Episode 5 : Lika-Liku Mencari Pekerjaan (2)
Fahri menatap kedua Kawannya secara bergantian.
“Eng..., ini..., dari Kakakku kok. Aku hanya..., nggak enak hati untuk mengabarkan bahwa aku gagal lagi kali ini. Rasanya nggak tega. Soalnya Kak Laesti terlihat lebih yakin dan berharap ketimbang aku. Kak Laesti sudah mencari informasi mengenai profil perusahaan ini melalui internet dan kata Kak Laesti perusahaan ini bagus,” terang Fahri.
Untuk mengusir prasangka kedua Kawannya, Fahri sampai sengaja menunjukkan tulisan yang tertera di layar telepon genggamnya, “Kak Laesti is calling.”
“Oooh...,” sahut Melna dan Imran secara bersamaan.
Kini mereka yakin bahwa Fahri tidak berbohong kepada mereka.
Mereka tak tahu saja, selera makan Fahri mendadak menurun.
Otaknya sibuk berpikir dan memilih kata yang paling tepat untuk diungkapkan kepada Sang Kakak.
Setelah diam sesaat, akhirnya Fahri mengisyaratkan akan beranjak sesaat untuk meninggalkan mereka.
Imran dan Melna tidak keberatan. Mereka mengangguk saja.
Sembari menjauh dari meja di mana dirinya makan, Fahri mennanggapi panggilan telepon Sang Kakak.
“Hallo, Kak Laesti.”
“Hallo, Fahri. Kakak ganggu nggak? Kamu sudah selesai dengan wawancaranya kan?”
“Nggak, Kak. Sudah selesai dari tadi.”
“Oh, syukurlah. Kamu sedang di jalan?”
“Enggak Kak, diajak makan sama Teman yang sama-sama wawancara hari ini.”
“Oh, ya? Sekarang baru jam...”
“Setengah dua belas kurang sedikit memang, Kak.”
Sang Kakak tertawa kecil.
“Pasti ada berita bagus, ya. Kalau begitu Kak Laesti mau pulang tepat waktu deh, supaya bisa masak makanan kesukaan kamu untuk merayakannya.”
Fahri tersenyum kecut.
Lidahnya langsung terasa kelu.
“Fahri..., kok kamu diam?”
“Kak, aku minta maaf.”
“Minta maaf? Kenapa, Fahri?”
“Kelihatannya aku mengecewakan Kak Laesti lagi. Aku..., nggak mendapatkan pekerjaan itu Kak. Dan sebenarnya Temanku yang mentraktir aku makan siang hari ini juga tidak diterima. Yang diterima justru Orang lain yang nggak pernah kami lihat sedari saat seleksi awal,” tutur Fahri.
“Oh. Maafkan Kak Laesti bikin kamu sedih.”
“Nggak apa Kak. Kan Kakak selalu bilang, kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Nanti sepulang dari sini aku singgah sebentar ke tempat pencucian motor ya Kak. Siapa tahu ada yang bisa aku kerjakan di sana. Lumayan buat tambah-tambah uang saku.”
“Fahri, kamu langsung pulang saja. Tolong dengar Kak Laesti hari ini.”
Fahri tak sanggup menjawab.
Sementara di tempatnya, Laesti juga menghadapi dilema.
Apakah sebaiknya aku tawarkan saja apa yang diinformasikan sama Ahmad tadi? Ahmad sendiri saja tampak agak ragu menawarkannya ke aku. Tapi aku sendiri juga kalau langsung menyampaikannya sekarang ke Fahri, rasanya nggak tepat. Aku takut dia merasa didesak untuk segera bekerja, mencari penghasilan sendiri. Dan aku sendiri juga masih nggak rela dengan posisinya. Enggak ah, Fahri layak untuk mendapatkan posisi yang jauh lebih baik dari itu. Otaknya dia itu cerdas. Aku nggak sanggup membayangkan kalau dia hanya bekerja sebagai..., pikir Laesti dalam gamangnya.
Pikiran laesti berkecamuk.
Tetapi satu hal yang kemudian terngiang di telinganya.
Kata pamungkas Ahmad, Kenalannya yang sebetulnya telah sekian lama tak berjumpa dengannya.
...
Ya, Ahmad.
Ahmad itu dulu pernah menaruh hati kepadanya, ketika mereka bedua sama-sama masih duduk di bangku Sekolah Menengah Umum. Hanya saja, Laesti menganggap Ahmad tidak lebih dari Seorang Kawan, Sahabat.
Lantas setelah lulus dari bangku sekolah, mereka berdua nyaris tak pernah bertemu.
Kisah kasih yang tak pernah terwujud itu sepertu terlupa begitu saja. Terkikis oleh perjalanan waktu yang terus bergulir.
Ahmad dan Laesti hanya pernah satu kali bertemu ketika Laesti tengah berbelanja bulanan, diantar oleh Nanang. Dan itu belum lama berselang. Jika dihitung-hitung, mungkin baru sekitar tujuh bulan yang lalu.
Situasi pertemuan yang tak disengaja itu berlangsung agak canggung pada mulanya.
Mendadak terkenang akan masa remaja mereka, sempat Laesti merenggangkan pegangan tangan Nanang di lengannya, demi menjaga perasaan Ahmad, kala itu. Untung saja, Nanang tidak terlalu menyadari hal tersebut. Ia merasa masih ada rasa bersalah yang mengganjal karena dulu pernah menolak ungkapan perasaan Ahmad. Apalagi ketika mereka bertemu, dirinya sedang bersama Nanang, smeentara Ahmad tampak sendirian. Laesti masih merasa bersalah dengan penolakan yang dia lakukan dulu.
Dan ternyata Ahmad serta Nanang dapat mengobrol rigan setelahnya, dan secara tak sengaja memosisikan Laesti sebagai Pendengar semata. Dan betapa lucunya, Nanang dan Ahmad bahkan begitu excited bertukar nomor telepon.
Laesti baru merasa agak lega, ketika ada Seseorang yang memanggil Ahmad. Seorang Wanita berpenampilan bersahaja yang baru saja keluar dari arah rest room, yang kemudian disambut Ahmad dengan tatap mesra dan senyum hangat, lantas diperkenalkan oleh Ahmad sebagai Istri yang baru dinikahinya dua bulan sebelumnya.
Sontak, Laesti merasa ada ganjalan yang terangkat. Mendengar hal itu
Dia langsung mengulurkan tangan dan mengucapkan selamat kepada mereka berdua. Demikian pula halnya dengan Nanang yang kemudian membisikinya, “Semoga kita secepatnyamenyusul Kawan lamamu ini.”
...
“Kak Laesti, sekali lagi aku minta maaf, ya.”
Laesti tersentak.
“Ehhh..., minta maaf atas apa? Kamu nggak salah sama sekali. Itu hanya proses. Belum rejekinya, Fahri. Mungkin itu juga pertanda bahwa kamu akan diberikan kesempatan yang lebih baik, ke depannya.”
“Amin,” sahut Fahri secepat kilat.
Kini Laesti yang merasa gentar.
Lebih baik? Apakah yang ditawarkan oleh Ahmad lebih baik? Sudah jelas nggak lebih baik! Tapi kata penutup dia sewaktu menghubungiku dan menanyakan apakah aku masih membutuhkan lowongan kerja untuk Fahri, memang mengusikku. Dia bilang, tempatnya bekerja itu memang sedang butuh cepat, dan ada sejumlah Orang yang juga merekomendasikan Kenalan, Saudara, maupun Teman mereka. Dia nggak mendesakku, tetapi itu sama saja isyarat bahwa dia nggak bisa menjamin kesempatan itu akan tetap ada kalau nggak segera dijemput, pikir Laesti dalam bimbang.
“Kak, bagaimana kalau kita lanjutkan obrolannya di rumah nanti? Aku tadi meninggalkan Teman-temanku di meja makan. Aku nggak enak hati sama mereka kalau kelamaan perginya. Atau, ada hal lan yang ingin Kak Laesti sampaikan ke aku?” tanya Fahri hati-hati.
“OH, sekarang Kak Laesti yang harus minta maaf sudah menganggumu. Sudah, kamu kembali dulu ke Teman-temanmu. Nanti malam kita bicara di rumah. Ada yang kepengen Kak Laesti bicarakan ke kamu juga, dan oerlu pendapat kamu.”
Fahri tersenyum.
Pasti Mas Nanang sudah mendesak lagi untuk menikahi Kakakku ini. Ah, itu sih nggak terlalu perlu pendapatku, Kak. Dari dulu pendapatku sama. Kak Laesti hanya perlu memantapkan hati Kak Laesti. Aku sangat setuju. Jangan sampai membuat Mas Nanang menunggu terlalu lama lagi. Dia Pria yang baik, Kak. Kalau Kak Laesti memikirkan aku terus, yang ada aku yang merasa makin bersalah. Aku kok jadi menghambat jodoh Kakakku saja dengan status Pengangguranku ini, kata Fahri dalam hati.
“Siap Kak. Tapi beneran nggak apa, kalau aku tutup dulu teleponnya?”
“Nggak apa. Nah, lanjutkan acar makan siangnya. Kak Laesti juga mau pesan makanan nih. Ingat, kamu langsung pulang dan istirahat. Nggak usah ke tempat pencucian sepeda motor.”
Fahri berpikir sebentar sebelum menjawab, “Oke Kak.”
Usai mengakhiri pembicaraaan melalui telepon itu, perasaan Fahri sedikit lega.
Dia berjalan mendekati Melna dan Imran.
“Beres?” tanya mereka.
Fahri mengiakan.
“Kakakku bisa memahami.”
“Aku senang mendengarnya,” cetus Melna.
“Pokoknya kita bertiga tetap semangat, ya. Dan tetap berusaha. Kalau nanti aku sampai terpaksa dan sudah mentok mencari pekerjaan lewat jalur independent begini tetapi belum kunjung membuahkan hasil, sepertinya aku mau sedikit merendahkan hati deh,” kata Imran setengah bergumam.
“Bergabug sama perusahaan Pamanmu?” tanya Melna.
“He eh. Untuk cari pengalaman dan hitung-hitung belajar.”
“Itu juga bagus Kok, Imran. Nggak ada salahnya,” sahut Fahri.
Ya. Kamu beruntung masih ada Pamanmu yang mempunyai perusahaan sendiri dan menawarkan posisi yang baik pula ke kamu. Kamu layak bersyukur. Dari pada aku, kan? Pikir Fahri sedih. Namun buru-buru dia menepis aura kesedihan yang menyapa. Dia tak mau merusak momen makan siang mereka.
“Akan aku pikirkan. Dan Siapa tahu bisa menarik Kalian berdua pula setelahnya.”
“Yang penting kamu pikirkan diri kamu dulu,” sela Melna.
“Melna benar, Imran,” tambah Fahri.
Imran menangguk singkat.
Mereka melanjutkan makan siang mereka dan masih mengobrol lagi setelahnya.
Dan ketika Fahri pulang ke rumah, hatinya memang sudah sedikit terhibur. Dia sudah mulai dapat menerima ‘kekalahan’ hari ini.
*
Laesti mengangkat peralatan makan yang sudah kosong.
“Aku bantu, Kak. Kak Laesti kan pasti capek sudah seharian bekerja.”
“Nggak usah. Kamu duduk saja di situ. Sebentar lagi Kak Laesti mau ngobrol sama kamu.”
“Kalau begitu nggak usah dicuci. Aku yang cuci nanti.”
“Hm. Aku terima tawarannya.”
Laesti segera mencuci mulut dan tangannya setelah meletakkan wadah kotor ke tempat cuci piring.
“Fahri,” panggil Laesti sembari duduk kembali ke kursi semula.
Fahri mencermati raut wajah Sang Kakak.
“Ada apa Kak? Kok kelihatannya serius sekali. Ini soal..., Mas Nanang mau melamar Kak Laesti ya?” tebak Fahri, untuk mempermudah Sang Kakak membuka pembicaraan.
Laesti tertawa dan menggoyangkan tangannya.
“Bukan.”
“Lalu?”
“Eng, kamu jangan tersinggung kalau Kak Laesti malam ini mau minta pendapatmu tentang pekerjaan, ya. Tepatnya, lowongan pekerjaan yang ditawarkan.”
“Ditawarkan ke Kak Laesti maksudnya?”
Laesti disapa rasa ragu lagi.
“Kak..”
Laesti mencoba memantapkan hati.
“Bukan. Eng..., sebetulnya, buat kamu. Tapi itu juga kalau kamu mau. Karena sebenarnya Kak Laesti juga kurang setuju.”
Mata Fahri langsung berbinar mendengar ada lowongan pekerjaan yang ditawarkan kepadanya.
“Aku mau Kak. Apa pekerjaannya? Di mana? Aku harus menghubungi Siapa? Aku kirim lamaran melalui email atau bagaimana?” kejar Fahri.
Laesti sedkit menunduk.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $