Cerita 2 : Wanita Hamil Di Rumah Sakit (3)

1121 Kata
Episode 3 : Dan Terjadi Lagi.... Malangnya, sebagaimana sebelumnya, hasrat Chika kembali terkendala saat ini. Ada sesuatu yang mengusiknya, memecah konsentrasinya. Seorang Dokter jaga yang keluar dari kamar perawatan di dekat tempatnya berdiri sekarang, tampaknya membahas sesuatu dengan seorang kerabat pasien yang keluar dari kamar perawatan. Bahasan yang serius, menyangkut perkembangan kondisi kesehatan pasien yang sepertinya sengaja dilakukan di luar kamar perawatan dengan pertimbangan supaya tidak didengar langsung oleh pasien yang bersangkutan. Barangkali, itu permintaan dari Sang Kerabat Pasien demi kesehatan mental Sang Pasien. Menyaksikan hal itu, hati Chika gentar seketika. Ah, lagi-lagi dia teringat akan Sang Bunda. Mendadak rasa cemas menyelinap di benaknya. Dia tak mau meninggalkan Sang Bunda kelamaan. Dia sadar bahwa dia harus kembali ke sisi pembaringan Bundanya sesera mungkin sebelum Sang Bunda terjaga dan memergoki dirinya tidak berada di dekat Sang Bunda. Dia ingat sekali, saat terjaga, akhir-akhir ini Sang Bunda kian menunjukkan kegelisahan jika tidak ada Siapa-siapa di sisinya dan mempertanyakan mengapa dirinya terlampau lama beranjak dari sisi pembaringan. Chika maklum akan hal ini. Sepertinya, suasana rumah sakit membuat Bundanya yang Tercinta merasa tidak nyaman. Dipikirnya, kondisi kesehatan Pasien lain, pembicaraan mengenai perkembangan kesehatan Pasien lain pun, tak jarang memengaruhi kondisi pasien itu sendiri, dalam hal ini Sang Bunda. Dia tahu sendiri, bahwa Sang Bunda orangnya cukup paranoid, soal yang begitu-begitu. Sudah begitu, Reva yang sebelumnya dirawat di sebelah Ibu Sarwendah juga sudah diijinkan untuk menjalani rawat jalan karena dinilai kondisi kesehatannya kian membaik dan memenuhi syarat untuk melakukan rawat jalan. Nah, gantinya setelah Reva pulang ke rumah adalah Pasien lain yang sudah tua dan kendala kesehatannya sepertinya lebih serius. Tentu saja hal ini turut memengarui ketentraman hati Seorang Ibu Sarwendah. Ada kecemasan yang kerap diungkapkan oleh Ibu Sarwendah kepada Chika ketika dirinya tengah disuapi atau diberikan obat serta vitamin oleh Sang Putri. * Chika mengucap syukur yang tak terhingga. Perasaannya sungguh plong mendengar penjelasan Dokter tadi. Dokter spesialis yang merawat Ibu Sarwendah selama di rawat di rumah sakit ini, mengatakan bila hingga esok pagi kondisi Ibu Sarwendah terus membaik, maka Ibu Sarwendah diperbolehkan untuk pulang menjelang siang harinya dan untuk selanjutnya cukup menjalani rawat jalan saja. “Bunda, Chika senang deh. Besok kita pulang ke rumah, Bunda,” kata Chika diiringi senyum lebar. “Begitu, ya? Wah, Bunda senang dan lega,” sahut Ibu Sarwendah. Chika mengangguk mantap. Sepasng matanya berbinar, mewakili suasana hatinya yang dipenuhi dengan suka cita. “Benar dong, Bun. Nah, sekarang Bunda istirahat, ya. Kan Bunda sudah minum obat. Chika sudah bereskan pakaiannya Bunda juga supaya besok kita nggak terburu-buru dan nggak ada yang ketinggalan. Terus besok itu, Bang Erry juga bakal cuti, buat menjemput Bunda,” terang Chika lagi. Sang Bunda tersenyum dengan matanya. “Iya, kamu juga harus istirahat ya, Nak. Kamu pasti juga capek, kan?” sahut Ibu Sarwendah, kemudian mencoba memejamkan mata. Chika menganggukkan kepalanya dan tersenyum lagi. Hatinya terasa sangat lega, mendapati wajah Bundanya itu terlihat sudah lebih segar sekarang. Dan yang terpenting baginya, Bundanya itu memang sudah tidak sabar lagi untuk sesegera mungkin kembali ke rumah. ... Menurut Ibu Sarwendah, dua malam berturut-turut ini, Dia merasa situasi di kamarnya lebih mencekam bila dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Ya, kemarin malam, satu hari sebelum Dokter Spesialis datang memberitahu kabar gembira kepada Chika, Sang Bunda sudah sempat mengeluh, mengatakan bahwa dirinya diberi penglihatan yang menyeramkan, di ruangan rawat mereka. “Bunda, sebaiknya jangan terlalu dipikirkan hal-hal yang macam itu. Justru Bunda harus segera pulih supaya kita lekas pulang ke rumah. Kalau Bunda memikirkan hal-hal lain selain fokus pada kesehatan Bunda, nanti takutnya malah memperlambat penyembuhan lho,” hibur Chika tadi malam. Sang Bunda bukannya menyahuti, melainkan mengedarkan pandangan matanya ke segenap kamar perawatan mereka. “Bunda, ada apa? Ada yang mengganggu pikiran Bunda?” tanya Chika penuh perhatian, ketika melihat Sang Bunda menunjukkan ekspresi terkejut. Sang Bunda mengangguk dengan berat hati. Tangannya terulur dan meraih tangan Chika, menggenggamnya erat seperti hendak saling menguatkan satu sama lain. Tak ingin menebar rasa takut, tetapi juga tak sanggup untuk memendam sendiri rasa takut itu di benaknya. Ibu Sarwendah terlihat menimbang sesaat dalam diam sebelum berucap. “Iya, Chik. Bunda melihat ada Wanita yang masuk ke kamar ini saat kamu sedang ke bagian Administrasi. Bunda deg-degan melihatnya. Dari arah pintu, Dia seolah mau mendekat ke pembaringan Bunda, tadi malam, tapi nggak jadi. Bunda sudah ketakutan setengah mati. Dia memang nggak bilang apa-apa. Cuma melihat ke arah Bunda saja beberapa lama. Lalu Dia akhirnya mendekat ke pembaringan sebelah, lama Dia berdiri di situ. Terus kemarin Bunda juga melihat, sewaktu pintu terbuka, ada beberapa Sosok asing, yang melintas di koridor di depan sana. Mereka berhenti dan menatap ke dalam sini, tapi nggak masuk. Mereka itu seperti mengamati keadaan di dalam sini,” cetus ibu Sarwendah, setengah berbisik. Seakan-akan dia juga tak mau ucapannya terdengar oleh Orang lain selain Chika, agar tidak menebarkan rasa panik yang berlebih. Betapapun Chika berusaha untuk tidak terlalu memikirkan secara serius ap ayang dikatakan oleh Sang Bunda, toh nyali Chika ciut juga. Chika menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan amat sangat perlahan. Seolah-olah membuang beban yang menyesaki pikirannya. Pasalnya, Dia sudah keerap mendengar, hal-hal seperti yang dikatakan sang Bunda, sangat mungkin terjadi. Yang pertama, tak mustahil Bundanya berhalusinasi. Kemungkinan lain, bisa saja yang melintas itu memang Kerabat dari Pasien lain, yang tidak dirawat di kamar tersebut. Chika berusaha membujuk hatinya dan berbincang dalam diam kepada dirinya sendiri, “Bisa saja, kan, mereka sedang mencari dan memastikan di kamar berapa Saudara atau Kerabat mereka menjalani rawat inap? Dan pada saat seperti itu, Bunda melihat dari jarak yang agak jauh. Hanya sepintas lalu pula. Jadi pikirannya macam-macam. Apalagi mereka juga nggak masuk dan bertanya langsung. Wajar kalau Bunda paranoid dan menyangka yang enggak-enggak.” Tapi, bukannya tetap ada kemungkinan lain? Bagaimana kalau yang disaksikan sama Bunda itu adalah Sosok yang nggak kasat mata? Ehhh... ini kan rumah sakit? Pernah ada Pasien yang meninggal di sini, kan, dan barangkali mereka terjebak di alam antara? Mereka sudah meninggal, tetapi ‘urusannya’ dengan dunia fana belum usai atau mereka belum sadar kalau mereka telah tiada. Akhirnya, itu menghalangi mereka untuk ‘naik ke atas’ menghadap Sang Pencipta. Iya, aku sering dengar yang begini. Ada yang lantaran masih mempunyai ikatan dengan dunia ini, entah karena terlalu cinta dengan Orang-orang tersayang mereka, terlalu benci dan belum saling memaafkan dengan musuh atau teman mereka, atau sebab lainnya. Itu yang dibilang Arwah Penasaran barangkali, ya? Berbagai pemikiran ini singgah begitu saja di kepala Chika. Membuat dirinya juga sulit tidur dan ikut-ikutan tak sabar mendengar kepastian kapan Sang Bunda boleh pulang ke rumah. ... Chika tercenung mengingat pembicaraan dengan Sang Bunda tadi malam. Makanya sungguh tak heran, begitu mendengar kabar bahwa Bundanya boleh segera pulang dari rumah sakit, kelegaan Chika mencuat. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN