Cermis ke 3 : Lift Barang Pembawa Petaka (4)

1630 Kata
Episode 4 : Lika-Liku Mencari Pekerjaan (1) “Fahri!” Terdengar Sebuah seruan kecil yang disertai dengan lambaian tangan dan seulas senyum yang menghiasi bibir Seroang Gadis. Bibir Melna. Fahri menatap lekat-lekat ke arah jendela mobil yang terbuka itu. “Melna?” Fahri terpaku sesaat. “Hei! Kamu belum pulang juga rupanya? Kebetulan sekali. Yuk, kita makan bareng,” kata Suara lainnya. Suara Imran, yang duduk di belakang kemudi mobil tersebut. “Imran?” sapa Fahri cepat. Imran hanya mengangguk kecil. Melna yang mengambil inisiatif untuk menjawab. “Iya. Ini aku sama Imran. Memangnya Siapa lagi?” sahut Melna dengan mimik muka lucu dan imut. Begitu menggemaskan. Tak heran kalau Imran terpancing untuk tertawa kecil merespons dirinya. “Ayo cepetan naik ke mobil, Fahri. Kita mengobrol sambil makan nanti,” suruh Imran sambil menghentikan kendaraan secara sempurna. Fahri belum bergeming sedikit pun. Dia bahkan masih dalam keadaan duduk sebagaimana semula, sebelum kedatangan Melna dan Imran di depan halte bus itu. Fahri tengah menerka-nerka dalam diam. Salah satu di antara mereka, atau bisa jadi keduanya, mungkin saja telah diterima. Pasti mereka mau merayakannya dan berbagai kesenangan dengan aku, mungkin sekalian buat sedikit menghibur aku dan mengurangi rasa kecewaku, pikir Fahri. “Fahriiiii! Cepetan! Mumpung Imran belum berubah pikiran dan mau traktir kita di tempat makan yang lumayan nyaman. Nanti kalau dia berubah pikiran, bisa-bisa kita cuma diajak makan di warung sederhana yang ada di pinggir jalan lho,” canda Melna. Imran tertawa menanggapinya dan menggerakkan tangan, memberikan isyarat kepada Fahri untuk segera naik ke mobil. “Ayo, Fahri, biarpun masih agak jauh waktunya menuju makan siang. Nggak masalah deh. Toh kamu juga nggak ada acara kemana-mana lagi, kan?” desak Imran seetelahnya. Fahri tak menjawab. Imran, Imran, itu barusan pertanyaan, pernyataan atau ejekan buatku? Pengangguran macam aku ada acara apa lagi memangnya? Ini saja aku sedang bingung memikirkan harus bersikap bagaimana di depan Kakakku nanti, batin Fahri getir. Dia teringat kembali, sengaja memperlambat kepulangannya ke rumah untuk memberikan waktu bagi dirinya, menerima ‘kekalahan’ yang dialaminya di hari ini. Berpikir tidak ada ruginya untuk sekadar bercakap-cakap dengan dua Kawan barunya ini dan ingin sekaligus mengucapkan selamat kepada mereka atas sukses yang mereka raih, Fahri segera bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati pintu tengah mobil. Ketika dia membuka pintu tersebut, Melna dan Imran serempak berkata, “Nah, begitu dong.” “Aku nggak ganggu kalian berdua, nih?” tanya Fahri tak enak hati. Alis Imran seketika berkerut. “Yeee...! Ganggu apaan, coba? Memangnya kami mau ngapain?” elak Melna jengah. “Ya..., takutnya..” Imran menatap kaca spion tengah sesaat lalu berkomentar, “Kamu ada-ada saja. Mengganggu apaan. Kita semua kan Teman. Kamu tahu itu.” Fahri manggut. Iya, Teman. Kita semua juga belum lama saling berkenalan, Ya karena sama-sama melamar pekerjaan di perusahana yang sama dan sudah mengikuti berbagai tahapan tes dan wawancara. Tapi aku juga nggak buta. Aku tahu kok, kamu itu naksir sama Melna, bahkan sejak awal. Kamu berusaha untuk mendekati dia, kan? Dan kamu begitu senang sewaktu tahu akhirnya hanya kita bertiga yang tersisa dari sekian banyak Kandidat, sahut Fahri. Tentu saja sekadar di dalam hati karena tidak ada alasan baginya untuk bicara secara frontal. Di matanya, Imran dan Melna itu adalah pribadi yang cukup baik, walau mereka berdua bertemu dan berkenalan dengannya dalam kondisi harus saling bersaing untuk mendapatkan sebuah kesempatan bekerja. Begitu kendaraan mulai bergerak kembali, Fahri tidak menunda untuk mencari tahu. “Ngomong-ngomong, Siapa yang akhirnya diterima? Kaluan berdua, atau Salah satu di antara Kalian?” Pertanyaan Fahri membuat Imran mengerling sesaat kepada melna, dan Melna pun membalas kerlingan itu dengan dahi berkerut. Fahri merasa reaksi Kedua kawannya ini sungguh aneh. “Eh, kenapa? Kok begitu? Aku nggak boleh tahu ya? Nggak apa deh. Tapi yang jelas, aku mau mengucapkan selamat kepada Siapa pun di antara Kalian berdua yang diterima. Syukur-syukur kalau dua-duanya.” Melna menoleh ke belakang. “Fahri, kamu ini sedang mengejek aku sama Imran?” “Apa?” “Ya pertanyaannya itu lho!” “Salahnya di mana? Bukannya aku ini mau ditraktir makan siang karena untuk merayakan keberhasilan Kalian?” Imran geleng-geleng kepala. “Tambah ngaco saja dia. Jelaskan ke dia, Melna!” Fahri mencondongkan badannya ke depan. Dia terheran. “Maksudnya bagaimana? Memang benar kan, kalian mau merayakan keberhasilan kalian dengan makan siang bersama?” Imran tersenyum miring. Melna memberi isyarat hendak bicara. Imran mengangguk dan mempersilakan. “Satu kalimat saja ya, kami berdua nggak diterima.” Fahri terperangah. “Jangan bercanda deh. Aku ikut senang kok kalau Kalian diterima.” “Iya, aku tahu hal itu. Dan aku yakin. Sayangnya, bukan aku maupun Imran yang diterima.” “Lho, lho, lho, kok bisa?” Melna mengangkat bahu. Wajahnya berubah masam ketika menyahut, “Kenyataannya seperti itu. Mau dibilang apa?” “Aku nggak ngerti.” “Fahri, tolong deh. Melna itu ngomongnya jelas. Bukan satu pun dari kami berdua yang diterima. Tapi Orang lain. Aku sama Melna memang tadi sudah sepakat untuk pulang sama-sama, terlepas apa pun hasil wawancara akhir yang kami hadapi hari ini. Dan lantaran iseng, kami berdua nggak langsung pulang setelah wawancara yang dilakukan ke kami, yang waktunya begitu singkat dan terkesan seperti formalitas supaya mungkin bisa dipertanggung jawabkan ke Pihak Management perusahaan bahwa wawancara atas kita berita benar-benar sudah dilakukan.” Rupanya Imran agak geregetan dan merasa harus memberikan penjelasan. “Terus Siapa yang diterima, Imran?” Melna berdecak gemas. “Kamu deh, Fahri. Imran dari tadi tuh sudah bicara sejelas itu, juga.” “Kok Kalian berdua terkesan kesal ke aku?” Melna dan Imran langsung tersadar. “Eh, maaf, maaf. Nggak ada maksud begitu. Cuma jujur saja, aku sama Imran itu sama kecewanya. Dan itu bukan sekadar karena nggak mendapatkan pekerjaan itu. Aku merasa sia-sia sekali waktu dan usaha yang sudah kita berikan selama prosesnya. Apa gunanya, kalau ujung-ujungnya yang diterima tetap saja yang referensi Orang dalam.” “Hah?” “Iya, dua Orang yang kita lihat itu lho, Fahri. Mengesalkan banget kan? Aku melihat mereka masih ada di situ sampai dan Melna pulang. Mereka berdua sepertinya menunggu untuk dibuatkan Offering Letter atau apa begitu. Wajah mereka cerah, sama cerahnya dengan Kepala bagian Human Resources Department. Satu-satunya yang terlihat kecewa cuma Calon User kita.” “Ck! Ck! Ck! Keterlaluan!” Melna menyahut dengan sinis, “Makanya. Itu seperti adu pengaruh antara Calon User kita dengan Si Kepala Bagian Human Resources Department. Aku pikir, Calon User kita mungkin nggak menyangka kalau akhirnya akan begini. Mungkin dari awal proses seleksi sampai sejauh ini, dia masih berpikir semua akan berlangsung secara fair.” “Iya. Aku rasa begitu. Kasihan juga. Mungkin dia juga nggak enak hati sama kita bertiga,” tambah Imran. Fahri manggut singkat. Itu sangat mungkin. Dan di saat akhir sepertinya Calon User kita sudah tahu dia bakal kalah. Entah ada persaingan macam apa di perusahaan itu. Hm, kalau begini, mungkin persoalannya bukan di aku dong. Bukan lantaran aku ini dilanda kesialan dan harus mandi kembang segala? Buktinya, Imran dan Melna juga sama-sama kecewa kok. Nggak beda sama aku, kata Fahri dalam hati. Sesaat suasana hening di dalam kendaraan. Tiga Orang yang baru saja mengalami kegagalan yang sama itu mungkin sedang merenungkan serta berusaha menerima dengan hati yang ikhlas, apa yang menimpa mereka. Fahri yang kemudian memecah sunyi itu. “Kita memang nggak bisa tahu ada apa persaingan nggak sehat apa di dalam suatu perusahaan sebelum kita sendiri terjun ke dalamnya. Ya tapi di balik semua kejadian ini, toh tetap ada yang patut kita syukuri.” Melna memalingkan wajahnya kepada Fahri dan bertanya, “Apa?” “Ya kita terhindar dari kemungkinan yang buruk lagi. Bayangkan, kalau kita diterima, lalu kita berada di bawah komando Seseorang yang kurang punya kekuasaan dan nggak bisa memperjuangkan kita, apa jadinya kita? Kita sudah bekerja secara total, bisa-bisa nggak dihargai. Dan kalau memang ada sentimen pribadi dari Orang HRD itu, bukan hanya Calon Atasan kita yang dipersulit, bisa jadi satu tim. Dan kita termasuk di dalamnya.” “Analisamu ada benarnya.” Imran menoleh sejenak. “Kamu keren, Fahri. Dalam keadaan macam ini saja kamu masih bisa berpikir sepositif itu.” “Ah. Enggak juga.” “Tapi Imran benar, Fahri.” Fahri tertawa tanpa suara. “Nah, rumah makannya sudah terlihat. Hari ini kita bersenang-senang sesaat, mengobrol hal lain di luar urusan mencari pekerjaan. Besok baru kita pikirkan untuk mencari lowongan pekerjaan baru. Yang penting, kita bertiga tetap saling menyimpan nomor telepon satu sama lain, ya? Setuju, kan Fahri?” tanya Imran. “Tentu saja.” * Pada saat mereka bertiga sedang menikmati makan siang mereka yang kepagian, telepon genggam Fahri berbunyi. “Angkat saja. Siapa tahu penting. Siapa tahu ada tawaran pekerjaan,” suruh Imran kala melihat keraguan di wajah Fahri. “Serius nggak apa-apa kalau aku terima?” “Santai saja. Kamu ini sperti makan siang sama Siapa,” sahut Melna. “Oke kalau begitu.” Fahri menatap layar telepon genggamnya. Seketika dia dilanda resah. Hatinya juga rusuh menatap nama Orang yang menghubunginya. Diletakkannya kembali sendoknya yang berisi makanan, setelah sekian detik sendok itu nyaris melayang di udara. Imran dan Melna saling berpandangan. “Kenapa dia? Apa jangan-jangan dari perusahaan yang tadi?” bisik Melna lirih. “Mungkin. Dia jadi nggak enak hati karena sudah telanjur mengisyaratkan merelakan pekerjaan itu beberapa saat lalu. Tapi mungkin sekarang ditawarkan kembali ke dia.” Sahutan dari Imran tak kalah lirihnya. “Iya dia nggak enak hati sama kita. Mungkin terjadi sesuatu sehingga keputusan berubah did alam perusahaan itu,” bisik Melna lagi. Imran mendongakkan wajahnya, menatap lurus kepada Fahri. “Fahri, kalau kamu merasa perlu untuk menerima di tempat lain karena nggak mau terdengar sama kami, nggak masalah. Kamu bisa tinggalkan dulu mejanya sebentar lalu nanti kembali lagi,” saran Imran bijaksana. Fahri semakin tersudut mendengar perkataan Imran. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN