Cerita 2 : Wanita Hamil Di Rumah Sakit (9)

1240 Kata
Episode 9 : Menjelang Kepulangan Ibu Sarwendah Chika melihat ke arlojinya sebelum menjawab ke Sang Bunda. “I.. iya, Bun. Semestinya setengah jam lagi, Abang baru mendarat. Bunda yang sabar, ya. Nanti, begitu Bang Erry datang, kita bisa langsung pulang deh. Sekarang, lebih baik kita doakan supaya Nenek Yunita segera sehat kembali dan juga boleh pulang ke rumah, seperti halnya Bunda,” sahut Chika. Di detik ini teringatlah dia, bahwa pulsa maupun kuotanya sama-sama nihil. “Amin,” balas Ibu Sarwendah segera. “Bun, kalau Chika ke bagian Administrasi dulu buat membereskan tagihan, nggak apa, kan? Chika tinggal Bunda sebentar saja kok. Supaya nanti sewaktu Bang Erry datang kemari, kita bisa langsung pulang. Jadi Bunda nggak kelamaan menunggu juga,” kata Chika. Di luar dugaan, Ibu Sarwendah langsung menggeleng keras. “Jangan, Chik. Bunda nggak mau ditinggal sendirian di sini. Tunggu saja sampai Nenek Yunita dan Bu Rohaya balik ke kamar, baru kamu ke ruangan Administrasi, ya?” tak disangka, Ibu Sarwendah kemudian merajuk seperti anak kecil. Chika mengangakat alisnya. “Lho, kenapa, Bunda? Nanti biar pintunya Chika buka saja. Lagian, ini kan pagi, Bunda. Keadaan sudah terang benderang,” kata Chika dengan nada persuasif. Ibu Sarwendah enggan menjawab, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan lebih kuat. Dia bahkan sedikit merengut, menunjukkan sikap enggan bernegosiasi. Chika hendak mengorek alasannya, tetapi dia gentar sendiri, takut kalau-kalau jawaban yang akan didengar dari mulut Bundanya seperti perkiraannya. Ih. Jangan ah. Bukannya kemarin-kemarin juga Bunda sudah bercerita yang agak-agak seram ke aku? Kenapa juga aku pakai mancing-mancing, cari perkara saja, kata Chika dalam hati. “Pokoknya Bunda nggak mau kamu tinggal sendirian. Titik. Kamu di sini dulu, sampai ada orang lain masuk kemari,” tegas Ibu Sarwendah kemudian. Chika menghela napasnya, ditahannya beberapa detik sebelum diembuskannya secara amat perlahan. “Iya deh, Bun. Sekarang Chika mau cuci muka sebentar, ya, sama gosok gigi sekalian,” kata Chika pula. “Iya, tapi pintu kamar mandinya dibuka ya, Chik. Supaya kalau Bunda panggil, kamu bisa dengar,” kata Ibu Sarwendah, melontarkan syarat kepada Sang Putri. Pantang untuk berdebat dengan Sang Bunda, Chika bergegas menyanggupinya. “Sebentar kok, Bun. Nih, tirainya Chika buka semua deh,” sahut Chika cepat-cepat. Chika menarik tirai yang hanya setengah terbuka itu, hendak membuka seluruhnya. “Jangan!” cegah Ibu Sarwendah dengan ekspresi cemas. Chika menyipitkan mata. Gerakan tangannya tertahan seketika. Dia jadi penasaran. Chika menelan ludah mendengar suara Ibu Sarwendah yang menyiratkan rasa takut yang sangat. “Oke, oke kalau begitu. Sebentar Chika tinggal ya. Nggak lama, Bun.” Chika pun segera melesat ke kamar mandi usai menyambar pasta gigi dan sikat gigi yang ada di atas meja. Dia sungguh tak ingin membuat Bundanya tercinta menanti terlalu lama. Dia juga tak mau berdebat dengan Bundanya. Dan sesuai janjinya, Chika memang tidak menutup pintu kamar mandi. Layaknya Seorang Anak yang berbakti, dia membasuh wajah dengan terburu-buru, menyikat giginya secara serampangan agar dapat kembali secepatnya ke sisi Sang Bunda. Apa yang diusahakan Chika itu menuai hasil baik. Ibu Sarwendah menarik napas lega melihat kedatangannya. Sewaktu Chika menyisiri rambutnya dan memoleskan bedak tipis ke parasnya, Chika bertanya, “Bunda mau minum teh, nggak? Ini sudah dingin.” Ibu Sarwendah menggeleng saja sebagai jawabannya. Tadi saat Chika tidur, dia sudah memakan sarapan pagi yang disediakan oleh rumah sakit. Sayangnya, baru sepertiga dari makanan itu masuk ke mulutnya, kepanikan di ranjang sebelah mengusiknya, mengguncang-guncang perasaannya, dan tentu saja menyurutkan nafsu makannya. Seketika dia merasa kenyang bahkan ke arah mual, tadi pagi. Telepon genggam Chika berbunyi. Chika melihat nama pemanggilnya. “Hallo, Chika, di-video call nggak diangkat-angkat kamu tuh! Pasti deh, kehabisan kuota. Dinyalain gih, sekarang. Abang sudah isikan barusan,” sambut Erry begitu mendengar Chika mengucap kata ‘Hallo’, lantas langsung menutup panggilan teleponnya tanpa menunggu Chika bertanya barnag satu kalimat saja. Chika menurut. Ia segera menyalakan data selulernya. Secepat itu pula, telepon genggamnya berbunyi. Sebuah panggilan video rupanya. Dia tersenyum dan berkata pada ibu Sarwendah, “Bang Erry, Bun. Bunda mau bicara?” Ibu Sarwendah menyambutnya dengan anggukan mantap. Chika pun mengarahkan layar telepon genggamnya ke wajah Sang Bunda. “Hallo Bunda! Wah Erry senang. Bunda sudah terlihat jauh lebih segar. Sabar, ya Bun, Erry baru mau cari taxy. Erry sengaja nggak bawa koper, supaya nggak lama menunggu bagasi. Chika mana, Bun?” sapa Erry Pranata, Putra sulung dari Ibu Sarwendah. “Hallo, Bang! Abang hati-hati di jalan, ya. Nanti, Bang Erry juga agak sabar, ya, karena Chika harus selesaikan urusan administrasi dulu,” kata Chika sambil memperlihatkan wajahnya. “Lho, uangnya masih kurang, ya Chik? Kalau begitu, tunggu Bang Erry datang sekalian. Biar Bang Erry yang bereskan semua,” kata Erry. “Oh, bukan itu. Cukup kok Bang, yang sudah Abang kirimkan. Tapi itu... Bunda yang nggak mau ditinggal. Katanya...,” Chika menggantung ucapannya, lantas mengerling ke arah Bundanya. “Kenapa, Bunda? Kan, cuma sebentar, untuk bereskan administrasi?” tanya Erry lembut. “Erry! Bunda takut. Bunda nggak mau dikasih lihat Wanita itu lagi. Tadi malam, dia datang lagi, lama berada di sebelah ranjangnya Nenek Yunita. Semenjak Nenek Yunita dirawat di sini, dia memang suka datang. Bunda benar-benar takut..,” ucapan ibu Sarwendah membuat hati Chika kebat-kebit. Di seberang sana, Erry turut terdiam beberapa saat lamanya. “Ya sudah, nggak apa kalau begitu. Nah, Erry tutup dulu, sudah dapat nih, taxy-nya. Sampai ketemu di rumah sakit,” pungkas Erry pula. “Hati-hati di jalan Erry,” kata Ibu Sarwendah. “Baik, Bunda. Daagh Bunda, daagh Chika.” “Daagh Abang,” Chika pun melambaikan tangan dan menutup panggilan video itu.Lalu, dia memandang ibu Sarwendah tanpa mengatakan apa-apa. “Kamu kenapa, kok begitu ngelihatin Bunda-nya?” tanya Ibu Sarwendah. Chika berpikir sejenak. Sekaan-akan hendak mengungkapkan sesuatu hal yang terlarang. Dia menghitung dalam diam untung ruginya segala. “Bun..., apakah yang Bunda lihat belakangan ini.., terutama tadi malam, apakah Wanita hamil?” terucap juga kalimat tanya ini dari mulut Chika, pada akhirnya. Dan mendadak saja, suasana asing itu menyapa lagi. Perasaan seperti berada di dunia yang berbeda. Rasanya bagai terkurung, terpencil dan jauh dari mana-mana, Tak tersentuh dunia luar. Chika merasa terkucil. Chika sampai refleks memegangi besi ranjang, takut dia ‘terbawa’ dan ‘terhisap’ dalam aura yang ganjil itu. “Kok kamu tahu Chik? Apakah kamu... pernah melihat juga?” tanya Ibu Sarwendah. Belum sempat Chika menjawab pertanyaan dari Bundanya, Suster Ghea dan Suster Priska masuk ke kamar 303. Wajah mereka tampak sedikit keruh. Padahal setahu Chika, mereka berdua itu masuk shift pagi, jadi semestinya kan tidak memperlihatkan raut wajah yang selelah itu. “Selamat pagi, Bu Sarwendah, Mbak Chika,” sapa Suster Ghea ramah. “Selamat pagi, Suster Ghea, Suster Priska,” sahut Chika dan Bundanya serempak. “Wah, hari ini mau balik ke rumah, ya, Bu Sarwendah. Dijaga terus ya kesehatannya,” kata Suster Ghea. “Iya, Suster.” Chika yang menyahut. “Oh, ya, Nenek Yunita kok belum balik-balik juga dari ruang tindakan?” tanya Ibu Sarwendah menyambung sahutan dari Chika. Alih-alih menjawab, Suster Ghea dan Suster Priska justru saling berpandangan satu sama lain. Seperti enggan untuk mengungkapkan sesuatu yang baru saja mereka ketahui. “Semoga Nenek Yunita tertolong dan kembali sehat,” kata Chika, setengah bergumam. Aneh. Tidak ada sahutan dari kedua orang Suster itu. Mereka hanya melakukan tugasnya, memeriksa tekanan darah Ibu Sarwendah. Lantaran tak mau dibuat penasaran, Chika mendekati Suster Ghea. “Suster Ghea, Nenek Yunita baik-baik saja, kan?” bisiknya setengah mendesak. Suster Ghea merasakan lidahnya kelu. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN