Episode 8 : Dicekam Oleh Rasa Panik Dan Takut
Chika menarik napas panjang.
Diam-diam Chika bersyukur sebab suaranya sudah dapat dikeluarkan kembali. Akan tetapi kini dia merasa matanya yang bermasalah. Ya, Wanita hamil tua itu tidak terlihat di dekat pembaringan Nenek Yunita. Walau Bu Rohaya tidak menyingkap tirai secara keseluruhan, dia sempat melakukan gerakan mengintip barusan. Dan dia sangat yakin, tidak ada SOSOK itu di dalam sana.
Masa sih, dia pergi secepat itu? Atau, pandangan mataku masih terhalang tirai? Dia ada di balik tirai yang di sebelah sana? Apa sebaiknya langsung kutanyakan saja ke Bu Rohaya? Sopan nggak, ya? Tanya Chika di dalam diam.
“Mbak, Chika Mbak sakit, kali ya, karena kecapekan?”
Chika menggelengkan kepalanya dengan gerakan super minim. Wajahnya masih menyiratkan kebingungan, seperti halnya tadi.
Bu Rohaya jadi iba melihatnya. Dipikirnya. Chika tak enak hati untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya dirasakannya.
“Mbak Chika istirahat saja. Mari saya antar ke tempat Mbak. Ini nanti biar dibersihkan sama bagian Cleaning Service saja. Saya akan kasih tahu Suster,” kata bu Rohaya seraya membimbing Chika melangkah.
“Maaf, saya jadi membangunkan bu Rohaya gara-gara cangkir kopi yang jatuh. Tadi... kopinya masih panas soalnya,” kata Chika setelah sampai di dekat pembaringan Bundanya.
Bu Rohaya menggeleng maklum.
“Nggak apa kok Mbak Chika. Kan Mbak Chika nggak sengaja,” sahut Bu Rohaya dengan suara lirih.
Jawaban Bu Rohaya bukannya membuat Chika merasa lega karena terbebas dari rasa bersalah. Sebaliknya, dia justru diterpa rasa kecewa, karena secara tak langsung Bu Rohaya mengakui bahwa dirinya terjaga lantaran suara cangkir yang pecah.
Jadi bukannya suara kilat yang kencang itu? Padahal suara cangkir pecah itu nggak ada seberapanya dibandingkan dengan suara kilat tadi. Duh! Atau jangan-jangan, Bu Rohaya juga nggak mendengar suara kilat itu? Ya ampun...! Ini aku jadi merasa diteror. Sudah mendengar suara berisik tanpa wujud, mendengar suara kilat, dan melihat Sosok Wanita hamil tua itu pula! Apa sih..., keluh Chika dalam hati.
Wajah Bu Rohaya tampak tenang saja. Dia bahkan mengulas senyum tipis di bibirnya. Senyum yang tulus untuk membesarkan hati Chika.
“Nah, Mbak Chika istirahat dulu. Jangan diforsir tenaga dan pikirannya. Jagain orang sakit itu, memang kadang kita suka lupa menjaga kesehatan sendiri. Saya paham soal itu. Nah, saya tinggal dulu. Saya mau kasih tahu Suster dulu deh, biar bisa dipanggilkan bagian cleaning service untuk segera membersihkan pecahan cangkir,” kata Bu Rohaya bijak.
“Terima kasih, Bu,” ucap Chika yang masih dicekam rasa takut, bingung dan panik yang sayangnya, tidak dapat diungkapkannya kepada Bu Rohaya.
“Sama-sama. Mbak Chika kan banyak membantu saya juga. Kemarin-kemarin juga membelikan saya makanan dan ikut menjaga Ibunya saya selagi saya ke bagian Administrasi untuk menambah jumlah uang muka yang diperlukan,” ucap Bu Rohaya.
Chika tak dapat mengatakan apa-apa lagi Dia hanya mengangguk kecil. Disimpannya keresahan hatinya hanya untuk dirinya sendiri. Dia merasa tak mungkin untuk mengungkapkannya kepada Bu Rohaya.
Bu Rohaya langsung beranjak pergi.
Chika mengurut dahinya, berusaha meredakan pusing yang melanda.
*
Jam dinding di ruangan perawatan 303 menunjukkan baru pukul setengah delapan pagi sekarang.
Chika merasa dirinya baru satu menit memejamkan mata, tetapi sudah terbangun oleh kesibukan di kamar perawatan tersebut.
Bukan, itu bukan kesibukan lantaran Suster hendak memandikan Bundanya yang tercinta. Sebab, Para Suster yang demikian perhatian itu, telah usai membasuh wajah dan tubuh Ibu Sarwendah secara super hati-hati, satu jam yang lalu. Mereka melakukannya dengan amat pelan, setelah Ibu Sarwendah memberi kode kepada mereka berdua, agar jangan sampai Putrinya yang sedang tidur dalam posisi duduk dan bersandar ke dinding itu, menjadi terbangun karena mendengar suara berisik. Kode yang ditangkap dengan baik dan segera diimplementasikan oleh dua Orang Suster itu.
Chika terbangun dari tidurnya, sebab ada kehebohan di kamar tempat Bundanya dirawat. Kepalanya masih terasa berat. Rasa kantuknya juga sama sekali belum sirna. Demikian pula dengan kesadarannya yang terasa belum pulih benar. Rasanya masih mengawang-awang.
Chika melebarkan matanya.
Samar-samar, dia melihat Para Medis menghentikan usaha untuk menolong Nenek Yunita di dalam kamar perawatan. Mereka kemudian mendorong ranjang Nenek Yunita ke luar dari kamar 303. Lalu yang terdengar oleh Chika adalah isak panik dari Bu Rohaya yang keluar dari dalam kamar perawatan, mengikuti pergerakan ranjang pasien ke ruang tindakan.
Hati Chika mencelos.
“Ada apa, Bun? Itu, Nenek Yunita mau dibawa kemana memangnya?” tanya Chika di sela gerakan jemarinya mengurut keningnya.
Ibu Sarwendah menatap murung padanya.
“Bun, ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Chika.
Didekatinya Ibu Sarwendah dan segera mencondongkan kepalanya.
Selagi dia membelai rambut Sang Bunda, Chika menangkap aura kesedihan bercampur ketakutan, di wajah Sang Bunda. Rasanya sungguh pedih hati Chika. Sungguh tidak nyaman menyaksikan Bunda yang dicintainya dalam keadaan demikian. Dia tak mau kesehatan Sang Bunda terpengaruh karena bersedih. Sangat tidak mau.
“Nenek Yunita anval, Chik. Kasihan sekali,” kata Ibu Sarwendah bak berbisik.
Sedih hati Chika mendengarnya.
“Kapan, Bun? Kok, aku nggak dengar,” sahut Chika.
Masa iya senyenyak itu tidurku sampai nggak tahu apa yang terjadi di dekatku? Rasanya mustahil, pikir Chika.
“Tadi Chik, sewaktu Para Suster baru selesai menggantikan pakaian Bunda. Kasihan, Bu Rohaya sampai panik. Suster langsung menolong dan memanggil Dokter jaga. Tetapi mungkin karena keadaan semakin parah, akhirnya Nenek Yunita diputuskan untuk dibawa ke ruang tindakan,” terang Ibu Sarwendah.
“Hah?” Chika terperangah.
Bayangan peristiwa yang dialaminya tadi pagi, penampakkan kembali Si Wanita hamil itu, suara berisik sekelompok Orang di luar kamar, pintu yang terempas, suara kilat, percakapan-percakapan aneh yang begitu dekat dengan kepalanya, hingga berbagai cerita yang didengarnya tentang Orang-orang yang akan ‘pergi’ ada kalanya didatangi oleh mereka yang telah lebih dahulu ‘pergi’, sungguh-sungguh membuat pikirannya berkecamuk.
Chika menggelengkan kepala kuat-kuat. Setengah mati dia menyangkal apa yang telah dia saksikan, berusaha menghibur dirinya sendiri.
Enggak. Enggak! Jangan sampai itu pertanda. Jangan sampai terjadi sesuatu hal yang buruk. Mungkin aku memang kecapekan jadi pikiranku melantur kemana-mana, bantah Chika dalam hati. Dia berusaha menyingkirkan bayangan-bayangan buruk yang tiba-tiba saja melintas.
Tanpa sadar Chika menggigit bibirnya.
Colekan Ibu Sarwendah di lengannya membuyarkan ketermenungannya.
“Iya, Bun. Ada apa?” tanya Chika.
“Kamu mikirin apa?”
Chika menggeleng. Dia tak mau memperlihatkan kecemasannya di depan Sang Bunda. Chika bahkan berusaha untuk tersenyum, walau senyum itu jadi terkesan tanggung.
“Chika...”
“Ya, Bunda.”
Kali ini Chika benar-benar mengesankan dirinya ‘tidak apa-apa.’
“Abangmu sudah mendarat belum? Kamu sudah bereskan barang bawaan Bunda? Coba tolong kamu hubungi Abangmu, supaya cepat datang kemari. Bunda ingin sesegera mungkin keluar dari rumah sakit ini,” kata Ibu Sarwendah lirih.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $