13.

3327 Kata
Aku terkejut saat melihat beberapa siswi di sekolah itu menanti diriku. Apakah ini sebuah jebakan, kenapa mereka memberikan tatapan penuh kebencian kepadaku. Cewek yang tadi mengajakku ke belakang sekolah, mendorong bahuku, sampai aku sedikit maju dan kini berdiri di hadapan siswi yang sejak tadi menatap dengan kedua tangan dilipat di depan d**a. “Kamu ini benar-benar tidak punya muka!” Salah satu gadis itu mulai mengataiku dengan memasang wajah garang dan tatapan penuh kebencian. Aku bingung dan hanya menatap gadis itu juga beberapa temannya secara bergantian. “Apa kamu lihat-lihat?” Gadis lain membentak, bahkan mendorongku hingga aku mundur ke belakang. “Sebenarnya kalian mau apa?” tanyaku lirih dengan tatapan masih tertuju ke para gadis itu. Para gadis itu tertawa, menertawakan pertanyaanku yang sebenarnya aku anggap bukan hal lucu. “Kamu ini benar-benar tidak tahu diri, ya! Kamu ini benalu, parasit, ga cocok kamu deket-deket sama cowok terpopuler di sekolah ini, terlebih cowok kek Ian dan Dimas!” Gadis itu menghardikku dengan tatapan bengis. Aku tidak paham kenapa mereka mempermasalahkan tentang kedekatanku dengan Ian juga Dimas, sedangkan Ian dan yang lain juga tidak pernah membedakanku. “Kamu tuh cewek miskin! Mending jauh-jauh dari Ian dan teman-temannya, kamu ga layak dekat sama mereka!” Gadis lain menimpali ucapan temannya. Aku terdiam, apa salahku sampai mereka begitu tidak menyukaiku. Aku juga tidak merugikan mereka, kenapa mereka harus meringsakku seperti ini. Bukan hak mereka juga, pada kenyataannya mereka juga bukan apa-apanya Ian maupun Dimas. Para gadis itu menatapku sinis, sebelum kemudian mereka melangkah dan dengan sengaja menyenggol bahuku, satu persatu mereka melirikku tajam, aku sampai mundur karena senggolan lengan mereka. “Ingat! Jauhi mereka, kamu bikin kami muak!” Gadis terakhir memperingatkanku sambil menunjuk wajahku, sebelum kemudian mereka meninggalkanku. Aku mencoba bersabar, mengusap d**a dan menghela napas berulang kali. Meski mereka memperingatkan serta mengancamku, tapi aku tidak ingin memasukkannya ke dalam hati. Aku anggap semua hanyalah masalah kecil akibat rasa tidak suka yang mereka tujukan untukku. Setelah semua gadis itu pergi, aku pun juga meninggalkan tempat itu untuk menunggu Ian dan teman-temannya lagi. “Alea!” Suara Ian terdengar memanggil, aku pun memandang ke arah sumber suara, hingga melihat temanku itu berjalan menghampiriku. Dengan langkah ringan aku pun mendekat, sampai akhirnya berdiri saling berhadapan dengan Ian. “Kamu dari mana, aku nyari-nyari kamu dari tadi,” tanya Ian kepadaku. “Aku hanya jalan sebentar ke sana, tadi kayaknya denger sesuatu tapi ternyata ga ada apa-apa,” jawabku sambil menunjuk ke belakang, mencari alasan agar Ian tidak curiga. Aku sendiri tidak ingin memberitahukan masalah ancaman para gadis itu ke Ian, hanya merasa jika itu tidak penting dan tidak mau menambah masalah. Aku hanya takut Ian tidak terima, lalu akan menimbulkan masalah lain di kemudian hari. “Ya sudah, ayo sudah ditunggu teman-teman,” ajak Ian sambil memintaku untuk berjalan terlebih dahulu. Aku pun berjalan bersama Ian, menuju ke tempat teman-teman Ian sudah berkumpul. ** Aku baru saja selesai dari toilet dan kini sedang mencuci tanganku di wastafel. Gemericik air yang mengalir terasa dingin menyentuh kulitku, aku mengusap-usap permukaan tanganku sampai bersih sebelum mengeringkannya. Saat baru saja selesai mengeringkan tangan, tiba-tiba beberapa siswi masuk dan langsung berdiri berjajar di belakangku. Aku pun terkejut dan langsung menatap mereka. Ya, mereka adalah para gadis yang membullyku tempo hari. “Kamu tidak dengerin peringatan kami!” bentak salah satu gadis itu sambil menatapku sinis. “Aku tidak ada urusan dengan kalian,” ujarku yang berusaha melewati para gadis itu. Namun, mereka menahan bahuku dan mendorongku hingga punggungku terbentur dinding. “Kamu ini jangan sok, ya! Benar-benar muka tembok dan tidak tahu malu!” bentak gadis itu sambil mengangkat tangannya seolah siap memukulku. Aku memejamkan mata karena takut terkena pukul, tapi tangan itu tidak jadi mendarat di pipiku dan hanya berada di udara. Gadis itu menurunkan tangannya, tersenyum miring seolah mengejekku yang takut. “Aku peringatkan lagi, jauhi mereka! Kamu ga pantas tahu ga, sih!” “Dasar benalu, dekat sama mereka juga pasti ada maunya.” “Menjijikkan sekali, bagaimana bisa ada orang kayak kamu!” Para gadis itu terus menghina, memaki, dan menjelekkan diriku. Aku sempat berpikir jika pembullyan itu akan berhenti setelah hari itu, kenyataannya mereka tampaknya semakin menjadi-jadi meringsakku. Salah satu gadis itu menyalakan keran air, hingga menampung air yang mengalir di telapak tangan, sebelum kemudian menyiramkannya ke pakaian dan wajahku. “Akh ….” Aku sangat terkejut dan menutup wajahku, tapi tetap saja air itu kini membasahi wajah dan pakaianku. “Rasakan itu!” Para gadis itu akhirnya meninggalkan ‘ku di kamar mandi sendirian lagi. Aku menarik napas panjang dan menghela perlahan, sungguh aku hanya ingin berteman dengan tenang, tapi para gadis itu kenapa seolah tidak terima jika aku memiliki teman. Aku pun mengusap wajahku yang basah, lantas menunduk dan memperhatikan seragamku yang basah dan sedikit menerawang karena terkena air. “Ah … jadi basah,” gerutuku sambil mengibaskan sedikit tanganku di seragam. Saat baru saja keluar dari kamar mandi, aku tanpa sengaja bertemu dengan Ian yang ternyata juga sedang mencariku. “Kamu ke mana saja? Aku nyari dari tadi juga.” Ian menatapku hingga sadar dengan seragamku yang basah. “Aku hanya baru dari kamar mandi, kok.” Aku sedikit malu karena mungkin Ian melihat tank top yang aku kenakan akibat seragamku menerawang sebab basah. Ian tiba-tiba melepas jaketnya, lantas memakaikan jaket itu ke tubuhku. Aku cukup terkejut, tapi membiarkan karena setidaknya itu bisa menutup seragamku yang basah. “Kok bisa bajumu sampai basah?” tanya Ian setelah memakaikan jaket itu untukku. “Tadi aku tidak sengaja menyalakan air keran agak besar, jadinya memercik kena pakaianku,” jawabku penuh dusta, aku masih tidak ingin Ian tahu jika dibully. Ian terlihat menghela napas sambil memandangku, hingga pemuda itu tersenyum hangat sambil menggelengkan kepala pelan. “Ya sudah, lain kali hati-hati. Kalau basah dan menerawang gitu, nanti jadi tontonan anak lain,” ujar Ian dengan senyum hangatnya. Aku mengangguk-angguk mengerti, lantas berjalan bersama Ian menuju kelas. Saat berjalan menuju kelas, aku melihat para gadis yang membullyku menatapku dari jauh, mereka terlihat begitu membenciku dan semakin kesal karena Ian sangat perhatian kepadaku. Aku mengalihkan pandangan dari mereka, meski aku berusaha untuk tidak mengadu, kenyataannya para gadis itu tetap saja tidak mau berhenti menggangguku. Tidak hanya tempo hari atau hari ini, mereka hampir tiap hari mengerjaiku saat aku sendirian, membuatku merasa sedikit tidak nyaman tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa. *** Aku menahan diri agar tidak menarik perhatian Ian dan Dimas. Bahkan, aku bersikap biasa saja setelah apa yang kudapatkan hari itu. Meski aku tahu, mereka akan melakukannya lagi padaku. Ya, hal seperti itu memang sering terjadi dikalangan remaja, bukan? Kali ini, akulah target mereka. Aku kembali ke rumah dengan pakaian seragam yang basah. Lagi-lagi, seseorang menjebakku di toilet sekolah dan mengguyur tubuhku dengan air. Aroma yang tidak sedap menarik perhatian Elly dan Mama yang kini duduk di ruang santai. Mereka melirik tajam padaku, seakan aku selalu seperti ini. Tanpa menjelaskan duduk permasalahan yang kualami, mereka berkata, “Seperti biasa, kamu pasti berbuat ulah ‘kan?” Tanpa menjawab, aku melanjutkan langkah menuju kamar dan mengunci diri di sana. Segera aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah kegiatan itu selesai, seperti biasa, kuhempaskan tubuhku di atas tempat tidur lalu menutup wajahku dengan bantalan. Dari balik itu aku berteriak tanpa mengeluarkan suara. Rasa kesal yang menggeluti hatiku, tidak bisa ku ungkapkan secara terbuka. Bahkan, aku merasa benci dengan diri sendiri karena menjadi berbeda di antara mereka. Samar aku mendengar seseorang mengetuk pintu kamarku. Kudengar suaranya seperti Elly yang mungkin berpura-pura peduli padaku. "Alea? Kamu dengar panggilanku 'kan? Apa yang terjadi?" Aku memutuskan untuk tidak menjawab panggilan itu, seakan aku tengah tertidur pulas dan tidak mendengarnya. Bahkan, aku melewatkan makan malam bersama mereka, hanya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan membuatku semakin kesal. *** Pagi ini, aku kembali membuka mata dengan rasa lelah. Ya, aku lelah untuk kembali bertemu dengan mereka di sekolah. Pasti, akan ada sesuatu yang mengejutkanku. Sampai aku berpikir, apa lagi yang akan mereka lakukan hari ini? Mungkinkah mereka akan kembali menyiramku dengan air kamar mandi atau bahkan lebih buruk? Kulihat rumah sangat sunyi, aku berangkat tanpa makan. Tentu saja karena tidak ada apa pun di meja makan saat ini. Itulah yang membuatku malas berada di manapun di dunia ini. Sepertinya tidak ada yang bisa membuatku nyaman dan terlindungi. Apa jangan-jangan tidak ada yang mengharapkan aku? Kulanjutkan langkah dengan perut yang terus melakukan protes. Kulihat ada seorang ibu penjual roti goreng. Kurasa satu roti itu pasti bisa membuat bungkam perut ini. “Bu, beli satu ya.” “Ini, Neng. Lima ribu saja.” Setelah kubayar, kulanjutkan langkahku menuju sekolah sembari kugigit roti yang berukuran cukup besar itu. Sampai di gerbang sekolah, rupanya ada yang tidak sabar untuk melakukannya padaku, apalagi jika bukan membuatku tersakiti. Benar saja, baru saja sedikit kumakan roti itu, seseorang menabrakku hingga terjatuh dan rotiku pun kotor. “Akh!” keluhku saat kakiku dengan sengaja diinjaknya. “Ups, maaf ya. Nggak sengaja.” Bukannya menolong, dia berlalu begitu saja dari gerbang sekolah. Baru saja aku ingin bangun, Dimas meraih tubuhku dan membersihkan beberapa bagian yang kotor dari tas dan seragamku. “Sudah, Dim. Gapapa.” “Lutut kamu luka, kita ke UKS ya? Kamu kenapa tidak menegurnya?” tanya Dimas yang rupanya melihat apa yang terjadi. “Dia nggak sengaja, sudahlah. Aku ke UKS dulu minta plester,” pamitku. Bukan Dimas jika membuatku berjalan seorang diri menuju UKS. Ya, dia mengekor dan mengawasi sekitar. “Sudah sampai. Kamu bisa kembali ke kelas dulu, aku nggak apa-apa di sini.” Bukannya menurut, Dimas justru bergerak untuk meraih plester dan mengambil kapas untuk membersihkan luka di lututku. “Eh, eh! Dimas, apa-apaan, sih! Aku bisa sendiri.” “Sudah, diam!” Di tengah kegiatan yang dilakukan Dimas, ada beberapa anak yang melihat kami di sana. Aku bisa memastikan, akan ada hal lain yang terjadi hari ini. Ingin rasanya aku pergi saja, tubuhku bukanlah bahan ujicoba. Semua yang kupikirkan benar terjadi. Kejadian di UKS seperti bom waktu untukku. Beberapa anak perempuan menarik tanganku dan membawaku ke belakang sekolah. Mereka mengikatku di kursi, satu orang memegang gunting dan mengoyak jaket yang kukenakan. Tidak hanya itu, rambut yang susah payah kupanjangkan, kini dipotong hingga tak berbentuk lagi. Mereka seperti sangat marah padaku karena tidak menyerah. Cih! Menyerah? Untuk apa? Bahkan aku tidak dalam kompetisi saat ini. “Bukannya kami sudah berkata untuk menjauh dari Dimas dan Ian? Bukannya kami sudah memberikan peringatan kemarin?” Seorang dari mereka membuka suara. Baru saja aku ingin menjawab, seorang lainnya melancarkan sebuah tamparan ke pipiku. Suaranya begitu keras, hingga aku bisa merasakan ada pergeseran pada rahangku. “Ini akibatnya buat kamu yang tidak menurut. Sepertinya kejadian kemarin belum cukup ya?” “Sebenarnya, dengan melakukan ini. Kalian justru semakin jauh untuk bisa berdekatan dengan Dimas dan Ian. Apalagi kalau mereka tahu kalian pelakunya.” Aku mencoba memberanikan diri mengatakan kalimat itu. “Heh! Mereka tidak akan tahu jika mulutmu tidak mengadu. Oh, apa kami buat saja kamu tidak bisa lagi berbicara?” Rasanya ada sesuatu yang membuatku merinding. Tidak bisa bicara, itu yang mereka katakan. Bahkan, aku tidak banyak bicara selama ini. Apa mereka sungguh kehilangan akal? Kejadian hari ini berakhir dengan tubuhku yang kembali basah. Mereka tidak melepaskan ikatan pada tubuhku dan meninggalkan aku di sana. Dengan tenaga yang tersisa, aku mencoba melepaskan diri. Beruntung aku bisa melakukannya dan melihat bahwa sekolah sangat sepi saat ini. Aku berjalan kembali ke kelas untuk mengambil tas dan barang-barang lainnya. Tapi, aku tidak menemukan semua itu di sana. “Di mana tasku?” gumamku hingga seseorang menutup tubuhku dengan jaket. “Alea, apa yang terjadi?” Suara itu membuat tubuhku menegang. Tanpa berbalik, aku mengatakan bahwa tidak ada yang terjadi. “Aku baik-baik saja, Dim. Sebaiknya kamu—“ “Alea! Kenapa kamu bisa seperti ini?” Suara lain yang sungguh semakin membuatku tidak bisa berkata lagi. “Tidak apa-apa. Aku benar-benar tidak apa-apa.” Hanya itu yang bisa kukatakan dan berlari menjauh dari mereka. Ya, aku menghidari keduanya tanpa perlawanan. Menjauh adalah hal terbaik untukku saat ini. Aku kembali beruntung saat sampai di rumah. Aku lihat semua orang sibuk di ruangan mereka, hingga aku bisa masuk kamar tanpa ketahuan. Di dalam kamar, aku berusaha memperbaiki rambut dengan merapikannya. “Untung saja bisa dirapikan dengan baik.” Setelah selesai dengan urusan rambut, aku pun mandi dan membersihkan diri. “Rasanya sangat lega, bisa membersihkan diri tanpa mendengar ocehan orang rumah.” Aku hanya berharap, tidak ada yang bertanya lagi padaku mengenai kejadian di sekolah. Semoga saja, Ian dan Dimas bisa bersikap biasa setelah ini. Ya, hanya itu yang kuinginkan dan menghindari masalah dengan mereka. Baru saja aku selesai merapikan diri, dari luar kamar suara Elly terdengar memanggil. Rupanya sudah waktunya makan malam, tanpa berlama-lama, aku keluar dan mengikuti langkah Elly. “Al, aku mau main sama temen-temenku, kamu ikut ya!” Elly tiba-tiba mengajakku saat aku sedang duduk bersama papa dan mama di minggu yang indah ini. Aku bingung haruskah menerima ajakkan kakakku itu atau menolaknya. Hingga Elly kembali bicara dan membuatku merasa tidak nyaman. “Kamu ‘kan selama ini selalu main sama temen-temen cowok, jadi ga ada salahnya kalau sekarang pergi sama aku, nanti aku kenalkan ke temen-temenku.” Ucapan Elly seperti mempertegas jika aku selama ini hanya bermain dengan anak laki-laki saja, hal itu membuatku merasa takut di hadapan papa dan mama. Aku sendiri tidak tahu apakah kakakku itu memang peduli hingga akhirnya mengajakku pergi, atau sebenarnya hanya pura-pura peduli di hadapan papa dan mama saja. “Tidak, Kak. Aku mau di rumah saja,” ucapku menolak ajakan kakakku dengan halus. “Kenapa kamu tidak mau ikut? Padahal niatku baik,” rengek Elly seolah tidak terima. “Ayolah, ikut saja. Teman-temanku baik dan asyik kok,” bujuk Elly agar aku mau ikut. Papa tiba-tiba menatap tajam ke arahku, marah karena aku menolak ajakkan Elly. “Kakakmu itu sudah punya niatan baik buat ngajak dan ngenalin temannya ke kamu. Kamu malah menolak dan tidak menghargai kakakmu sama sekali! Kamu maunya apa, hah! Kamu seharusnya tahu diri karena kakakmu itu sudah bersikap baik kepadamu. Dasar tidak tahu diuntung!” Papa terlihat murka hanya karena aku menolak ajakkan itu. Bicara dengan nada tinggi hingga membuatku terkejut sampai membuat kedua pundakku bergetar. Aku menghela napas kasar, sampai akhirnya aku menuruti ajakkan kakakku karena tidak ingin papa marah dan aku terlibat masalah lagi. “Aku ganti baju dulu, Kak,” ucapku sambil berdiri lantas berjalan ke kamar. ** Elly mengajakku bertemu dengan teman-temannya, dia memperkenalkanku sebelum mengajakku jalan-jalan. Aku sendiri kurang nyaman dengan kegiatan yang mereka lakukan. Mereka belanja hingga manicure dan pedicure seperti para wanita lakukan pada umumnya. “Udah, kamu juga lakukan perawatan, biar aku yang bayar.” Bersikap seolah menjadi kakak yang baik, Elly menawariku melakukan perawatan meski aku kurang suka. Dia terlihat sedang memamerkan betapa baiknya dia kepadaku ke teman-temannya. Aku melihat bagaimana mereka bercanda sambil menikmati perawatan yang sedang dijalani, aku merasa tidak cocok berada di antara teman-teman Elly. Selepas selesai dari salon, mereka mengajakku ke kafe tempat nongkrong anak muda, mereka memesan makanan dan minuman kekinian, sebelum kemudian mulai membahas barang-barang yang mereka miliki. “Aku dong, baru dapat tas branded limited edition dari papa aku.” Salah satu teman Elly memperlihatkan fotonya yang memegang tas branded seharga ratusan juta, tapi bagiku itu biasa saja, bukankah itu hanya sebuah tas, sama dengan tas-tas lainnya. Aku juga tidak paham dengan merk yang disebutkan, melihat pun aku tidak pernah. “Aku dong baru beli gelang edisi terbatas.” Teman Elly yang lain juga memamerkan pergelangan tangan yang berhias gelang cantik. Semua orang terkagum-kagum melihat barang-barang itu, tapi tidak denganku yang tak paham sama sekali. Aku memilih hanya duduk dan menyedot jus pesanan milikku, sesekali mengambil kentang goreng yang ada di piring dan memasukkan ke mulut, mengabaikan perbincangan para gadis itu yang aku anggap tidak masuk ke otakku. Aku tidak paham pembahasan mereka. Saat semua orang memamerkan barang mahal mereka, tiba-tiba salah satu dari mereka menatapku dan menatap aneh kepadaku. “Kakakmu punya banyak barang mewah, kamu punya apa?” tanya teman Elly kepadaku. Aku hampir tersedak mendengar pertanyaan itu, barang mewah apa sedangkan aku juga tidak pernah memilikinya. Semua pakaian dan sepatuku biasa saja, tidak ada yang spesial seperti yang dimiliki para gadis itu. “Aku tidak punya,” jawabku singkat dan kembali tak acuh. Mereka kembali menatapku aneh, tapi aku tidak peduli dan memilih bersikap biasa saja. “Mana mungkin kamu tidak punya? Elly saja punya banyak barang mewah, bagaimana bisa kamu sebagai adiknya tidak punya apa-apa,” cerocos salah satu teman Elly. “Benar, jangan-jangan kamu tidak mau kasih tahu karena takut kami minta,” timpal teman Elly lainnya. “Aku memang tidak punya, bahkan tidak tahu merk yang kalian sebutkan,” ujarku membela diri. “Masa kamu tidak tahu, sih? Ini merk terkenal dan banyak diincar oleh gadis-gadis seperti kita,” balas yang lainnya. Semua teman Elly kembali menatapku aneh, seolah aku adalah gadis terbodoh karena tidak tahu apa-apa tentang barang mahal itu. Sama halnya dengan teman-temannya, Elly juga tampak terkejut dan menatapku aneh, tampaknya Elly juga berpikiran sama seperti para gadis itu. Aku aneh dan sangat bodoh. “Sudah, Alea memang tidak punya barang mewah karena dia tidak terlalu suka shopping. Makanya aku ajak gabung, biar dia bisa belajar dan tahu apa itu shopping juga barang branded,” ujar Elly terkesan membelaku, tapi bagiku malah menunjukkan bagaimana minimnya pengetahuanku tentang kegiatan atau barang-barang yang disukai para gadis sosialita. Aku awalnya cukup senang karena Elly membelaku, aku sendiri sejak tadi benar-benar tidak paham dengan semua percakapan yang terjadi. Merk apa? Beli di mana? Terlebih nominal harga yang disebutkan, bagiku sangat tidak masuk akal. Aku pun memilih kembali diam karena tidak ingin ada perdebatan. “Ga tahu juga ga tahu, tapi ga segitunya. Apa dia ga pernah nonton televisi dan melihat iklan barang branded berseliweran,” cibir teman Elly sambil melirik ke arahku. Aku ikut melirik teman Elly, tampaknya mereka tidak akan diam hanya karena aku diam. “Jangan bilang dia juga tidak pernah nonton televisi, tidak mungkin kalau di rumah kalian ga ada benda itu,” timpal yang lain ikut menghinaku, melirikku tajam dengan tatapan aneh. Aku menghela napas kasar, kembali mengabaikan dan hanya mendengarkan opini mereka tentangku. “Ya, bukan televisi saja, dia bisa ‘kan lihat barang-barang branded pakai ponsel. Sekarang banyak toko online shop yang jual barang branded, jangan sok polos deh dengan ga pernah tengok olshop,” cibir yang lain ikut menghinaku. “Kayaknya adikmu ini tidak cocok temenan sama kita, apalagi masuk circle kita,” balas yang lainnya. “Benar sekali. Apa-apa tidak tahu, memangnya dia hidup di zaman batu.” “Sudah, jangan bahas lagi. Mungkin Alea memang ga tahu.” Elly membelaku, tapi kenapa aku merasa itu adalah sebuah pengakuan jika ucapan teman-temannya benar tentangku. “Udahlah, El. Kamu kok bisa betah punya adik kek dia.” Hinaan demi hinaan terus menusuk telinga, aku benar-benar tidak tahan dibuatnya. Darahku terasa mendidih, kenapa urusan tidak tahu barang mewah pun jadi masalah mereka. Memangnya salah jika aku tidak tahu apa-apa, mungkin benar jika teman-teman Elly tidak cocok denganku. Semua sikap dan kata-kata teman Elly membuatku tidak nyaman, aku merasa tidak cocok bersama mereka. “Ya, aku memang tidak cocok dengan kalian. Aku juga tidak butuh teman seperti kalian! Tanpa kalian juga tanpa barang bermerk itu aku juga tetap bisa hidup, kenapa kalian pusing mengurusnya.” Aku bicara dengan tegas, menunjukkan jika mereka bukanlah satu-satunya yang bisa dijadikan teman. Aku juga tidak mau berteman dengan para gadis yang bisa dibilang begitu sombong dan suka pamer kekayaan. Elly terlihat terkejut mendengar ucapanku, dia menatapku dengan rasa kesal tapi aku tidak peduli. Aku mengambil tas dan menyematkan di pundakku, sebelum kemudian berdiri dan langsung mengayunkan langkah meninggalkan Elly dan teman-temannya. “Alea!” “Alea berhenti!” Aku mendengar Elly memanggil dan memintaku berhenti, tapi aku memilih mengabaikannya dan terus melangkah keluar dari kafe. Aku berjalan hingga ke jalan rasa dan mencari taksi, lantas memutuskan untuk pulang daripada berada di antara orang-orang yang suka bicara toxis dan suka menyindir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN