bergabung dengan kami. “Sebentar ya?” pamitku sembari beranjak dari meja. Aku melangkah mendekati Ian dan berusaha ingin tahu apa isi ponselnya saat ini. Aku mengendap-endap hingga hampir saja terlihat apa yang ditampilkan layar ponselnya, tapi terhenti saat Ian menutup layar itu dan menatap tajam padaku. “Kenapa kamu ada di sini? Sana! Jangan lancang dengan melihat ponselku, Alea.” Mendengar hal itu, entah kenapa hatiku terasa sakit. Hampir saja aku terisak jika Dimas tidak segera menarik tanganku untuk menjauh dari Ian. Dimas mengajakku ke luar dari café dan kami berpindah tempat ke taman. “Hei, kamu baik-baik saja, Alea?” tanya Dimas yang terlihat khawatir padaku. “Iya, aku baik-baik saja. Kenapa kamu bawa aku ke taman? Lalu, bagaimana dengan teman-teman lainnya?” “Aku sudah mengirim pesan pada mereka buat bawa kamu pergi dari café.” Dimas adalah pangeran sekolah, tidak mungkin rasanya jika kami sedekat ini. Aneh, ini sungguh aneh. Apa yang sebenarnya Dimas inginkan dariku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN