Cermis 3 : Lift Barang Pembawa Petaka (8)

1193 Kata
Episode 8 : Bayangan Ketakutan “Ini... ini kenapa? Vi.. virus? Virus jenis apa?” gumam Laesti dengan bibir bergetar. Tatapan mata Laesti tak sedikit pun teralihkan dari layar laptopnya betapa pun dia telah mencoba. Pandangannya bagai terpaku di sana. Seolah ada kekuatan yang memaksanya dalam posisi demikian Ada sesuatu yang mencengangkan tampil di sana. Sesuatu yang menurut Laesti di luar nalarnya. Bukan hanya worksheet yang terlihat oleh Laesti. Worksheet bahkan hanya menjadi latar belakang yang tampak di tepi-tepiannya saja, yakni hanya sekitar satu senti meter di bagian atas, kiri dan kanan. Sedangkan di bagian bawah tampak sekitar dua senti meter. Seolah hanya sebagai penanda, bahwa Laesti membuka file yang benar. Sedangkan yang tampak di bagian tengah adalah warna hitam pekat sebagai latar, lalu tampak pula semacam kilatan cahaya berwarna putih yang melesat berulang dari sisi kiri bawah ke sisi kanan atas. Lalu pada akhirnya, lesatan cahaya yang berulang itu berhenti, tergantikan dengan tampilan yang tak kalah mendebarkan. Ada sebuah benda berat yang tampak terjatuh di sudut kanan bawah, meninggalkan bunyi berdebam yang keras. Suara berdebam yang menyaingi suara sayup-sayup, “Toloooong!” Suara yang membuatnya merinding seketika. Alangkah menakutkannya hal itu bagi Laesti. Laesti tak habis pikir, bagaimana mungkin sebuah file yang disimpannya dalam format microsoft excell biasa, dapat menampilan semacam film singkat macam itu? Film yang amat samar dan dinamis. “Tidaaak! Apa itu?” teriak Laesti tanpa sadar. Laesti ketakutan luar biasa. Dia tak sadar suaranya begitu kencang. Dan lantaran waktu makan siang belum usai, hanya sedikit Orang yang berada di kantor sekarang. “Ada apa Mbak? Kok teriak-teriak?” tanya Gandi yang baru saja kembali ke kantor. Delia yang rupanya juga mendengar suara teriakan Laesti, ikut tergopoh mendatangi Laesti. “Mbak, ada apa?” tanya Delia. Laesti tak mampu menjawab. Dia hanya menunjuk-nunjuk layar laptopnya. Gandi langsung mendekat. “Itu...! Itu...!” kata Laesti kemudian. Lantaran penasaran serta panik, Gandi langsung menjangkau laptop Laesti dan menggesernya tanpa meminta ijin lagi kepada Laesti. Dihadapkannya arah layar kepadanya dan memerhatikannya dengan saksama. “Ada apa sih?”tanya Delia yang turut mengintip di belakang tubuh Gandi. Dahi Gandi berkerut. “Kamu lihatkan Gandi? Serem, kan? Dari tadi itu,” kata Laesti kemudian. “Apa sih yang seram?” tanya Delia. Gandi mengalihkan pandangan matanya dari arah layar laptop, ke wajah Laesti. “Ada apa Mbak? Nggak ada apa-apa kok. Atau ada hasil ketikan Mbak Laesti yang hilang? Coba Mbak Laesti perhatikan dulu.” Berkata begitu, Gandi memutar kembali posisi laptop sehingga menghadaplangsung ke arah Laesti. “Ini.” Laesti sudah dengan yakin mengatakan satu patah kata itu. Akan tetapi sekarang dia kembali tercengang. Dia merasa telah dipermainkan oleh entah apa pun itu. “Kenapa, Mbak? Ada yang terkorup, datanya? Mau saya bantu cek?” tanya Gandi, menawarkan bantuan. Dia memang lumayan mengerti mengenai komputer. Laesti tergeragap. Apa yang dilihat di depan matanya kini adalah pemandangan yang sangat berbeda. Hanya tampilan worksheet biasa. “Tadi... tadi... nggak begitu!” Laesti merasa pening jadinya. Delia menatap dengan prihatin. “Mbak, tadi Mbak Laesti lihat apa memangnya?” tanya Delia sabar. Sedangkan Gandi hanya berdiri mematung. Laesti menggelengkan kepalanya. “Enggak kok. Bukan apa-apa,” kata Laesti lirih. Delia memberikan kode kepada Gandi. Gandi menangkap isyarat tersebut dan mundur satu langkah untuk memberikan sedikti ruang agar Laesti merasa nyaman. “Ada yang hilang nggak, ketikannya?” tanya Delia sabar. “Aku..., belum cek.” Gandi yang mendengarnya mengangguk. “Begini saja Mbak, nanti kalau Mbak Laesti butuh bantuan saya, kasih tahu saya saja. Saya sampai sore di kantor kok, nggak kemana-mana. Saya tinggal dulu ya,” ucap Gandi. “Iya terima kasih, Gandi.” Sepeninggal Gandi, Delia mengelus pundak Laesti dan menyorongkan gelas teh. “Mbak Laesti ini kelihatannya agak kurang sehat. Coba diminum dulu. Mau saya pesankan makanan nggak?” Laesti meneguk teh manis yang dibuatkan oleh Delia. “Terima kasih,” ucapnya kemudian. Walau Delia ingin sekali mendesak Laesti untuk mengatakan apa yang telah membuatnya berteriak karena berpikir barngkali hal tersebut dapat sedikit mengurangi beban Laesti, namun dia merasa tak berhak. Dia takut, jangan-jangan Laesti mempunyai sesuatu yang belum dapat dituturkan kepadanya untuk saat ini. Dan dia merasa perlu untuk menghargai priasi Laesti. Dia menatap Laesti dengan tatapan iba. “Mbak pusing ya? Ini gara-gara tadi makannya cuma sedikit nih. Atau Mbak mau minta ijin untuk pulang cepat saja hari ini?” tanya Delia lagi. “Nggak, Del.” Delia menatap dengan ragu. “Kalau begitu, aku pindah kerja di partisi Vivi saja deh. Hari ini kan dia nggak masuk. Kan letaknya pas seberangan sama Mbak Laesti. Jadi kalau Mbak perlu bantuan aku, gampang manggilnya.” “Ya sudah terserah kamu.” Laesti sudah tak ingin memikirkan apa-apa lagi. Dia juga tak tertarik untuk menyahuti Delia, meski dia ingin melakukannya. Yang dirasakan olehnya adalah pikiran yang penat. Itu saja. Dan dia merasa tak memerlukan tambahan beban pikiran lagi. * Entah lantaran keberadaan Delia yang sengaja melakukan pekerjaannya tak jauh darinya di sisa hari itu ataukah memang dirinya sendiri yang terus berjuang keras untuk berkonsentrasi penuh kepada urusan pekerjaan sembari menyingkirkan sekumpulan perasaan negatif yang mengintimidasinya secara bersamaan, akhirnya Laesti dapat melewati hari itu dengan cukup baik. Dia dapat mengerjakan pekerjaannya yang tertunda, dan berusaha tak terlarut oleh rasa sedih yang begitu kurang ajar menggodanya tanpa ampun. Delia berbaik hati menunggui dirinya hingga Nanang tiba. Tentu saja dia berpura-pura sibuk mengerjakan sesuatu, karena tak ingin Laesti merasa tak enak hati kepadanya. Namun begitu mengetahui bahwa Nanang telah tiba karna mendengar Laesti menerima telepon dari Nanang yang mengatakan dirinya telah tiba di kantor Laesti, Delia juga bergegas menyimpan hasil ketikannya hari itu. “Mbak Laesti, aku pulang duluan ya,” kata Delia. “Tunggu Del. Kita barengan saja ke depannya, Del. Aku juga sudah kelar nih, tinggal masukkan laptopku.” “Oh, oke Mbak,” sahut Delia ringan. Mereka berdua melangkah bersisian hingga ke pintu keluar. Dan karena Delia juga telah mengenal Nanang,mereka sempat berbasa-basi satu dua kalimat sebelum dia mohon diri untuk menghampiri sepeda motornya. “Hati-hati di jalan,” pesan Laesti serius. “Pasti. Terima kasih ya Mbak. Mbak Laesti juga hati-hati di jalan.” Nanang menatap Laesti. “Yuk, kita juga jalan. Mau ke mal mana?” “Mal Orchid saja ya, yang paling dari sini. Atau, kamu ada usulan lain?” “Terserah. Tadi aku pikir mendingan ke Mal Butterfly yang lebih dekat dengan rumah kamu, Laesti. Karena aku mempertimbangkan supaya makananya nggak telanjur dingin karena terlalu lama di perjalanan.” Laesti mengingat-ingat. “Boleh juga deh Mas. Soalnya seingatku juga ada counter pakaian kerja laki-laki di Mal itu. Harganya juga terjangkau.” “Oke, ayo.” Nanang dan Laesti menuruni tangga kantor Laesti, menuju ke mobil inventaris kantor yang hari ini dibawa oleh Nanang. Nanang segera membukakan pintu untuk Laesti. Saat Laesti baru duduk dan Nanang menutupkan pintu mobil, secara tak sengaja tatapan matanya mendarat ke kaca spion sebelah kiri. Dia tersentak. “I.. itu...” Bibir Laesti gemetaran. Tetapi hal itu tampaknya teruput dari perhatian Nanang yang sedang tak ingin membuang banyak waktu. Lelaki itu sudah memutari setengah bdan mobil hanya satu detik setelah menutupkan pintu mobil bagi Sang Pujaan Hati. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN