Episode 11 : Di Balik Senyum Suster Priska
Seketika Gadis itu terbengong.
Ia sampai mengucek-ngucek matanya, tidak percaya dengan apa yang terpampang di di luar sana. Ini sangat mustahil baginya! Sangat tidak bisa dipercaya dan seperti memutar balikkan fakta saja, menjungkir balikkan logika yang dia miliki.
Chika tak hendak membantah, dia mulai merasa gemas dengan kenyataan ini. Sampai-sampai dia menyangsikan dirinya sendiri dan mulai mempertanyakan di dalam diam, mana yang sebenarnya nyata dan mana yang hanya merupakan ilusi belaka, apa yang tengah disaksikannya saat inikah, atau justru yang kemarin-kemarin tak sekadar dia lihat, namun juga dia alami secara langsung?
Chika mengembuskan napas kuat-kuat, sudah mirip sebuah dengkusan kesal saja.
Pasalnya, sejauh mata memandang, tidak ada koridor yang pernah tiga kali dilihatnya itu. Dan bahkan bila diingat-ingat lagi secara lebih saksama, bisa jadi mungkin lebih dari tiga kali dia melihatnya sebelum ini.
Chika sendiri juga sedang tidak berminat untuk menghitungnya saat ini. Pikirannya telah terlalu lelah. Hatinya juga dilanda keresahan. Kepalanya pusing bukan kepalang.
Kejadian pagi ini bukan sekadar membuat dirinya terperanjat, melainkan sudah lebih dari sukses untuk membuat perasaannya campur aduk. Sedih, bingung, takut, gelisah, prihatin, iba, terkejut hingga penasaran dan sekaligus tertekan dalam waktu yang bersamaan. Semuanya begitu kompak, berpadu menjadi satu. Menyerangnya secara bersamaan. Sampai-sampai Chika meragukan, sanggupkah dia menanggung ini semua.
Chika tak dapat mencerna perbedaan dari apa yang ia saksikan secara lisan.
Yang jelas, sekarang tidak ada koridor sepanjang itu.
Yang dilihatnya adalah tembok saja.
Benar. Tembok berwarna putih bersih, khas rumah sakit, yang berada tepat di sebelah tangga. Sungguh, ini sangat tak masuk akal baginya.
Dahi Chika langsung mengernyit sempurna.
Alangkah sulit baginya untuk memercayai apa yang terlihat itu.
Dia berdecak gemas sekarang, lantaran tak tahu harus protes kepada Siapa atas ‘gangguan’ yang berturut-turut datang padanya selama berada di rumah sakit tersebut.
Suster Priska memergoki tindakan Chika.
“Ada apa, Mbak?” tanya Suster Priska.
Dia tetap memperlihatkan kesabaran, walaupun mungkin tak habis pikir mengapa Chika harus berdecak.
Chika memalingkan wajahnya.
Mulanya dia agak ragu untuk bertanya, namun desakan dari dalam hatinya terus mendorongnya agar segera bicara.
Ini saatnya, Chika. Pas sekali waktunya. Sekarang atau tidak sama sekali. Kalau tidak kamu cari jawabnya sekarang, bisa-bisa setelah pulang ke rumah juga kamu bakal terus dihantui oleh perasaan tak nyaman ini, sebuah Suara bagai hinggap di kepalanya, memprovokasinya untuk segera bertindak, melakukan aksi.
“Itu..,” kata Chika tersendat.
Suster Priska mengikuti arah pandangan Chika.
“Itu apa, Mbak Chika?” tanya Suster Chika.
Sepertinya dia berpikiran bahwa Chika belum sepenuhnya dalam mode ‘berkonsentrasi penuh’ setelah kembali ke kamar rawat Sang Ibu. Tampaknya Suster yang satu ini memang termasuk Suster yang sabar dan pengertian dalam menghadapi Kerabat dari Pasien. Dia berusaha memahami bahwa mendengar sebuah kabar duka bukanlah hal yang ringan bagi Orang Awam. Bahkan dirinya sendiri saja yang Seorang Tenaga medis, masih sering tak kuat menanggungnya, hanya saja semakin hari dia semakin dapat mengelola perasaannya dan bersikap profesional di depan Kerabat Pasien dan juga Si Pasien sendiri.
Chika menggerus sisa-sisa keraguannya.
Tak sadar tangan kirinya mengepal.
Untung saja Suster Priska tidak melihat hal itu.
“Eng..., Suster, sejak kapan ada tembok itu di sana?” tanya Chika sambil menunjuk ke arah tangga dengan sebelah tangan kanannya yang bebas.
“Tembok, Mbak?” tanya Suster Priska dengan mimik muka yang menampakkan kebingungan. Seakan-akan dirinya tengah berusaha untuk tidak mencemooh pertanyaan Chika yang dinilai mengada-ada.
Chika buru-buru mengiakan.
“Iya benar, Suster. Tembok. Ya, itu maksud saya. Tembok, dinding. Itu lho, di dekat tangga sana, kok jadi ada tembok begitu? Aneh, ya? Masa mendadak berdiri dalam satu malam? Memangnya pakai bantuan kru-nya Bandung Bondowoso?”
Suster Priska nyaris tersenyum.
Tetapi senyumnya lenyap melihat raut wajah Chika yang serius meski menyeret-nyeret nama Bandung Bondowoso segala.
Benar saja. Chika memang sungguh-sungguh menuntut penjelasan darinya. Buktinya, dia bertanya lagi kepada Suster Priska.
“Bukannya di sebelah sana seharusnya ada gedung lama?” tanya Chika lagi.
Dia kemudian mengira-ngira dalam diamnya.
Iya. Ini bukan era Bandung Bondowoso yang bisa membuat begitu banyak candi, nyaris 1000 bahkan, hanya di dalam waktu satu malam, kan? Memang betul ini jaman instan. Tapi tetap saja, sangat nggak mungkin kalau membangun tembok bisa dilakukan dalam sekejap toh? Dan mana mungkin, tanpa ada terlihat kesibukan dari Para Tukang? Nggak masuk akal! Benar-benar nggak masuk akal! Pikir Chika geregetan.
“Gedung lama?” Suster Priska mengulang kata-kata Chika, tak ubahnya Seorang Murid yang tengah didikte oleh Sang Guru.
Chika langsung menanggapi dengan sebuah anggukan mantap.
“Iya Suster. Malahan tadi malam juga saya sempat cerita kok, ke Suster siapa, gitu, yang jaga malam, di Nurse station. Saya lupa deh namanya.”
“Eng.., yang jaga malam? Siapa ya? Ada beberapa soalnya dalam setiap shift.”
“Saya nggak tahu namanya. Tapi sepertinya saya baru melihatnya.”
Suster Priska mengangguk-angguk.
“Oooh..., begitu. Mungkin Suster Azizah. Mbak Chika cerita apa memangnya?” tanya Suster Priska.
Melihat Suster Priska menanggapi dengan baik, Chika pantang untuk membuang kesempatan. Dia bersemangat membahasnya.
“Ya, mungkin. Saya juga nggak tanya namanya. Saya cerita ke Suster itu, bilang bahwa saya sering melihat Wanita hamil tua di lantai ini. Entah dia sedang menjaga Siapa-nya yang sakit dan dirawat di rumah sakit ini. Saya ingat jelas, Wanita hamil tua itu juga kelihatannya menengok entah bayinya siapa, di gedung lama itu...”
... ”Oh... itu..” sambar Suster Priska sebelum Chika usai berkisah.
Mata Chika langsung mengerjap.
Dipikirnya, dia bakal mendapatkan penjelasan yang dia perlukan saat ini. Karenanya dia tak keberatan dengan ‘interupsi’ yang dilakukan oleh Suster Priska padanya.
“Suster Priska tahu?” tanya Chika dengan nada yang mendesak.
“Eng..,” Suster Priska tampak ragu.
Chika menatap Suster Priska dengan tatapan menuntut jawaban. Mirip Seorang Debt Collector yang sudah habis kesabaran karena terlampau sering mengingatkan akan jatuh tempo tagihan tetapi diabaikan dengan berbagai sikap dan alasan.
Suster Priska tampaknya paham arti pandangan Chika.
Suster Priska menarik napas panjang.
“Begini Mbak Chika..,” kata Suster Priska setelah berdeham kecil.
“Ya? Bagaimana Suster?” sahut Chika dengan lebih bersemangat, seperti bakal mendapatkan jawaban atas semua teka-teki yang membuat kepalanya pusing ini. Kepingan-kepingan puzzle yang berantakan dan sama sekali tidak kunjung lengkap betapapun dia telah mencoba untuk mencarinya serta menyatukannya agar mendapatkan keseluruhan pemahaman.
Dan saking penasaran, Chika sampai mengabaikan fakta bahwa Suster Priska itu seharusnya segera kembali ke Nurse Station untuk mengerjakan tugasnya yang tertunda lantaran diminta bantuan untuk menemani Sang Ibu, barusan.
“Suster yang tadi pagi mengobrol sama Mbak Chika itu, Suster Azizah namanya. Suster Azizah sudah lama bekerja di sini, jadi banyak tahu sejarah rumah sakit yang baru dua tahun belakangan beroperasi ini.”
Suster Priska mengulang menyebut nama Suster Azizah, seolah-olah merasa perlu melakukannya sebab berhubungan dengan apa yang hendak disampaikannya kemudian.
“Lalu?” kejar Chika tak sabar.
Dia tidak begitu tertarik dengan nama Sang Suster yang disebutkan oleh Suster Priska. Yang dia perlukan adalah penjelasan, sejelas-jelasnya dan serinci mungkin.
Suster Priska tersenyum samar.
Entah mengapa, sebuah perasaan aneh melintas di benak Chika, mendapati senyum Suster Priska. Perasaan yang berlainan bila dibandingkan dengan saat mereka berdua bercakap-cakap di dekat ranjang Pasien tadi.
Chika merasakan d adanya berdesir tanpa Ia tahu secara pasti apa alasannya.
Senyum itu seolah menyimpan misteri.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $