Episode 7 : Hati Yang Kian Tak Tenang
“Mbak Laesti.”
Laesti mendongakkan wajahnya mendengar panggilan Delia, Rekan kerjanya. Panggilan yang terlalu keras untuk disebut sebagai ‘panggilan’ semata, sebab mereka duduk berhadapan, dalam jarak yang demikian dekat.
Delia menunjuk piring Laesti.
“Kenapa makan siangnya kok nggak dihabiskan, Mbak?” tanya Delia, lantaran mendapati Laesti meletakkan sendok di atas garpu dengan posisi tengkurap, sementara di piringnya masih terdapat ayam goreng bumbu sate yang belum disentuh sama sekali serta tumisan sayur labu dan nasi merah yang baru sedikit berkurang. Bentuk makanan masih tergolong belum ‘rusak’, hanya mengalami pengurangan di salah satu sisi saja.
Laesti memang baru menyendok beberapa suap dan seketika merasa kehilangan selera makannya.
“Aku kenyang, Del,” sahut laesti singkat.
Delia terkejut.
“Kenyang? Mbak Laesti itu baru makan beberapa sendok lho. Apa sakit maag Mbak Laesti kambuh lagi?”
Laesti menggelengkan kepalanya.
“Terus kenapa, Mbak?”
“Nggak apa-apa.”
“Nggak mungkin. Ini menu kesukaan Mbak Laesti kan, di kantin ini. Dan ayam bumbu sate ini tadi tinggal satu pas kita datang. Mbak penjaga kantin sengaja menyimpankan buat Mbak Laesti. Masa malahan nggak disentuh sih?”
Laesti menyahut, “Nggak tahu, mendadak kenyang.”
Delia menatap dengan tatapan curiga.
“Mbak Laesti lagi ada masalah?”
“Nggak.”
“Terus kok kelihatannya nggak semangat.”
“Aku kurang tidur sepertinya, Del.”
“Oooh...”
“Kamu cepat habiskan makannya. Aku tungguin. Nanti kita balik ke kantor sama-sama.”
Delia menatap penuh minat ke atas piring Laesti.
“Ayam bumbu satenya buat aku ya?” tanya Delia serius.
“Boleh. Tapi kan makanan di piringmu sendiri masih penuh.”
Delia tak kehabisan akal.
Dia melambaikan tangan ke arah Mbak Rina, Salah Satu Pelayan di kantin ‘Murah Meriah dan Enak’ itu. Keetulan saat itu Rina tengah melintas di dekat meja yang mereka tempati.
“Ya, ada apa Mbak?” tanya Rina sopan.
“Ini tolong dibungkus, ya, ayamnya.”
“Baik, Mbak.”
Rina langsung mengangkat piring Laesti.
Delia tersenyum.
“Nggak boleh buang-buang makanan kan Mbak,” kata Rina kepada Laesti.
Laesti hanya tersenyum.
Tetapi dia merasakan hampa yang menyerang tiba-tiba. Rasa kosong yang aneh dan sulit untuk diterjemahkan olehnya. Dan lebih parahnya, juga susah untuk diabaikan apalagi ditepis.
Rasa yang menyertainya semenjak tadi pagi, ketika melepas kepergian Sang Adik untuk ‘pergi wawancara dan test’. Rasa yang kian menguat, ketika menjelang jam makan siang, Sang Adik mengabarkan bahwa dirinya diterima bekerja di Super Market tempatnya melamar pekerjaan dan bahkan diminta untuk dapat memulai pekerjaan sesegera mungkin.
Lewat panggilan telepon, Sang Adik juga mengabarkan bahwa dia hanya minta waktu dua hari saja sebelum memulai pekerjaan barunya itu. Dari suaranya yang begitu bersemangat, Sang Adik mengatakan akan mempergunakan waktu dua hari tersebut untuk membereskan pekerjaan serabutannya yang lain, beroamitan kepada Orang-orang yang berkaitan dengan pekerjaannya tersebut sembari mencari celah untuk sebuah peluang agar tetap dapat mempertahankan pekerjaan serabutan tersebut suatu saat nanti.
Lewat panggilan telepon itu pula, Sang Adik mengucapkan terima kasih atas dukungan serta informasi dari Sang Kakak.
Semestinya Laesti merasa senang dan terhibur.
Tetapi anehnya tidak.
Dia justru digoda rasa kosong yang berbalut takut. Namun, Laesti tidak ingin merusak kebahagiaan Sang Adik. Karenanya dia mengucapkan selamat dan berjanji kepada Sang Adik untuk sedikit ‘merayakan’ keberhasilan Sang Adik dengan membawakan pizza sepulang bekerja nanti.
Sang Adik hanya tertawa dan mengatakan bahwa itu tak perlu.
Dan Laesti menegaskan itu hanyalah perayaan kecil-kecilan, rejeki yang tidak boleh ditolak. Lalu Laesti juga berjanji dalam hati, akan membelikan tiga potong kemeja baru dan dua potong celana panjang sepulang kerja nanti, supaya koleksi pakaian kerja Sang Adik bertambah.
Laesti sudah mengecek pengeluarannya bulan ini dan dia dapat memastikan bahwa ‘pengeluaran ekstra’ untuk Sang Adik dapat tertangani.
Namun anehnya, dia tidak merasa gembira sebagaimana biasanya setiap kali membelikan sesuatu kepada Sang Adik. Ada perasaan tak nyaman yang mengungkungnya.
Perasaan yang terbawa-bawa hingga dirinya melangkah ke kantin yang berada tak jauh dari kantornya.
“Mbak Laesti, Mbak yakin, nggak mau pesan apa-apa agi buat di makan di kantor?” tanya Delia.
“Nggak, Del.”
“Memangnya Mbak kuat, sampai nanti sore? Nanti kalau sore-sore kelaparan bagaimana?”
“Gampang. Bisa pesan makanan. Terus siomay Mang Supri sama Ketoprak BU Ijah juga pasti lewat nanti sore.”
Delia tak menyahut lagi. Ia mempercepat makannya.
Sebuah gagasan hinggap di kepalanya.
Usai makan, Delia menghampiri Sia Penjaga Kantin yang menyambutnya ramah.
“Mau pesan apa lagi, Mbak?”
Delia menunjuk kue cucur dan putu mayang yang ada dalam etalase.
“Tolong bungkuskan masing-masing dua, ya. Kue cucur, putu mayang, risoles sama pastel.”
“Baik, Mbak.”
Saat melihat Delia kembali ke meja dengan tas plastik, Laesti menatapnya dengan pandangan bertanya.
“Kamu masih lapar?” tanya Laesti yang menerima uang kembalian dari Rina.
Dia sudah bangkit dari duduknya.
Delia hanya senyum-senyum.
“Katanya mau diet,” kata Laesti.
Delia hanya menggamit lengan Laesti, mengajak Gadis itu untuk segera meninggalkan kantin.
Saat itulah, Laesti mendapati telepon genggamnya berbunyi.
“Terima dulu saja Mbak,” kata Delia.
Laesti mengangguk.
“Paling cuma sebentar,” katanya seraya menggulir ikon telepon berwarna hijau di layar telepon gengamnya.
“Hallo Mas,” sapa Laesti.
“Hallo Laesti, kamu sudah makan siang?”
“Barusan, Mas. Mas Nanang sendiri?”
“Ini baru mau makan siang. Bagaimana, ada kabar dari Fahri? Dia baik-baik saja, kan?”
“Oh, iya Mas. Dia diterima dan diminta segera bekerja. Kelihatannya dia senang sekali.”
“Bagus kalau begitu. Semoga pekerjaan ini bisa menjadi batu loncatan yang baik buat dia.”
“Amin.”
“Kapan dia mulai masuk kerja?”
“Tiga hari mendatang katanya Mas. Terus sore ini, aku mau mampir ke mal sebentar. Mau beliin dia pakaian kerja.”
“Kalau begitu aku antar saja nanti sore. Tapi kamu tunggu ya, mungkin jemput ke kantormu agak terlambat. Nah, nanti malam sekalian kita beli makanan yang enak-enak di mal deh, untuk sekadar merayakan keberhasilan Fahri mendapatkan pekerjaan.”
Hati Laesti tersentuh mendengarnya.
“Aku sudah menjanjikan mau belikan dia pizza. Kebetulan kan di bawah dept store itu ada pizza Voila. Itu kesukaan dia, Mas.”
“Bagus kalau begitu. Nanti sekalian saja beli beberapa makanan kecil juga. Aku yang belikan nanti.”
“Eh, nggak usah Mas.”
“Nggak apa. Fahri itu kan sudah aku anggap sebagai Adikku juga. Malahan tadi sempat terpikir mau ajak dia keluar makan saja. Tapi sepertinya nggak usah deh, ya. Terlalu terburu-buru dan mendadak.”
“Terima kasih ya Mas. Fahri pasti senang sekali.”
“Ya sudah, sampai nanti sore ya.”
“Daagh Mas.”
“Daagh.”
“Yuk, Del. Sorry jadi bikin kamu nunggu,” kata Laesti usai mengakhiri komunikasi via telepon dengan Nanang.
“Ah. Santai saja. Masih cukup banyak waktu. Mbak, ngomong-ngomong, Fahri sudah dapat pekerjaan? Selamat ya Mbak. Semoga dia sukses di pekerjaannya.”
“Amin. Terima kasih ya Del.”
Delia mengacungkan ibu jarinya.
Mereka berdua melangkah bersama meninggalkan Kantin, terus mengarah ke kantor mereka.
Setibanya di kantor, Delia mendahului langkah Laesti ke arah pantry kantor.
Laesti membiarkannya dan segera menuju meja kerjanya.
Jam istirahat belum berlalu, masih tersisa sekitar 20 menit lagi.
Dia duduk dan membuka kembali file di dalam laptopnya, berusaha memusatkan pikirannya ke sana.
Tapi alangkah sulitnya. Rasa sedih yang hebat menyerangnya tanpa alasan.
Rasa sedih yang hampir saja membuatnya menangis sesenggukkan, jika saja tidak terdistraksi oleh kedatangan Delia yang membawa piring berisi kue basah serta segelas teh.
“Ini buat Mbak. Sambil kerja kan bisa sambil ngemil, Mbak. Kalau nunggu siomay atau yang lainnya, takutnya Mbak keburu lapar,” kata Delia seraya meletakkan piring dan gelas di atas meja kerja Laesti.
Laesti menggeleng-gelengkan kepala.
“Ya ampun, kamu itu. Jadi ternyata tadi itu kamu beliin ini buat aku? Terima kasih ya,” ucap Laesti.
Delia tersenyum tipis sebagai reaksinya lalu memberi isyarat bahwa dia akan menuju meja kerjanya sendiri.
Laesti menganggukinya.
Laesti menggeser piring dan gelas ke tepi meja, dan berusaha memusatkan kembali perhatiannya ke layar laptop.
Bukan dia tak menghargai kebaikan hati Delia. Tetapi dia sedang benar-benar tak berselera untuk makan.
File yang telah dia panggil, sebentar lagi akan terbuka.
File berisi pekerjaan yang tadi dia kerjakan, sebelum jam makan siang.
Tampak laptop dalam keadaan memuat data.
Laesti menanti dengan sabar, walau sibuk menghalau rasa sedih dan hampa yang merundungnya secara bersamaan.
Dan begitu file terbuka, apa yang terpampang di depan matanya sungguh membuat matanya terbelalak. Tubuhnya pun gemetaran karenanya. Dia sampai meraba pinggiran meja dan berusaha memegangnya erat.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $