“Kak..., ada apa sih? Memangnya pekerjaannya berat? Kerja di lapangan? Atau bagaimana? Ah, Kakak ini jangan meragukan kemampuan dan kemauanku. Kakak tahu sendiri apa yang sudah aku lakukan sementara ini, kan?” ungkap Ahmad.
Bukannya merasa lega, Laesti justru semakin menunduk saja.
Justru itu, Fahri. Kakak nggak rela sebetulnya. Kakak tahu kamu itu sampai mau-maunya bekerja serabutan, di bengkel. Kadang malah hanya kebagian mencuci sepeda motor. Sesekali memang ada Teman-teman Kakak yang meminta tolong supaya kamu memberikan les privat untuk Keponakan mereka. Tapi kan, Kakak menganggap itu hanya untuk pengisi waktu saja. Kakak selalu membayangkan kamu itu bekerja di kantor, di belakang layar laptop, berpakaian rapi, dan lebih banyak mengandalkan kecerdasan otakmu. Nah, sedangkan yang ini? Kakak belum bisa melihat prospek ke depannya. Rasanya nggak tega.., batin Laesti sedih.
“Kak, jangan buat penasaran. Memangnya pekerjaannya apa? Tukang tagih hutang?” pancing Fahri.
Laesti menggeleng.
“Lalu apa? Kurir?” kejar Fahri lagi.
Laesti kembeli menggeleng.
“Sales Kartu Kredit? Tele Marketing?” tebak Fahri.
Sepertinya Fahri merasa dirinya akan sanggup dan mau mengerjakan semua itu. Dia berpikir, anggap saja sebagai batu loncatan. Yang penting ada pemasukan, dan ada kegiatan rutin. Ketimbang harus luntang-lantung tidak jelas lagi.
“Terus apa dong Kak? Nggak mungkin jadi Pengedar Narkoba?” celetuk Fahri akhirnya.
Laesti terusik.
“Bukan! Kamu ini ngawur. Nggak mungkin lah, yang begitu Kakak tawarkan ke kamu. Jangankan jadi Pengedar, sedangkan kalau kamu nekad bekerja sebagai Tukang tagih kredit macet saja Kakak nggak akan setuju,” tegas Laesti.
“Makanya, Kakak bilang saja.”
Laesti menghela napas panjang, yang kemudian diembuskannya dengan berat.
“Oke kalau begitu. Jadi pekerjaannya itu di sebuah Super Market, Fahri.”
Fahri manggut-manggut.
“Iya, lalu?”
“Posisinya sebenarnya bagian gudang,tetapi juga merangkap membantu mengawasi produk yang dipajang.”
“Itu saja?”
Laesti mengangguk.
Fahri tidak terlihat kecewa.
Laesti benar-benar mencermati ekspresi wajah Sang Adik.
“Fahri, Kakak tidak memaksa kamu untuk mencoba mengambil pekerjaan ini sih. Tetapi Ahmad bilang, kalau kerjamu bagus, akan ada kesempatan kamu ditarik ke kantor pusat. Tapi kan Kakak nggak berani memberikan harapan berlebih. Sebab Ahmad sendiri juga bukan yang menjadi Atasan langsung kamu. Ahmad juga nggak bekerja di cabang di mana kamu akan ditempatkan nanti. Jadi..., Kakak lebih baik ngomong pahitnya, kamu boleh pikir-pikir dulu saja. Kakak takut kamu akan bosan karena nggak bisa mengimplemantasikan keahlian kamu.”
Suara Laesti yang lirih itu sungguh-sungguh meresap hingga ke benak Fahri.
Jauh di lubuk hatinya, sedang ada pergumulan yang cukup hebat.
Fahri merasa berada di persimpangan.
Dia tengah menghitung dan berpikir di dalam diam.
Bila dirinya mengambil kesempatan ini, dia yakin kemungkinan dirinya diterima akan besar. Pasalnya, dia juga tidak akan mempermasalahkan tentang besaran gaji. Apalagi, dia juga masuk dari jalur ‘referensi’. Fahri juga yakin, tentunya tidak akan terlalu sulit baginya untuk mempelajari seluk-beluk tanggung jawabnya nanti, serta melakukan yang terbaik. Dan tentang peluang untuk mendapatkan jenjang karir yang lebih tinggi, Fahri belum terlalu memikirkannya. Dia tak mau terlalu banyak berharap lantaran tak mau didera rasa kecewa. Dan lebih dari semua, tentunya dirinya akan mendapatkan gaji di akhir bulan. Dia yakin jumlahnya akan lebih besar dibandingkan dengan kerja serabutan yang dilakukannya sekarang.
Lantas jika dia mengabaikan kesempatan yang ditawarkan ini, dia tak tahu bilakah akan ada peluang lainnya yang kembali datang. Dan selama menanti, dirinya juga tak tahu apakah masih dapat menjaga agar semangatnya tetap berapi-api serta tidak patah arang.
Fahri terus menimbang di dalam diam.
Hinga akhirnya, beberapa saat kemudian...
Sudahlah, kadang-kadang kenyataan itu memang nggak seindah harapan maupun usaha yang telah dilakukan. Anggap saja ini jalan rejeki. Bukannya kalau kita pandai bersyukur atas rejeki yang kecil, maka rejeki yang besar akan berdatangan setelahnya? Pikir Fahri.
“Jadi bagaimana Kak? Aku yang hubungi Mas Ahmad langsung, atau bagaimana?” tanya Fahri setelah diam yang lumayan panjang.
Laesti belum mencapai kemantapan hati.
“Kamu serius, Fahri? Nggak mau dipikir dulu? Siapa tahu nanti ada..”
Laesti menggantung ucapannya.
“Aku ambil kesempatan yang di depan mata dulu ya Kak, sambil terus berusaha. Dan Kakak jangan khawatir, aku janji ke Kakak, nggak akan mempermalukan Kakak atau Mas Ahmad. Aku akan bekerja dengan baik, kalau diterima nanti.”
Laesti mengangguk dengan berat hati.
Tidak semudah itu baginya merelakan Sang Adik akan mengalami ‘down grade’. Tapi kalau Sang Adik justru memperlihatkan minat serta komitmen, dia toh tak dapat mengatakan apa-apa.
“Kalau begitu, nanti kamu telepon langsung ke Ahmad, ya. Suapay bisa tanya lebih detail. Supaya Kakak juga nggak usah terlalu banyak berkomunikasi sama dia. Untuk menjaga perasaan Mas Nanang dan juga Pasangannya Ahmad.”
Fahri mengangguk maklum.
“Oke, Kak. Nanti kasih ke aku nomor teleponnya Mas Ahmad, ya.”
“Pasti.”
“Terima kasih banyak ya Kak.”
Laesti menggelengkan kepalanya.
“Terima kasih apa? Kakak justru mau meminta maaf ke kamu, karena belum bisa memberikan informasi yang lebih bermutu buat kamu.”
Fahri menggoyangkan telapak tangannya.
“Jangan bilang begitu, Kak. Ini saja sudah merupakan hal yang berarti buat aku.”
Laesti terharu mendengarnya.
“Kalau Orang tua kita masih ada, mereka pasti bangga deh sama kamu.”
“Semoga ya Kak. Tapi yang pasti, mereka sudah bangga dengan Kakak.”
“Kamu ini bisa saja.”
Fahri tersenyum.
Sedikit resah Laesti teralihkan.
Entah mengapa, masih terasa ada ganjalan di hatinya. Dia tak tahu itu apa.
Laesti sampai bertanya-tanya dalam hati, mengapa rasanya demikian berat melepas Fahri untuk menjemput kesempatan tersebut.
Fahri memang langsung menghubungi Ahmad begitu mendapatkan nomor telepon Ahmad. Dia mendengarkan dengan saksama penjabaran Ahmad melalui telepon.
Sedangkan Laesti kebalikannya. Dia terheran pada dirinya sendiri kala memerhatikan betapa Fahri tak membuang waktu barang sedikit saja, untuk menindaklanjuti informasi yang diberikan Ahmad kepadanya, yakni dengan segera mempersiapkan surat lamaran pekerjaan, daftar riwayat hidup dan memberitahukan kepada Ahmad bahwa dirinya sudah siap untuk datang menghadiri wawancara esok siang.
Laesti tertegun menyaksikan semua itu.
Terlebih, ketika Fahri berkata, “Doakan supaya aku mendapatkan pekerjaan ini ya, Kak. Dan supaya aku bisa bekerja dengan baik.”
“Oh, he eh.”
Fahri menyipitkan mata.
“Kok Kakak malah kelihatannya melamun? Kenapa Kak?”
Laesti menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Enggak apa-apa. Sebentar Kakak isikan saldo ‘happy pay’ kamu, ya. Kamu pesan mobil saja, nggak usah pakai ojeknya. Dan besok itu sebelum berangkat kamu pastikan makan dulu. Biar mudah, ya pesan daring saja sekalian pakai aplikasi happy jek.”
Fahri lekas mengibaskan tangannya.
“Nggak usah, Kak. Saldonya masih banyak, kok. Lagi pula aku juga masih ada uang yang cukup untuk pegangan. Kan hari ini makan siangnya gratis,” tolak Fahri.
“Rejeki nggak boleh ditolak,” bantah Laesti.
“Kak..”
“Sudah, Kakak mau menyiapkan pakaian kerja untuk besok dan setelah itu langsung mau istirahat dulu, ya. Besok Kakak harus berangkat lebih awal soalnya.”
“Ya sudah kalau begitu. Terima kasih banyak ya Kak.”
“Sama-sama.”
Di depan Fahri, Laesti berusaha keras untuk menyembunyikan rasa gelisah yang mendadak menjajahnya. Namun ketika dirinya telah masuk ke dalam kamar tidurnya, rasa gelisah itu kian menguat jua.
Laesti menatap langit-langit kamar, mencoba mengalihkan perasaan tak tenang itu. Dia juga mencoba untuk berdoa. Tetapi entah mengapa, perasaannya amsh saja bergejolak.
“Ini kenapa, ya? Padahal aku melihat sendiri Fahri sepertinya sudah berbesar hati menerima untuk sementara ini kesempatan yang datang ke dia ya yang seperti ini? Lalu mengapa hati aku kok kebati-kebit macam ini? Amit-amit, apakah akan ada suatu kejadian ke depannya? Apakah Fahri akan menjadi frustasi karena pekerjaannya tidak sesuai dengan kemampuan dia? Ataukah justru... Nanang...! Aaaah...! Kenapa aku sampai berpikir ke sana, ya? Ini aneh sekali,” gumam Laesti sendirian.
Laesti mencoba membaringkan diri di peraduan dan mengundang kantuk.
Ketika dia melihat jam dinding, dia berpikir bahwa Nanang pasti belum tidur.
“Mungkin ada baiknya aku bilang ke dia, supaya nggak ada salah paham ke depannya,” gumam Laesti lagi.
Mulanya Laesti mengirimkan pesan teks kepada Nanang, menanyakan apakah Nanang sudah tidur. Dan Nanang tidak menjawab pesan teks itu, melainkan langsung meneleponnya.
Laesti langsung menyambut panggilan telepon dari Nanang.
“Hallo, Laesti,” sapa Nanang.
“Hallo Mas.”
“Kok tumben, pakai tanya dulu sudah tidur atau belum. Ini pasti nih, ada yang sedang ganggu pikiran kamu. Ayo bilang, ada apa? Mana tahu aku bisa bantu,” kata Nanang langsung. Rupanya lantaran telah sekian lama dekat dengan Laesti, menjadikan Nanang semakin mengenal perangai dan kebiasaan Laesti.
Laesti berdeham sebelum berkata, “Iya, Mas. Aku tadi menawarkan pekerjaan ke Fahri.”
“Oh, ya? Bagus dong. Terus kenapa?” tanya Nanang antusias.
“Masalahnya, Mas, informasi lowongan pekerjaannya kan dari Ahmad, Teman lamaku itu.”
“Terus kenapa?”
Laesti diam sesaat.
Nanang terusik.
“Laesti, ada apa?”
Laesti jadi bingung harus bagaimana menyampaikannya.
“Eng..., itu kan pekerjaannya di perusahaan yang sama dengan tempat Ahmad bekerja. Kalau seandainya mereka berdua jadi akrab, lalu bagaimana? Kamu..., nggak masalah, Mas?”
Usai mengucapkan pertanyaan ini, Laesti jadi bingung sendiri.
Terdengar tawa kecil dari Nanang.
“Kamu kok lucu, Laesti. Memangnya kenapa kalau mereka berdua jadi akrab?”
“Eng..., bukannya begitu...”
Sekarang Laesti jadi gugup.
“Hei..., ada apa? Jangan bilang..., kamu masih ada rasa sama dia.”
“Enggak lah. Masing-masing sudah punya Pasangan kok. Lagi pula kan kamu tahu ceritanya bagaimana dulu Mas. Aku memang nggak pernah ada rasa sama dia. Dulu mungkin dia pernah naksir, tapi kan sudah lewat masanya. Mungkin cinta monyet begitu.”
“Hm..”
“Kok hm?”
“Lha kalau sudah tahu begitu, lalu apa lagi yang kamu resahkan? Itu dari suara kamu aku bisa merasakan kalau kamu nggak tenang.”
“Mas...”
“Iya?”
“Aku hanya merasa, perlu menyampaikan ini. Jadi kamu nggak masalah, ya, kalau ada kemungkinan Fahri sama Ahmad mungkin bisa dekat? Ya meskipun belum tentu juga sih. Karena pekerjaannya berbeda, tempat kerjanya juga berbeda.”
“Kamu yakin, itu yang membuat kamu resah? Aku menangkap hal yang berbeda.”
“Mas, kamu belum jawab aku.”
“Aku nggak ada masalah. Asal yang jadi dekat itu bukan kamu sama Ahmad.”
“Nggak mungkin dong Mas. Aku nggak mau ganggu Pasangan Orang, dan aku nggak mau kehilangan kamu.”
“Ya sudah. Itu kamu tahu.”
“Tapi kok rasanya aku masih merasa nggak tenang lho Mas. Nggak ngerti nih, seperti nggak ikhlas Fahri bekerja di sana. Seperti setengah hati begitu. Soalnya pekerjaannya itu nggak sesuai dengan yang selama ini dia cari.”
Nanang diam sebentar.
“Mas..?”
“Ya?”
“Kamu masih di sana?”
“Iya.”
“Kok diam saja?”
“Ya aku sedang berpikir, sepertinya itu yang menyulut keresahanmu. Kamu mempunyai harapan yang terlelu tinggi ke Adikmu. Laesti, kalau menurut aku, kamu biarkan saja dia mencoba dulu. Namanya juga baru pertama kali bekerja. Kalau Orang bilang, istilahnya ya kerja apa saja asal halal.”
“Eng..., mungkin..”
“Nah, kan? Coba Laesti, kamu belajar berbesar hati. Kamu tunjukkan saja dukunganmu pada Fahri. Supaya dia juga jadi semangat. Jangan tunjukkan ke dia bahwa kamu ini setengah hati.”
“Aku nggak setengah hati, Mas. Cuma nggak tahu..., rasanya aneh saja buat aku membiarkan Fahri bekerja benar-benar dari bawah, istilahnya. Mas tahu sendiri, dia kan cerdas, dia rajin. Orangnya juga baik dan menyenangkan. Semestinya dia mendapatkan kesempatan yang lebih baik. Aku kepengennya dia itu...”
Laesti tak melanjutkan ucapannya.
Hatinya terasa kian berat. Bagai dibebani besi berton-ton saja.
Terdengar suara dehaman dari Nanang, yang membuat Laesti tersadar.
“Laesti..”
“Iya, Mas.”
“Seperti yang tadi aku bilang, kamu belajar menerima kenyataan ya. Dukung saja Adikmu itu. Aku mengerti sih, kamu kecewa dan merasa seolah ini nggak adil. Sekarang, lebih baik kamu istirahat dulu dan berharap yang terbaik untuk Fahri. Besok toh kamu harus kerja. Iya, kan?”
Suara lembut Nanang yang penuh kedewasaan itu sanggup menyentuh perasaan Laesti. Sayangnya, tak seketika mengalirkan rasa tenang yang dicarinya.
Dan hingga percakapan melalui telepon itu usai, Laesti tidak dapat segera tidur. Sulit baginya untuk memejamkan matanya. Bila tadi dia hanya merasa tidak ikhlas, sekarang terselip gundah yang berpadu dengan rasa bersalah.
“Ya ampun, kenapa aku ini? Seakan aku telah menjerumuskan Fahri. Padahal ini hanya soal pekerjaan. Apakah nanti Fahri akan dijahati sama Rekan kerjanya? Apakah dia akan diperlakukan secara nggak adil? Atau sebaiknya aku cegah saja besok, biar dia membatalkan untuk datang? Atau aku bilang ke dia minta gaji yang tinggi saja supaya nggak diterima? Tapi kalau melihat pijar harapan di mata Fahri, rasanya kok aku nggak tega? Atau aku sedikit menahan diri saja?” gumam Laesti yang semakin galau saja.
Kenapa aku berlebihan begini? Dia itu kan Laki-laki. Bukannya kalau bekerja keras sedikit sebetulnya juga nggak masalah? Bukannya berbagai tantangan yang akan dihadapinya di tempt kerja pertamanya nanti akan bagus untuk menempa agar dia mempunyai kepribadian yang kuat? Kenapa kok aku mau melindungi dia sampai begini? Ini bukan lantaran aku masih menganggap dia sebagai Anak kecil, kan? Pikir Laesti kemudian.
Kakak Kandung dari Fahri itu berusaha membolak-balikkan badannya, namun kantuk yang diundangnya belum kunjung tiba. Dan tentu saja, esok harinya dia terbangun dengan wajah yang kuyu serta hati yang makin rusuh.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $