Sejak hari itu aku mulai menghabiskan waktu dengan Ian yang sering kali mengajakku berkumpul bersama dengan teman-temannya. Perlahan demi perlahan aku mulai mencoba lebih aktif dalam berbicara, setidaknya aku akan berusaha menjawab pertanyaan atau sapaan yang dilontarkan mereka dengan lebih percaya diri dari sebelumnya, dan Ian sering kali menunjukkan senyum bangga padaku tiap kali aku berhasil memberikan respon terbaikku pada teman-temannya.
Aku merasa senang. Aku merasa puas ketika Ian memberikan penghargaan atas kerja kerasku itu walau hanya dengan senyuman lebar seperti itu. Bagai seorang anak yang berhasil mendapatkan nilai sempurna dari ujian, dan membuat kedua orang tua menjadi bangga padanya. Aku senang mendapat tatapan penuh bangga serta raut wajah kepuasan tiap kali Ian menunjukkan hal itu padaku.
Aku menjadi ketagihan dan lebih semangat untuk menunjukkan diri pada Ian bahwa aku bisa. Hingga hari-hari berlangsung lebih jauh, aku mulai terbiasa berinteraksi dengan teman-teman Ian dan terkadang juga menanggapai candaan mereka dengan lebih santai juga. Kami menjadi akrab. Selain aku ingin mendapat penghargaan kecil dari Ian itu, aku juga semakin menyadari bahwa teman-teman juga merupakan pria yang baik.
Sering kali mereka menjagaku dan memastikan diriku untuk tetap aman dan nyaman di sisi mereka. Terlebih ketika kami berada di luar. Ya, sejak aku mulai bisa berinteraksi dengan mereka, Ian mulai mengajakku untuk ikut berkumpul di tempat luar bersama teman-temannya. Banyak tempat yang telah kami datangi sejauh ini. Entah itu bioskop, kafe, tempat karaoke, taman bermain dan tempat lainnya yang sesungguhnya tidak pernah aku kunjungi selama ini.
Sungguh, aku tidak pernah mengunjungi tempat-tempat itu hingga usiaku remaja ini karena aku berpikir aku tidak akan pernah mau mendatangi tempat ramai seperti itu. Aku mau memberanikan diri untuk memasuki dunia yang baru karena ada Ian di sisiku. Karena aku tahu Ian akan selalu melindungiku.
Aku juga tidak menyangka bahwa teman-teman Ian juga akan melakukan hal yang sama padaku. Mereka sudah seperti seorang kakak laki-laki yang menjadi adik perempuannya. Mereka sangat baik dan lembut padaku, sama seperti Ian.
Awalnya aku merasa aku tidak nyaman dengan semua perhatian itu karena aku tidak benar-benar merasa dekat dengan mereka, terlebih aku juga tidak tahu harus bersikap bagaimana dengan semua perhatian itu, karena selama ini aku tidak pernah mendapat perhatian lebih selain dari Ian. Tapi seiring berjalannya waktu, perhatian mereka padaku menjadi terasa lebih wajar dan aku mulai menerimanya.
Aku mulai merasa lebih nyaman. Bagai hal yang wajar juga, aku kini selalu bersama dengan mereka tiap kali memiliki waktu luang di sekolah. Tentu perubahanku itu tidak luput dari pandangan orang-orang di sekitarku. Sesekali aku akan mendengar suara bisik-bisik dari para gadis di sekitarku tiap kali aku berjalan atau melangkah menuju tempat tongkrongan para pria itu.
“Hei lihat, anak culun itu pasti akan mendatangi mereka lagi.”
“Aku tidak pernah lihat dia lepas dari teman prianya selama ini. Bukankah namanya Ian? Aku sampai merasa kasihan dengan pria itu. Harusnya dia bisa berteman akrab dengan siapa pun. Tapi karena ada dia... Sungguh, dia terlihat seperti benalu di mataku!”
“Kau benar. Lebih tepatnya parasit. Nempel terus ke sana dan kemari, bikin jengkel lihatnya.”
“Apa dia tidak punya teman lain? Dia cewek sendiri, apa dia tidak malu? Bahkan sampai circle pertemanan pun dia masih saja nempel sama tuh cowok. Kasihan banget deh!”
“Iya ih. Aku tahu, dia pasti cuma pengen cari nama doang!”
“Biar dia keliatan paling cantik gitu di antara mereka? Paling keren karena temenan sama cowok semua? Seolah dia jadi seorang Ratu gitu? Idih, jijik banget!”
“Kesel banget gak sih lihatnya? Pura-pura sok kalem di depan para cowok, bersikap sok lemah dan tertindas biar kita-kita terlihat sengaja ngebully dia jadi para cowok bakalan kasihan ama dia gitu?”
“Kau benar. Aku suka kesel sendiri ngelihat dia sok cantik kayak gitu. Apa lagi kalo di depan Dimas. Gila, rasanya pengen narik tuh rambut gak sih? Enak banget dia bisa akrab sama Pangeran Sekolah cuma karena modal temen.”
“Ih bener banget tuh! beruntun banget dia punya temen perhatian, supel kayak Ian. Jadi dia bisa ketemu sambil ngakrab-ngakrabin diri sama banyak cowok cakep. Ih udah munafik, keganjenan juga. Makin sebel ngelihatnya!”
Kira-kira seperti itu kata-kata yang pernah aku dengar dari percakapan mereka, terutama para gadis. Awalnya aku merasa tidak percaya sekaligus tidak menyangka ketika mendengar ucapan seperti itu pertama kali. Aku merasa sedih, insecure sendiri hingga aku merasa perlu berpikir ulang untuk mencoba mengakrabkan diri pada teman-teman Ian.
Namun ketika aku berusaha menjauhkan diri dari teman-teman Ian, segala ucapan para gadis itu terdengar semakin keterlaluan. Aku merasa apa pun yang kulakukan akan menjadi bumerang untukku sendiri. Aku merasa aku selalu salah di mata mereka, bahkan hanya duduk diam dan bernapas saja aku sudah menjadi sebuah kesalahan yang besar di mata mereka. Sementara Ian dan teman-temannya justru mencoba lebih mendekatiku.
Bahkan mereka sampai mendatangi diriku ketika aku sengaja menolak ajakan mereka di kantin dan memilih untuk mendiamkan diri di kelas. Mereka dengan baiknya membawa banyak makanan dan minuman lalu berkumpul di mejaku dan mengajakku makan bersama. Mau tidak mau aku hanya bisa pasrah mengikuti keinginan mereka sembari mencoba menghiraukan tatapan tidak menyenangkan yang para gadis lontarkan padaku di sekitar. Ian yang menyadari situasiku akhirnya angkat bicara.
“Abaikan saja apa yang dikatakan semua gadis itu, Lea. Mereka hanya merasa iri padamu karena kau memiliki teman yang baik dan populer seperti aku,” ucap Ian suatu hari padaku. Pria itu mencoba menenangkan diriku karena menyadari sikapku yang mencoba menjauh dari Ian dan teman-temannya.
“Kau menyuruhku mengabaikan semua ucapan mereka, tapi sebenarnya kau sendiri yang paling terganggu dengan semua ucapan itu bukan? Jika tidak, kau tidak akan mungkin menyuruhku untuk berbaur dengan teman-temanmu demi mematahkan julukan nerd yang mereka tujukan padaku saat itu.”
“Itu memang benar. Mana mungkin aku akan diam saja ketika mendengar mereka menganggamu buruk Alea. Itu juga karena kau terlalu tertutup sehingga mereka berpikir demikian. Aku ingin membuktikan pada mereka kalau kau bukan seperti yang mereka pikirkan. Tapi kali ini berbeda. Kau sudah menunjukkan sisi barumu pada mereka.
Kau sudah mau membuka diri pada orang lain hanya untuk membuka mata mereka, dan itu jelas tidak mudah. Tapi mereka tetap menganggapmu buruk, dan sekarang semakin keterlaluan. Kau tidak seharusnya memedulikan semua itu, Alea. Kau tidak perlu memedulikan ucapan mereka lagi. Itu hanya akan menjadi tidak berguna! Lagi pula kau tidak akan membuang teman-teman barumu yang jelas mereka mempedulikan dirimu selama ini kan?” tutur Ian panjang lebar dengan tegas.
Sejak saat itu aku kembali mengikuti ucapan Ian. Aku kembali berteman akrab dengan Ian dan teman-temannya karena benar kata Ian, teman-teman Ian jauh lebih memedulikan diriku dibanding mereka yang tidak mengenalku. Lebih baik aku fokus menjalin pertemanan yang baik dengan mereka yang sudah jelas mereka berada di pihakku. Aku mencoba mengabaikan semua ucapan buruk itu dan hidup menyenangkan dengan teman-teman baruku tersebut. Nampaknya perubahan hatiku ini terlihat di mata Papa hingga suatu hari Papa memanggilku.
“Alea, apa kau sering berkumpul dengan banyak pria di luar sana?” tanya Papa suatu ketika, setibanya aku pulang dari acara mainku bersama dengan Ian dan teman-temannya. Aku tidak pernah menyangka akan tiba saatnya aku harus berhadapan dengan Papa karena masalah kehidupan pribadiku ini.
Selama ini Papa tidak pernah memedulikan tiap gerak yang kulakukan bahkan ketika bersama Ian sekali pun. Walau Papa selalu secara jelas menunjukkan ketidak sukaannya tentang pertemananku dengan Ian, akan tetapi selama ini Papa tidak pernah membahasnya lebih jauh.
Pembicaraan sering kali akan berakhir dengan Papa yang memperingatiku untuk selalu menjaga nama baik keluarga dengan nada kasar dan membuatku terluka. Tapi kini, Papa sengaja mendudukkan diriku setibanya aku pulang dan mulai menginterogasiku dengan raut wajah kakunya seperti biasa. Di sisi Papa terdapat Mama Silvy yang menatapku dengan raut wajah dingin seperti biasa. Ini membuatku... tidak nyaman.
“Hanya beberapa, Pa. Mereka adalah teman-teman baruku,” ralatku dengan selembut mungkin.
“Apa kau tidak punya teman yang lebih baik lagi? Sebelumnya teman kecilmu yang aneh itu, sekarang kau berbaur dengan banyak pria liar di luar sana. Apa maumu sebenarnya? Apa kau ingin menjadi gadis liar juga?”
Aku terkejut dengan ucapan Papa. Bagaimana bisa dia berbicara seperti itu padaku? Aku mencoba untuk tetap tenang dan menjelaskan satu demi satu dengan sebaik mungkin.
“Pa, Ian bukan anak yang aneh—“
“Bukan aneh bagaimana maksudmu? Apa kau pikir aku tidak tahu kalau temanmu itu suka main boneka?!”
Aku terpaku di tempat. Selama ini aku dan Ian selalu bermain di dalam kamar jika dia datang ke rumahku. Jarang sekali Ian dan Papa bertemu ditambah lagi Papa tidak akan perduli dengan temanku itu. Bagaimana Papa bisa tahu hal itu?
“Pa, itu hanya sebuah permainan. Ian hanya menemaniku bermain,” jelasku mencoba menyembunyikan setengah kebenarannya.
“Apa kau pikir Papa perduli? Yang jelas dia pria yang aneh. Dan sekarang kau akan berbaur dengan pria liar di luar sana. Sepertinya temanmu itu menyebarkan pengaruh buruk untukmu, Lea!”
“Pa, mereka teman-temanku yang baik. Mereka menolongku, dan melindungiku. Mereka tidak seliar yang Papa bayangkan. Mereka sering kali menjagaku.”
“Alea, yang namanya anak laki-laki semuanya sama. Mereka sama liarnya di luar sana. Kamu kan perempuan. Kamu harusnya menjaga diri dari mereka, bukan justru ikut berbaur dengan para pria itu. Bagaimana jika suatu saat mereka melakukan hal macam-macam padamu? Bagaimana jika suatu saat mereka mencoba menjebakmu? Mau jadi apa kamu nanti?”
Kini giliran Mama Silvy yang ikut berbicara dan membuatku terperangah tidak percaya. Selama ini tiap aku melakukan perdebatan dengan Papaku, Mama Silvy selalu diam memerhatikan dengan raut wajah dingin dan tidak ikut campur dengan urusan kami berdua. Tapi sekarang? Tiba-tiba dia bersikap seolah dia adalah orang yang paling perduli dengan keadaanku? Aku merasa tidak senang. Aku merasa tidak nyaman.
“Mama Silvy, mereka adalah teman-teman sekolahku, dan aku juga mengenal mereka. Aku yakin mereka tidak akan melakukan hal itu padaku. Lagi pula, berteman dengan beberapa pria apa salahnya? Aku yakin Kak Elly juga pasti punya beberapa teman pria di luar sana,” jawabku dengan tegas. Lalu aku menoleh ke arah Papa kembali.
“Aku juga tahu batas, Pa. Aku tidak mungkin akan melakukan hal yang macam-macam di luar sana. Kami hanya murni berteman. Kami juga sering kali bermain dan belajar bersama. Kami hanya melakukan kegiatan yang positif seperti pelajar yang seharusnya. Tolong jangan berpikir negatif dengan teman-temanku, karena aku yang lebih tahu tentang mereka dibanding Papa. Aku yang mengenal dan bermain bersama mereka, bukan Papa.”
“Alea! Kau berani sekali membantah! Mama Silvy itu mengatakan hal yang benar. Kau sebagai perempuan tidak seharusnya banyak berbaur dengan para pria di luar sana. Coba contoh Kakakmu Elly. Dia anak yang rajin dan lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman perempuannya di luar sana. Tidak seperti kau. Mau jadi apa kau? Masih pelajar saja sudah ingin menjadi liar!”
Ha, aku merasa panas ketika Papa mulai membandingkan aku dengan Elly. Bagaimana Papa bisa membandingkan aku dengan gadis yang lebih pintar menjilat dan menghabiskan uang untuk berbelanja dan pergi ke salon bersama teman-teman perempuannya seperti itu? Aku tidak akan bisa bertingkah seperti dia.
Aku menjadi bertanya-tanya dalam hati, apa Papa yang tiba-tiba perduli akan kehidupanku ini adalah campur tangan dari Mama Silvy? Aku tahu, sejak Elly datang ke rumah ini, Mama Silvy sering kali memuji tiap apa yang dilakukan gadis itu di depan Papa, dan Papa tentu saja mengambil tiap ucapan itu dengan tidak kalah bangganya.
Aku ingat ketika Elly mengupaskan buah untuk mereka berdua, Mama Silvy memujinya habis-habisan seolah Elly adalah anak paling baik dan paling berbakti pada orang tua di seluruh dunia. Dan Papa? Papa bahkan langsung menawarkan hadiah apa yang Elly inginkan sebagai balasannya. Aku masih ingat bagaimana sedihnya perasaanku saat itu ketika aku sendiri yang sering kali membantu menyiapkan makanan dan membereskan makanan khususnya yang berasal mau pun bekas dari Papa saja tidak pernah mendapat satu pun pujian dari Papa.
Aku sampai bertanya-tanya siapa yang sebenarnya anak kandung Papa di rumah ini. Namun tetap saja aku hanya bisa menahan itu semua dalam hati. Tapi sekarang, mereka mulai mencoba membanding-bandingkan aku dengan Elly. Tentu saja aku merasa tidak terima. Aku dan Elly jelas berbeda satu sama lain.
Dilihat dari penampilan pun aku sudah bisa melihat bahwa Elly adalah anak kota. Maksudku dia sudah biasa bermain di luar ke sana dan kemari bersama teman-temannya, sedangkan aku hanyalah anak rumahan. Masih saja aku terlihat buruk di mata Papa. Aku merasa ini tidak adil untukku.
“Pa, Alea tidak bermaksud membantah. Alea juga mengatakan hal yang sebenarnya, Pa. Papa mungkin tidak tahu apa saja yang Alea lakukan di luar sana bersama mereka, tapi Alea berani bersumpah. Alea tidak melakukan hal yang buruk. Kami hanya bermain bersama, makan bersama, dan belajar bersama. Ditambah lagi sebentar lagi akan ada ujian kenaikan kelas. Alea tahu apa yang harus Alea lakukan sebagai seorang pelajar yang baik, Pa!” jelasku dengan sepenuh hati. Berharap Papa bisa memahami ucapanku dengan baik dan mau mendengarkan penjelasanku.
“Papa, Mama, Elly pulang! Lihat Pa, Ma, Elly baru saja beli banyak barang pakaian bagus tadi sama temen-temen. Elly juga belikan baju buat Papa sama Mama, ups—“
Celotehan Elly kemudian terhenti ketika dia yang sibuk membawa banyak barang belanjaannya, akhirnya melihatku yang duduk bersama dengan Papa dan Mama Silvy dengan suasana tegang seperti ini. Aku menatapnya dengan jengah. Merasa semakin kesal dan benci ketika melihat gadis itu datang menunjukkan kebiasaannya menghabiskan uang di waktu yang tepat seperti ini. Aku kembali menoleh ke arah Papa.
“Dan Alea tidak bisa bertingkah menghabiskan uang hanya untuk kesenangan seperti itu! Lagi pula Papa juga tidak pernah tahu apa yang Kak Elly lakukan di luar sana juga kan? Sama seperti Papa yang tidak tahu apa yang Alea lakukan selama ini. Bisa jadi Kak Elly juga bertemu dengan banyak pria di luar sana tanpa sepengetahuan Papa dan Mama.”
“Apa maksudmu itu?!” seru Mama Silvy yang terlihat tidak terima dengan ucapanku. Tentu saja dia tidak akan terima jika aku mencoba menjelek-jelekkan nama baik anaknya. Tapi aku tidak perduli. Aku juga tidak terima jika dia membuat Papa memandangku sebelah mata dan berusaha membanding-bandingkan aku dengan anak perempuannya. Aku juga perlu melindungi nama baikku, benar bukan?!
“Jadi tolong jangan mengatakan hal yang buruk tentang Alea dan teman-teman Alea. Alea sudah dewasa. Alea bisa menjaga diri dan Alea akan berusaha tidak memalukan nama baik keluarga kita!” lanjutku tanpa memedulikan protesan dari Mama Silvy yang kini menatapku dengan tajam.
Kulihat Papa nampak terdiam menatapku, begitu juga dengan Mama Silvy yang masih memandangku dengan sengit. Sementara Elly sendiri masih berdiri di tempatnya dengan raut wajah bingung melihat situasi ini. Berpikir tidak ada lagi yang perlu dibicarakan di antara kami, akhirnya aku memilih undur diri. Aku tidak ingin melihat keharmonisan di antara mereka bertiga yang jelas tidak bisa aku masuki.
“Alea masih perlu mengerjakan banyak tugas, Pa. Aku mau masuk ke kamar sekarang. Selamat malam,” pamitku. Lalu beranjak pergi dari tempat itu. Sekali lagi aku melewatkan makan malamku. Entah berapa kali aku melakukan makan bersama dengan mereka sejak kedatangan Elly. Rasanya aku sering kali melewatkan kegiatan itu. Sedihnya tidak ada yang perduli akan keabsenanku itu yang semakin membuatku merasa malas untuk bergabung bersama mereka.
“Oh astaga kau membeli banyak barang, Sayang. Apa saja itu? Kau juga membelikan Papa sama Mama?”
“Iya, Ma. Coba lihat ini. Elly langsung teringat Papa ketika melihat yang satu ini. Jadi Elly langsung membelinya!”
“Bagus sekali, Sayang. Kau baik sekali masih mengingat Papa sama Mama di rumah!”
Seiring perjalananku menaiki anak tangga, aku kembali mendengar suara kebersamaan mereka yang terdengar kembali ceria seperti biasanya. Seolah mereka sudah melupakan perdebatan kami tadi. Aku hanya bisa tersenyum miring mendengarnya.