Cerita 2 : Wanita Hamil Di Rumah Sakit (5)

1667 Kata
Episode 5 : Fakta ,Ataukah Fatamorgana? (1) Seraut wajah tampak di depan Chika. Chika menarik napas lega. Terdorong sebuah bisikan yang entah dari mana, Chika menatap lekat Sosok di depannya, seolah tengah mencermati. Beruntung sekali Chika. Yang ditatap, Seorang Wanita yang berpakaian Perawat tidak tampak tersinggung ‘diperlakukan’ demikian oleh Chika. Wanita itu justru menyenyuminya. “Selamat sore. Mau lihat bayi atas nama siapa, Mbak?” tanya Perawat itu dengan ramah. “Sekarang memang sudah masuk jam bezuk sore,” sambung Sang Perawat menjelaskan. Chika menggeleng pelan dan berkata, “Oh, enggak, Suster. Bukan mau melihat Dedek bayi.” Sang Perawat mengangkat alisnya dan menyahut, “Lho kok? Bagaimana maksudnya, Mbak?” Chika gagal menyembunyikan senyum malunya. Dia sedikit tersipu. “Eng..., begini. Saya malah baru tahu, di sini ruangan bayi,” kata Chika. Terlihat Sang Perawat menahan senyumnya. “Oooh..., begitu. Kenapa, Mbak?” tanya Sang Perawat. “Soalnya begini Suster. Saya melihat ada Seorang Wanita hamil, yang suka lama, melihat ke arah sini. Jadi saya penasaran, ini ruangan apa sebenarnya. Biasanya saya nggak bisa jalan-jalan lama begini, karena harus menjaga Bunda saya. Ini tadi, Saudara Sepupu saya kebetulan datang menengok, jadi bisa saya titipi Bunda saya sebentar.” Sang Perawat tersenyum maklum. Ia mengangguk-angguk dan berkata, “Mungkin Ibu hamil itu sudah nggak sabar, mau melihat calon bayinya. Apalagi, kemungkinan waktu melahirkannya sudah dekat.” “Iya, saya juga mikirnya seperti itu,” sahut Chika. Lalu tambah Gadis itu, “Ini, ruangan perawatan untuk bayi, ada di satu lantai, dengan kamar perawatan buat Orang dewasa, ya, Suster?” Sang perawat tidak segera menjawab. Seakan-akan pertanyaan Chika merupakan jenis pertanyaan yang sulit. Chika agak menyesal dan tersenyum ramah, bermaksud membebaskan sang Perawat dari kewajiban untuk menjawab pertanyaannya. “Oh, maaf, Suster. Tidak dijawab juga tidak apa-apa, kok. Soalnya saya penasaran saja, biasanya ruangan untuk bayi dan orang dewasa suka beda lantai,” ralat Chika tak enak hati. Kini gantian Sang Perawat yang tersenyum ramah pada Chika, lantaran menyaksikan air muka Chika. Ia menjawab, “Ini sebetulnya ada dua gedung, Mbak. Jadi, yang sebelah sini, gedung lama. Dulunya adalah bangunan RSIA, Rumah Sakit Ibu Dan Anak. Tetapi setelah diambil alih management-nya, jadi rumah sakit umum. Nah, berbatas gerai lift, terus area tangga, seperti penghubung dengan gedung barunya. Batasnya, ya Nurse station yang di depan sana itu. Itu ada di gedung barunya, gedung tambahan, karena Pasien Orang dewasa terus bertambah.” “Ooo, begitu,” sahut Chika. Lantas Chika buru-buru mohon diri karena tak ingin menyita waktu berharga dari Sang Perawat. Sejauh ini, hanya sebatas itu saja yang informasi yang didapat oleh Chika. Sudah barang tentu, rasa penasaran semakin kuat saja merundungnya. “Hm. Masa sampai besok aku sama Bunda meninggalkan rumah sakit ini setelah dijemput sama bang Erry, aku nggak bisa memecahkan teka-teki ini sih?” gumam Chika lirih, seorang diri. Chika melirik jam dinding yang tergantung di dinding kamar perawatan. Sekarang sudah pukul setengah dua lewat dua puluh menit. Pun begitu, matanya belum juga mau diajak kompak olehnya. Alih-alih bekerja sama, matanya membangkang, menolak untuk dipejamkan. Chika berusaha menyandarkan punggung ke kursi dan mengundang perasaan rileks yang dipikirnya akan manjur untuk mengundang kantuk yang dapat mengantarnya tidur, tetapi malangnya tak banyak berpengaruh. Pandangan mata Chika melayang ke segenap ruang perawatan. Dia merasa suasana yang senyap ini sedikit berbeda. Rasanya demikian asing. Hampa. Luas, lenggang. Bak ruangan tanpa sekat, tanpa batas. Bak ada kekuatan yang siap menghisap Siapa saja untuk kemudian menghilang buat selamanya. Ada perasaan ngeri yang menyergap Chika. Saat menyibak sedikit gordyin yang ada di dekat pembaringan Ibu Sarwendah, dia dapat melihat gordyin yang berada di dekat pembaringan Pasien satunya tertutup rapat. Hal yang umum, namun kali ini sungguh menerbitkan perasaan suram yang mencekam. Chika mengangkat kedua kakinya ke kursi, dan memeluk lututnya, berusaha lagi memejamkan mata. Diundangnya kantuk sembari terus berdoa di dalam hati. Malangnya, badannya yang tadi sempat merasa lelah, kini malah terasa segar bugar. Bagaimana mau bisa tidur? Dia malahan merasa gelisah luar biasa, entah kenapa. Semakin dia mencari bertanya-tanya dan mencari jawab, semakin berdebar-debar hatinya. Chika menurunkan kedua kakinya. Diperhatikannya wajah Sang Bunda. Diulurkannya tangannya, membelai perlahan wajah Sang Bunda. Kemudian, Chika mencondongkan wajahnya dan mengecup kening Sang Bunda. “Sembuh, ya Bunda. Dan sehat terus. Besok malam kita sudah tidur di rumah kok, seperti harapan Bunda,” bisik Chika lembut. Usai mengatakan hal itu, sebuah perasaan bosan melanda Chika. Dia masih berusaha bertahan di dalam ruangan, tepatnya di sisi pembaringan Sang Bunda. Tetapi begitu melihat Sang Bunda tertidur demikian elap, dia memutuskan untuk bangkit dari duduknya. “Bunda, Chika nggak bisa tidur nih. Chika juga bosan dan mati gaya rasanya. Iseng banget rasanya. Chika ke luar sebentar, ya, mau bikin kopi. Chika ambil air panas di Nurse station dulu,” bisik Chika pelan. Tidak ada sahutan dari Sang Bunda, karena Sang Bunda mungkin tengah dibuai mimpi saat ini. Chika mengambil kopi sachet di atas meja. Duh, rasanya dia sungguh-sungguh bingung. Sebab sementara dia tidak bisa tidur, tetapi juga tidak bisa melakukan apa-apa begini. Mau berselancar di dunia maya, terpaksa diurungkan karena kuota internetnya ternyata habis. Karena terlampau terfokus pada hal-hal lain yang menyita pikirannya, Dia juga lupa untuk mengisi pulsa saat membeli makanan tadi sore. Mau membaca buku cetak yang dibawanya, penerangan ruangan sangat kurang mendukung. Mau ngemil sesuatu, sudah tidak berselera. Ya kalau sudah begini, ngopi akhirnya menjadi satu-satunya pilihannya. Dan lagi, dengan mengunjungi Nurse station, dia berpikir siapa tahu kejenuhannya berkurang, kan? Setidaknya, dia bisa menyapa Perawat yang sedang berjaga di sana. Menyapa Seseorang yang masih sama-sama terjaga di jam-jam seperti ini. Untuk meminimalisir suara yang ditimbulkan dari langkah kakinya, Chika melangkah perlahan, bahkan sedikit berjinjit. Gadis itu meraih handel pintu, menggerakkannya sehati-hati mungkin. Dia pantang mengganggu ketentraman Siapa pun yang sedang istirahat di ruangan rawat 303 ini. Setibanya di luar, Chika langsung menuju ke Nurse station. Terpikir olehnya, keberadaan Wanita hamil yang pernah dilihatnya mengambil air di dispenser di depannya. Hati Chika tergelitik. Ini sudah merupakan malam kelima berada di sini, akan tetapi anehnya dia baru tersadar bahwa letak Nurse station ini amat sangat dekat dengan kamar perawatan 303. Hati Chika bertanya-tanya, di manakah sekarang Wanita hamil yang dilihatnya lebih dari sekali itu? Sedang apa dia? Sudah tidurkah? Apakah Kerabat yang ditungguinya sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter? Bukannya kemarin-kemarin, sekitar jam-jam segini, dia ada di luar ruang perawatan? “Selamat malam, Suster,” sapa Chika pada Suster yang sedang mencatat sesuatu di atas kertas. Yang disapa mengangkat wajahnya. “Selamat malam,” sahut Suster itu. “Jaga sendiri ya, Suster?” tanya Chika lagi. “Enggak, Mbak, Teman-teman sedang istirahat di dalam. Kan gantian,” jelas Sang Suster. “Oh, begitu. Saya minta air panasnya, ya, Suster,” ucap Chika sopan. “Silakan,” sahut sang Suster. “Terima kasih. Numpang ngaduk kopi di sini juga, Suster,” kata Chika kemudian. Sang Suster menyahuti dengan senyuman manis, kali ini. “Nggak bisa tidur, ya, Mbak?” tanya sang Suster. Chika mengangguk kecil. “Iya nih. Tanggung juga lagi pula. Dua setengah jam lagi juga sudah subuh. Pengen cepat pagi, dan ajak Bunda saya pulang ke rumah lalu istirahat di rumah,” cetus Chika. “Oh, Bundanya yang sakit, ya? Kamar perawatan berapa?” tanya sang Suster. “Itu, Suster, kamar 303. Ibu Sarwendah,” jawab Chika. “Ibu... Sarwendah?” tanya sang Suster, setelah mengingat-ingat. Chika lekas menganggukinya. “Sus, ngomong-ngomong, Suster pernah melihat ada Ibu hamil yang menunggui Kerabatnya, nggak?” tanya Chika. “Wanita hamil, Mbak?” “Iya Suster. Saya beberapa kali melihat dia, soalnya. Kasihan kalau dipikir-pikir, sudah dianya hamil tua begitu, menunggui Pasien, pula,” kata Chika. “Wanita hamil? Masa sih?” Sang Suster mengulang pertanyaannya. Bahkan kali ini dia sampai menghentikan kegiatanya menulis di kertas. Seakan-akan berbalik mempertanyakan apakah Chika salah melihat. “Iya, saya melihatnya semenjak hari pertama Bunda saya mendapatkan kamar di lantai ini.” “Oh, ya?” Kini sang Suster tampak berpikir keras. Chika mengiakannya. “Betul, Suster. Pertama kali, saya melihatnya di sini, sedang mengambil air di dispenser. Pernah juga saya melihatnya termenung di dekat lift yang itu tuh,” Chika menunjuk ke arah deretan lift. Lalu sambungnya, “Dan dua kali saya melihat Ibu hamil itu berdiri lama di depan sana, di gedung lama. Gedung yang di kemudian hari saya ketahui adalah ruangan bayi.” Mendengar uraian panjangnya, sang Suster justru termenung. “Suster sungguhan nggak pernah melihat Wanita hamil yang saya maksud?” tanya Chika, sudah mulai kurang sabar. Suster tersebut justru menampilkan perubahan mimik muka, seolah baru teringat sesuatu. “Eng.., saya baru masuk lagi hari ini, Mbak. Soalnya, minggu lalu kan, saya kebagian shift malam terus, jadi off-nya agak lama,” terang Suster itu. Jawaban yang terdengar wajar dan tidak mengada-ada. Tetapi Chika menangkap adanya keengganan dari Sang Suster untuk memperpanjang bahasan. Chika menerjemahkannya, sebagai isyarat bahwa dirinya sudah cukup mengganggu sang Suster yang sedang bertugas. Menyadari hal itu, Chika pun memilih untuk secepatnya memohon diri. “Oh, ya, silakan, Mbak. Semoga Mbaknya sempat beristirahat sebelum pagi. Supaya badannya tetap fit, ya,” ucap sang Suster. “Terima kasih. Mari, Suster,” kata Chika akhirnya, yang langsung diangguki oleh Suster yang berjaga di Nurse station. Chika membalikkan badan sembari membawa gelas berisi kopi yang telah mulai dingin. Ternyata, lumayan lama dia bicara dengan Suster barusan. Dia segera menuju kamar 303. Saat tangannya hendak menyentuh handel pintu, tiba-tiba saja dia tergoda untuk menatap jauh ke arah ruangan perawatan bayi. Koridor di depan ruangan bayi tampak amat lenggang. Yang mengusik perasaannya, lampu di sepanjang koridor tidak semuanya dinyalakan sebagaimana koridor di depan Nurse station. Semula, Chika berpikir bahwa rumah sakit sengaja melakukan hal tersebut untuk tujuan penghematan biaya operasional. Tetapi, menilik terlampau suramnya suasana di sana, Chika merasa itu amatlah berlebihan. Sebab, perbandingan antara lampu yang dinyalakan dengan yang dimatikan, bukan satu berbanding satu, melainkan hampir satu berbanding lima. Chika menajamkan penglihatannya, ingin memastikan bahwa Wanita hamil itu berada di lorong atau kah tidak. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN