Episode 10 : Ada Yang Berpulang
Lantaran sangat penasaran, Chika menjawil lengan Suster Ghea.
“Suster..., apa yang terjadi? Nenek Yunita baik-baik saja, kan?” desak Chika.
Suster Ghea tidak segera menjawab.
Betapapun dirinya bekerja sebagai Seorang Perawat yang tentunya bukan satu dua kali harus menghadapi keadaan genting dari kondisi kesehatan Pasien, dan terkadang menghadapi Pasien yang menghadapi sakratul maut, tetap saja ada sisi hatinya yang kadang lemah. Dia masih ingat, pertama kalinya menghadapi Pasien yang menghembuskan napas terakhir di depannya setelah usaha penyelematan yang tidak berhasil, dia bahkan segera lari dan bersembunyi di gudang obat, bersandar pada pintu, menangkup wajahnya dan menangis pilu.
Kali ini pun, perasaan yang mirip dengan itu menyapanya kembali.
Dia tidak sampai hati sebetulnya, untuk menyampaikan kabar yang baru saja didengarnya beberapa menit yang lalu. Salah satu Rekan Sejawatnya mengatakan bahwa Nenek Yunita tidak tertolong lagi. Dan lebih dari itu, sekarang ini Para Medis tengah menanti siumannya Bu Rohaya yang langsung pingsan karena mendengar Ibu kandungnya meninggal dunia. Sebelum pingsan, Bu Rohaya memang mengatakan, tidak ada firasat apa-apa menjelang kepergian Sang Ibu. Karenanya, dia merasa amat terpukul dengan kepergian yang dirasa amat mendadak ini.
Kini, melihat tatap mata Chika yang bagai menuntut penjelasan, Suster Ghea terpaksa menyampaikan kabar buruk itu.
Mulut Chika langsung ternganga, sementara Ibu Sarwendah tampak bergidik ngeri.
Meski diam dan tanpa harus berkomunikasi secara verbal satu sama lain, keduanya sama-sama membayangkan Sosok yang sama. Ya, Sosok Si Wanita hamil tua. Sosok yang sepertinya ‘menjemput’ Nenek Yunita.
Perasaan Ibu Sarwendah kalut seketika.
“Ibu mau cepat pulang, Chik. Ibu nggak mau lama-lama di kamar ini. Ibu takut. Kita tunggu Abangmu di luar saja. Nah, sekarang kan ada Suster, kamu selesaikan Administrasi sana. Biar kita bisa cepat pergi setelahnya,” rengek Ibu Sarwendah.
Suster Ghea tampak menyesal telah berkisah tentang Nenek Yunita. Namun sudah terlambat untuk menarik kata-katanya.
Suster Priska mengambil inisiatif untuk menghibur Ibu Sarwendah.
“Ibu Sarwendah, tenang saja, Bu. Tidak ada apa-apa, kok. Saya temani Ibu di sini. Mbak Chika mau ke bagian Administrasi ya?” tanya suster Priska.
Ibu Sarwendah langsung menatap Sang Putri.
“Sana, Chik, kamu ke administrasi sekarang juga,” suruh Ibu Sarwendah cepat.
“Oh, iya, iya. Suster, maaf. Saya titip Ibu saya sebentar, ya,” pinta Chika.
Suster Priska mengangguk.
“Baik Mbak, silakan,” sahut Suster Priska ramah.
“Terima kasih sebelumnya, Suster. Maaf, kami merepotkan Suster jadinya,” ucap Chika.
“Terima kasih kembali. Tidak apa-apa, kok, Mbak,” balas Suster Priska. Terisrat kesungguhan dalam kalimatnya.
*
Chika telah menyelesaikan urusannya di bagian Administrasi. Dia bertanya ke salah satu Suster, di mana Bu Rohaya sekarang. Walau mungkin tidak akan banyak membantu, dia bertekad untuk menengok, mengucap bela sungkawa secara langsung, serta menawarkan untuk menghubungi Kerabat mereka dan menawarkan bantuan yang sekiranya dapat ia lakukan untuk memperingan beban Bu Rohaya.
Kedatangan Chika disambut oleh tangis histeris bu Rohaya yang baru saja siuman.
“Chika..., Ibu saya, Chika! Ibu saya meninggal. Padahal kemarin saya pikir kondisinya sudah membaik. Saya sampai pikir hari ini Ibu saya juga udah diperbolehkan pulang untuk berobat jalan. Nggak tahunya..., Ibu malah pergi meninggalkan saya,” ratap Bu Rohaya.
Pedih hati Chika mendengarnya.
Matanya sudah ikut berkaca-kaca.
Spontan Chika memeluk tubuh Bu Rohaya dan mengucap kalimat penghiburan. Kemudian dipinjamkannya pula telepon genggamnya untuk dipakai oleh Bu Rohaya, untuk menghubungi Saudaranya. Dia tahu, dalam keadaan kalut tadi pagi, mungkin saja Bu Rohaya meninggalkan telepon genggamnya di laci rak yang terletak di sisi ranajng Pasien.
Bu Rohaya tidak menolak. Ia segera menghubungi Saudaranya.
Pada waktu dia menyerahkan kembali telepon genggam Chika, Chika menggenggam erat tangannya. Seakan-akan hendak menguatkan hati Bu Rohaya.
Chika merasa seperti sedang berbicara dengan Bunda tercintanya saja.
Hati Bu Rohaya tersentuh, merasakan ketulusan hati Chika.
“Bu, Ibu yang sabar, ya. Yang kuat. Semoga Saudaranya Ibu segera sampai kemari. Nenek Yunita sudah tenang, Bu. Kita doakan agar Beliau mendapat tempat terbaik di sisiNYA saja, ya, Bu,” ucap Chika.
“Amin. Terima kasih Mbak Chika. Kalau Nenek Yunita ada salah sama Mbak Chika dan Bu Sarwendah, mohon dimaafkan supaya jalannya menghadap Sang Pencipta lapang,” ucap Bu Rohaya pelan.
Chika mengusap punggung Bu Rohaya.
“Nenek Yunita nggak ada salah apa-apa sama kami. Beliau Orang baik. Saya yakin semua Orang akan mengatakan hal yang sama. Semoga Beliau bahagia di sisi Tuhan,” ucap Chika.
“Amin, Terima kasih sekali lagi Mbak Chika.”
“Sama-sama, Bu. Ibu yang ikhlas, ya. Bu, saya turut sedih dan berduka. Tapi saya percaya, Tuhan pasti akan menguatkan dan menyertai Ibu dan keluarga Ibu.”
“Amin. Mbak Chika baik banget. Saya jadi terharu.”
Tidak ada kata-kata lagi yang mereka berdua lontarkan setelah itu hingga akhirnya Chika tersadar untuk segera pamit meninggalkan Bu Rohaya dan berharap agar Saudara Bu Rohaya yang dihubungi segera tiba. Pasalnya, dia sudah lumayan lama meninggalkan Sang Bunda.
Syukurlah, tak lama setelah dihubungi oleh Bu Rohaya, saudara dari Bu Rohaya datang. Chika bahkan sempat bertemu dengannya.
Rupanya, tadi itu dia memang sudah dalam perjalanan untuk menggantikan Bu Rohaya untuk menjaga Nenek Yunita. Hal itu disebabkan pertimbangan kesehatan Bu Rohaya sendiri yang telah berhari-hari menjagai sendiri Ibu kandungnya.
Malangnya, rencana tinggal sebuah rencana saja. Apa daya, dia sudah tidak dapat menjumpai Nenek Yunita dalam keadaan hidup.
Dan setelah itu, datang pula Saudaranya yang lain, yang memang dihubungi Bu Rohaya ketika Nnenek Yunita masuk ke ruang tindakan.
Chika langsung berpamitan kepada mereka bertiga, mengucapkan turut berbela sungkawa sekali lagi. Lalu dengan setengah berlari, dia menuju kamar perawatan 303. Untung saja dia tidak ditegur oleh Suster ataupun Penjaga Pasien yang kebetulan berpapasan dengannya.
*
Chika menyeruak masuk ke dalam kamar perawatan Sang Bunda, setelah mendorong daun pintunya dengan tak sabar. Lalu dia berjalan cepat menghampiri ranjang Sang Bunda.
“Suster Priska, aduh, maaf, maaf! Hhh... hhh... hhh! Sungguh, maafkan saya, ya! Hhhh... hhh hhhh! Saya kelamaan ya, ngerepotinnya? Hhhh hhh! Maaf banget ya.. Suster. Suster.. jadi tertahan lama di sini hhh... karena menunggu saya. Sekali lagi saya minta maaf. Hhh... hhh.., itu..., soalnya tadi saya.., hhh.., sekalian menengok.., keadaan Bu Rohaya... yang baru saja siuman. Hhhh... hhhh..., kalau sekarang, sudah ada dua Orang Saudaranya.. Bu... Rohaya.. yang hhh... hhh, menemaninya mengurus Nenek Yunita,” kata Chika dengan napas yang terengah-engah.
Ia kemudian berusaha untuk mengatur napasnya.
Suster Priska tersenyum tipis pada Chika. Dia tampak dapat memaklumi ‘keterlambatan’ Chika untuk kembali ke kamar rawat Ibu Sarwendah. Apalagi penjelasan Chika juga terdengar masuk akal. Tidak ada tanda-tanda kekesalan di raut wajah Sang Suster.
“Ya, ya, Mbak Chika, saya mengerti. Nggak apa-apa kok. Duh, sampai ngos-ngosan begitu napasnya. Gara-gara lari-larian ya, balik kemarinya?”
Chika hanya dapat mengangguk.
Senyum Suster Priska sungguh menenangkan perasaannya. Setidaknya, mengurangi kadar rasa bersalahnya karena telah merepotkan Tenaga Medis yang tentunya sibuk dengan pekerjaan pokoknya itu.
“Nah, karena Mbak Chika sudah ada di sini, saya bisa tinggal sekarang, ya?” tanya Suster Priska.
“Ya, tentu saja Suster Priska.”
Suster Priska memberikan satu bonus senyuman lagi kepada Chika.
Lantas Suster Priska mengangguk kepada Ibu Sarwendah, bahasa tubuh memohon diri dari hadapan Wanita setengah baya tersebut.
“Terima kasih sudah ditemani selama Anak saya pergi, Suster,” ucap Ibu Sarwendah penuh kesungguhan.
“Sama-sama, Ibu Sarwendah.”
Melihat Suster Priska hendak berlalu, Chika lekas mendahului langkah Suster Priska.
“Sekali lagi terima kasih,” ucap Chika penuh ketulusan.
Untuk menunjukkan rasa terima kasihnya, Chika sampai berinisiatif mengantar Suster Priska dan membukakan pintu kamar rawat pula.
“Sama-sama, Mbak Chika,” sahut Suster Priska.
Namun bertepatan dengan pintu kamar rawat yang terbuka sempurna, alih-alih segera kembali ke sisi ranjang Sang Ibu, Chika justru membiarkan dirinya diterpa sebuah godaan.
Ya, Chika tergoda untuk menoleh ke arah koridor di mana ruang perawatan bayi berada. Matanya menyapu area tersebut dengan saksama. Namun anehnya, apa yang dilihatnya saat ini berbeda dengan yang telah dia lihat sebelumnya. Lantaran tak percaya akan penglihatannya, dia menajamkan pandangannya. Akan tetapi, apa yang dilihatnya kini tidak ada yang berubah, sama persis dengan apa yang ia saksikan beberapa detik sebelumnya.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $