Cerita 2 : Wanita Hamil Di Rumah Sakit

1118 Kata
Episode 4 : Mencari Jawaban Kala melihat Sang Bunda telah memejamkan mata, Chika merenung dalam diam. Sesaat tadi, dia sempat berpikir bahwa dengan datangnya kabar gembira dari Dokter yang menangani Sang Bunda, berarti tinggal dalam hitungan jam dia akan terbebas dari rasa was-was serta rasa tak tenang di hatinya. Dan itu juga berarti, dia sendiri pun tak perlu merasa terpengaruh akan cerita Sang Bunda lalu merasa takut berlebihan. Dalam resah yang menggelitik, Chika bergumam lirih, “Apalagi, konon, kalau benar yang terlihat sama Bunda memang benar-benar merupakan Sosok yang nggak kasat mata, wajar dong kalau aku merasa dicekam sama rasa takut yang besar. Kan dari cerita yang beredar, kalau ada Sosok seperti itu mendekat ke Orang sakit, jangan-jangan..., dia berniat menjemput orang yang sakit, untuk pergi bersamanya?” Tiba di pemikiran ini Chika langsung merinding, dan sekuat hati mengusir pemikirannya yang semakin melantur itu. Chika menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menghalau pemikiran buruk yang mengintimidasinya. Tidak, dia sungguh memutuskan untuk tak mau percaya cerita-cerita macam itu. Enggak! Kan kesehatan Bunda juga sudah makin membaik. Aku sungguh ngak rela kalau sampai Bunda jatuh sakit lagi. Terlebih kalau... Oh, nggak! Nggak! Jerit hati Chika dalam ngeri yang sangat. Chika menarik napas lagi. Dia berusaha keras untuk menghibur diri dan meresapi urutan penyampaian dari Ibu Sarwendah yang dituturkan kepadanya. Bunda bilang, Sosok itu nggak jadi mendekat ke pembaringan Bunda, melainkan berbelok arah ke ranjang sebelah? Apa maksudnya? Hiiii...! Horor banget! Aduh, rasanya aku kepengen cepat-cepat pagi dan terang. Aku kepengen Bang Erry cepat datang dan menjemput. Katanya, dia ambil penerbangan paling pagi, kan, besok? Kata Chika dalam hati sembari terus menatapi arlojinya. Dipelototinya arloji tersebut, seolah jika dengan terus melotot maka jarum jam akan bergerak lebih cepat dari semestinya. Malangnya, apa yang dilakukannya sia-sia belaka. Jarum jam malahan seolah enggan bergerak. Mata Chika terasa perih. Dialihkannya tatapan matanya. Beberapa menit kemudian Chika merasa tubuhnya sangat lelah. Sesekali dia menguap dan mengurut pelipisnya yang dirasanya demikian berdenyut. Anehnya, Chika justru tak dapat tidur, malam ini. Malam yang semestinya menjadi malam terakhir dia menghabiskan waktu di rumah sakit. Ya, rumah sakit. Tempat yang sama sekali bukanlah merupakan tempat favoritnya, apalagi jika ditanyakan kepada Sang Bunda. Dia menatap lekat-lekat wajah Bundanya. Didapatinya, napas Sang Bunda mulai teratur, pertanda bahwa Wanita yang melahirkan serta membesarkannya itu sudah mulai terlelap. Di dalam kesenyapan yang melingkupinya, Chika menghitung-hitung dengan jarinya. Ini sudah malam kelima, dirinya berada di rumah sakit menjagai Sang Bunda tercinta. Dia sendiri juga sudah mulai tidak enak badan karena kualitas tidur yang buruk selama menjagai Sang Bunda. Hal yang sangat wajar dan umumnya menimpa Orang-orang yang senasib dengannya. Faktanya, memang tidak ada Orang yang dapat tidur nyenyak dan bersenang-senang selagi menjagai Kerabat mereka yang terbaring sakit serta menjalani rawat inap. Erry, Kakak Laki-laki Chika memang tidak dapat bergantian untuk menjaga Sang Bunda lantaran ketika Sang Bunda jatuh sakit dan harus menjalani rawat inap, belum diijinkan kembali dari penugasannya di lokasi penambangan betapapun dirinya langsung meminta ijin pada saat itu juga ke Atasan langsungnya. Tetapi, Erry toh terus berusaha memantau keadaan sang bunda dan mengirimkan dana untuk membayar biaya pengobatan Bunda mereka. Sebuah hal yang patut diapresiasi mengingat lokasi kerja Erry amat jauh dari pusat kota dan jaringan internet juga belum sepenuhnya stabil. Erry berusaha untuk berbagi tugas dengan Chika, sementara permohonan ijinnya diproses. Maka Chika lah, yang sehari-hari bekerja di Jakarta, yang dapat mengajukan ijin khusus kepada Atasannya yang pengertian. Kini empat malam berlalu sudah. Empat malam yang jauh dari kata nyaman. Itu artinya, empat kali pula Chika melihat Sosok yang sama. Ya, Sosok Si Wanita hamil itu. Meski bukan dengan sengaja mengingatnya, toh Chika otomatis teringat pula secara runut kejadiannya. Pertama, ketika Chika berada di dekat Nurse station dan dalam jarak yang cukup dekat. ‘Pertemuan’ pertama itu berlalu begitu saja. Tidak ada saling tatap apalagi saling sapa di antara mereka. Lantas yang kedua terjadi di koridor, walau dalam jarak yang lumayan jauh. Ini juga sekejap dan berlalu. Tidak ada petunjuk yang lebih pasti tentang Siapa gerangan Sosok Wanita hamil tersebut. Hanya rasa penasaran yang yang didapatkan oleh Chika. Kemudian yang ketiga, Chika melihat Wanita itu berdiri termenung di dekat lift, dan keempat, kembali di koridor yang sama, dengan kesempatan keduanya menyaksikan Wanita itu. Chika berusaha untuk merangkai semua potongan peristiwa itu. Dia merasa, ada misteri besar yang melingkupinya. Hanya saja, dia belum tahu apa dan kesulitan untuk memecahkannya. Otak Chika terus berputar. Tak hendak menyerah untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Diingatnya, semua terjadi dalam kisaran waktu yang kurang lebih sama, yakni antara pukul dua dini hari hingga pukul setengah empat dini hari. Chika langsung berpikir, mungkin sebagaimana Para Kerabat yang menunggui Pasien , pada jam-jam macam itu, mereka tidak dapat memejamkan mata. Entahkah menunggu pagi yang dirasa begitu lambat datang, atau pusing memikirkan biaya pengobatan yang terus membengkak sementara kondisi orang yang mereka jagai belum kunjung membaik. Waktu-waktu seperti itu, di saat Pasien yang mereka jaga telah tertidur memang merupakan saat yang ‘pas’ bagi mereka untuk melepaskan diri sesaat dari ‘kepura-puraan’ di depan Pasien yang mengesankan seolah dirinya baik-baik saja dan semua urusan tertangani, demi memastikan kesembuhan Sang Pasien bisa segera didapatkan. Ya, Chika sungguh mengerti dan paham bagaimana rasanya. Ia memejam mata sesaat, kembali merenung dalam diam. Ada kesamaan lain di samping kisaran waktu di mana Wanita hamil itu terlihat, yakni, dia tidak dapat menyapa, dan hanya punya waktu sekejap saja untuk mengamati Wanita hamil itu. Chika ingat, selalu saja ada yang mengusik dan membuyarkan konsentrasinya. Entahkah suara Suster, Dokter, ataukah keinginannya sendiri untuk lekas kembali ke sisi Sang Bunda. Dan sore tadi, setelah membeli makanan untuknya sendiri di kantin rumah sakit yang terletak di lantai dasar dari bangunan rumah sakit ini, sebuah keinginan menggoda Chika. Keinginan yang teramat mendesak dan menuntut untuk segera dituntaskan saat itu juga. Nggak apa deh, kan masih sore. Aku nggak akan lama kok mengeceknya. Bunda pasti mau mengerti, pikir Chika. Maka secara sengaja, Chika melewati koridor di mana Wanita hamil itu terlihat sebanyak dua kali olehnya. Dia jelas terkejut mendapati itu adalah ruangan bayi yang baru lahir. Ini hal yang cukup aneh menurutnya, sebab jelas-jelas dia melihat wanita tersebut tengah hamil, bukannya telah melahirkan. Lalu muncul pemikiran lain di benaknya. “Oh, barangkali wanita hamil itu sudah sangat ingin melihat buah hatinya lahir ke dunia. Makanya nggak heran kalau dia senang menatapi bayi-bayi di dalam sini dan membayangkan kira-kira Anaknya nanti akan selucu dan sesehat mereka. Ah, semoga saja Kerabat yang sedang ditungguinya segera sembuh, dan dia sendiri serta Anak yang akan dilahirkannya nanti juga sehat,” gumam Chika sendirian. Dia semakin mendekati ruangan itu. Terdengar handel pintu diputar dari arah dalam. Jantung Chika berdegup kencang. Lalu pintu terkuak. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN