Episode 1 : Kegagalan Yang Berulang (1)
Fahri melangkah keluar dari gedung perkantoran yang terletak di kawasan segi tiga emas tersebut. Gedung kokoh yang tampak angkuh dengan sekelilingnya yang melulu kaca dan menantang panas matahari, mengambil porsi yang besar dalam pemasanasan global yang kian memburuk dari waktu ke waktu.
Anak Muda itu berjalan dengan kepala yang sedikit tertunduk, menekuri langkah-langkahnya.
Bahu Fahri juga tampak turun, sementara aura kekecewaan mewarnai parasnya yang sejatinya cukup sedap dipandang mata dan cukup layak untuk dijadikan Idola Para Gadis seusianya.
Langkah kaki Fahri terlihat agak gontai, mewakili suasana hatinya yang tengah didera rasa putus asa. Pemuda ini tampak amat lesu. Tidak ada hasratnya untuk sebentar saja menoleh ke belakang. Seakan-akan kalau dia sempat menoleh ke belakang, hanya akan berpotensi membuat mentalnya semakin jatuh dan kekecewaannya akan semakin bertumpuk.
Alangkah kontrasnya bahasa tubuh yang ditampakkan oleh Fahri ini dengan ketika dirinya datang dan memasuki gedung pencakar langit itu sekitar satu jam yang lalu. Juga berbeda bila dibandingkan dengan dua kedatangannya terdahulu sebelum ini.
“Huft.”
Fahri mengembuskan napasnya disertai sebuah desahan. Seperti Orang-Orang yang hendak membuang rasa sesak yang menyenak di dalam d a d a.
Semangat Fahri sungguh-sungguh telah sirna.
Ia ingat, dia sampai rela merogoh kocek lebih dalam untuk datang kemari di kesempatan ketiga ini. Dia sengaja menggunakan jasa taksi daring agar pakaian yang dikenakannya tidak lecek dan penampilannya juga terjaga. Dia sengaja tidak menggunakan jasa Ojek Daring sebagaimana di dua kesempatan sebelumnya. Hal yang dilakukan supaya dirinya tidak tampak kumal atau lusuh dan rambutnya tidak lepek disebabkan terlalu lama memakai helem.
Tadi pagi itu dirinya sengaja mengenakan kemeja terbaik yang Ia miliki, pantolan terbaru yang ada di dalam lemari pakaiannya, serta dasi dengan corak sesuai dengan kemejanya, yang dibelikan oleh Sang Kakak, Laesti pada saat dirinya berulang tahun tiga minggu yang silam.
Tadi sebelum dirinya berangkat dari rumah, Fahri juga telah mematut diri cukup lama untuk memastikan penampilannya oke menghadapi hari yang dianggapnya super penting ini. Dia amat yakin, penampilan yang baik senantiasa meningkatkan rasa percaya dirinya, selain memberikan kesan yang baik bagi Lawan Bicaranya.
Laesti Sang Kakak juga menyemangatinya.
“Kamu pasti mendapatkan pekerjaan ini Fahri. Firasatku baik tentang hal ini. Toss dulu yuk. Lagi pula aura yang terpancar di wajahmu itu bukan seperti Orang yang baru melakukan wawancara, melainkan seperti Seorang Pegawai di level menengah lho. Semangat, ya! Aku turut mendoakanmu,” kata Laesti ketika taksi daring yang menjemput Fahri sudah tiba.
“Terima kasih Kak Laesti. Semoga saja, ya. Soalnya aku sangat membutuhkan pekerjaan ini. Aku takut, kelamaan menganggur membuat semangatku semakin turun dan otakku jadi karatan,” sahut Fahri menimpali Sang Kakak.
Laesti tersenyum dan menepuk pundak Fahri kala berkata, “Enggak mungkin otak kamu karatan. Orang kamu itu masih rajin kok mengerjakan ini itu. Kamu itu lebih cerdas daripada yang sehari-hari kerja malahan. Yakin ya, kamu akan mendapatkan yang terbaik. Sana, berangkat. Nanti sebelum wawancara, tetap berdoa dulu, memohon yang terbaik.”
“Pasti Kak. Aku berangkat dulu kalau begitu,” sahut Fahri yang segera beranjak dari hadapan Sang Kakak dan menghampiri kendaraan yang menjemputnya.
Fahri sudah mempunyai harapan yang membumbung tinggi, tadi pagi itu. Selama dalam perjalanan menuju ke kantor perusahaan di mana dirinya akan melakukan wawancara terakhir, semangatnya demikian menggebu.
Sama dengan Sang Kakak, Dia sendiri juga merasa ada firasat yang baik tentang wawancara kerja di sesi terakhir, yakni finalisasi masalah gaji dengan bagian Human Resources Department.
Fahri berangkat dari rumah dengan semangat juang yang tinggi dan keyakinan mendalam bahwa dirinya pasti akan mendapatkan pekerjaan yang dilamarnya ini. Istilahnya, dia sudah merasa 75 persen hingga 80 persen pasti diterima dan dapat segera bekerja serta menunjukkan kemampuan serta komitmennya. Lebih dari itu, dia sudah sangat tak sabar untuk mengakhiri status yang tak enak, yang disematkan kepadanya : Pengangguran.
Mendengarnya saja telinga terasa sakit, apalagi menjalaninya. Sungguh berat. Apalagi Fahri memiliki talenta yang baik di samping keahlian yang sesuai dengan berbagai Posisi yang dia lamar.
Tidak berlebihan jika Fahri merasa seyakin itu.
Sebab, tadi malam dia sengaja berdoa khusus untuk keberhasilannya.
Selain itu, di dua sesi awal, dia mendapatkan penilaian yang baik.
Pada kedatangannya yang pertama yang melulu berisi dengan berbagai tes, baik pshyco test, tes kepribadian, berbagai tes bahasa, tes kemampuan khusus yang diperlukan untuk bidang yang dia lamar serta memakan waktu berjam-jam dan membutuhkan konsentrasi penuh itu, dapat terlewati dengan baik olehnya. Semua skor atau penilaian selalu diumumkan sekian puluh menit setelahnya, yang menentukan Para Kandidat boleh meneruskan ke tahapan tes selanjutnya ataukah tidak. Dengan kata lain, rangkaian tes itu juga merupakan proses seleksi. Bila di pagi hari jumlah mereka amat banyak, semakin siang jumlahnya semakin menyusut. Dan hasilnya? Di semua tes yang dilakukan, Fahri selalu sja meraih angka tertinggi.
Tentu saja hal itu menambah rasa percaya diri Fahri. Dia sangat senang dan berharap status Pengangguran dapat segera ditanggalkannya.
Saat itu Fahri pulang dengan harapan yang besar, setelah bagian Human Resources Department melakukan wawancara awal yang sifatnya umum kepada dirinya serta sejumlah Kandidat yang tersisa. Para Kandidat yang secara sembunyi saling melirik satu sama lain, mengukur kekuatan dari Sang Kompetitor dan bertanya di dalam hati, Siapa gerangan yang akhirnya akan keluar sebagai ‘Pemenang’. Mereka juga tahu, Posisi yang tersedia hanyalah dua, sementara jumlah mereka masih cukup banyak.
Demikian pula ketika Fahri mendapatkan panggilan untuk melakukan wawancara dengan User, atau dengan kata lain, Calon Atasan Langsungnya. Harapannya membuncah lagi. Dia dapat melalui proses wawancara tersebut dengan mulus. Kala itu Fahri mendapatkan kesan bahwa Sang User terkesan padanya. Sang User melemparkan banyak pertanyaan kepadanya, sebagai pertanda ingin mengorek sebanyak mungkin keterangan yang dapat dijadikan dasar untuk menilai kualitas Fahri.
Sang User menanyakan banyak hal, dari hal-hal umum, keahlian khusus yang akan mendukung pekerjaan yang dia lamar, latar belakang keluarga, pendidikan, sampai diberikan juga studi kasus untuk mengetahui sampai di mana kemampuan Fahri untuk menganalisa permasalahan dan bagaimana Anak Muda itu mencari jalan keluar yang paling tepat serta akurat.
Sang User tampak puas. Raut wajahnya menyatakan demikian. Dan itu sungguh dapat terbaca oleh Fahri. Fahri juga dapat melihat kekaguman Sang User kala melihat deretan angka yang ada di dalam transkrip nilai Fahri.
Malahan pada kesempatan itu, Fahri juga berkesempatan bertutur tentang prestasi akademiknya selama kuliah. Tidak sekadar mendapatkan Indeks Prestasi maupun Indeks Prestasi Komulatif yang tinggi dan lulus dengan predikat c*m laude, sejumlah perlombaan yang diikuti Fahri serta kemampuannya berbicara dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis dan Mandarin sekaligus, mengundang decak kagum dari Sang User. Decak kagumn yang wajar, sebab kemudian dia mengetahui bahwa Fahri tidak pernah kursus bahasa untuk mendapatkan kemampuan itu. Fahri mengatakan bahwa dirinya yang hanya hidup berdua saja dengan Sang Kakak setelah Kedua Orang tua mereka meninggal dunia, sangat berhemat jika menyangkut pengeluaran uang.
Di saat sebagian besar Temannya memanfaatkan gawai mereka serta teknologi yang ada di dalamnya untuk sekadar eksis di sejumlah akun media sosial yang merkea miliki dan memuaskan diri menonton banyak tontonan yang kurang bermanfaat, Fahri justru memilah dengan baik informasi yang masuk kepadanya.
Fahri belajar bahasa dari channel you tube.
Dengan keterbatasan dana yang dia miliki, Fahri berusaha untuk memperkaya diri dengan pengetahuan dan kemampuan yang dianggapnya akan berperan mendukung masa depannya.
Pada kesempatan wawancara itu pula, Sang User memuji Fahri yang dinilainya rajin mengikuti seminar dan pelatihan, yang mana sebagiian besar dibiayai oleh Kampusnya karena prestasi yang dia tunjukkan.
Saat itu tatap mata Sang User menyerupai tatapan Seseorang yang tengah menemukan permata yang enggan dilepasnya. Dia bahkan sedikit melontarkan kalimat yangmembuat Fahri berbesar hati, di ujung pertemuan.
“Saya sih sudah cocok sama kamu, ya. Kamu mengatasi semua kriteria yang kami butuhkan. Kamu masih muda, tetapi wawasan kamu sangat baik. Kalau saya boleh jujur, kualifikasi kamu terlalu bagus untuk Posisi ini. Kamu juga kelihatannya masih bisa diajari banyak hal dan masih bisa jauh lebih berkembang. Kamu itu hanya perlu wadah saja, tempat yang sesuai. Di antara semua Kandidat, saya paling sreg sama kamu. Wah, saya nggak akan rela untuk kehilangan kesempatan menjadi Mentor kamu. Saya akan perjuangkan. Semoga nantinya kamu bisa menjadi Salah Satu Tim saya,” kat Sang User kala itu.
Fahri menghentikan langkahnya ketika hampir tiba di pinggir jalan raya di depan gedung.
Dia mengembuskan napas lagi.
Rasanya bebannya tak jua berkurang.
Dia masih ingat, betapa erat jabatan tangan Sang User sesaat sebelum melepas kepergiannya.
Dan Fahri juga masih ingat doanya dalam hati kala itu.
Mbak Chua ini Orangnya baik dan apa adanya. Pasti akan menyenangkan menjadi Anggota Timnya. Ah, semoga saja aku berjodoh dengan pekerjaan ini. Tadi itu dia juga tidak berkomentar mengenai kisaran gaji yang aku harapkan. Sebab memang nominal yang tertera di sana adalah nominal yang sesuai dengan besaran angka yang ditawarkan di website Perusahaan ini, batin Fahri.
Kini Fahri menatap kendaraan yang berlalu lalang di depannya.
Tangannya bergerak, melepas dasinya dan memasukkannya ke dalam saku pantolannya.
“Sia-sia,” gumam Fahri pelan.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $