Cermis ke 3 : Lift Barang Pembawa Petaka (2)

1868 Kata
Episode 2 : Kegagalan Yang Berulang (2) Fahri melangkah ke halte bus yang terdekat. Dia merasa sayang bila harus mengeluarkan sejumlah uang sebagai ongkos Ojek daring, apalagi taksi daring. Dia memandang hal itu sebagai bentuk kemewahan dan kenyamanan yang patut dihindari saat ini, di dalam kondisi yang kurang menentu, kapan dirinya akan mendapatkan sumber penghasilan yang rutin setiap bulannya. Dan bagi Seorang Fahri, itu seperti pemborosan yang harus dia elakkan. Hari ini aku belum juga mendapatkan pekerjaan yang aku incar. Ini artinya aku harus mulai berhemat lagi. Ah, kasihan Mbak Laesti yang membanting tulang demi menghidupi kami berdua. Aku ini Laki-laki tapi rasanya kok tidak berguna dan hanya menjadi beban buat Mbak Laesti saja, sesal Fahri dalam hati. Terbayang akan wajah kakak Perempuannya itu, Fahri langsung merasa tak enak hati. Dia tak tahu harus bagaimana menyampaikan keputusan dari Pihak Management Perusahaan melalui bagian Human resources Department tadi. Berpikir ke arah sana juga belum. Dirinya saja masih di ambang batas antar percaya dan tidak percaya. Kasihan Mbak Laesti. Dia pasti juga kecewa, sebagaimana halnya aku. Mungkin justru lebih kecewa dibandingkan dengan aku. Ah. Ini juga lantaran aku terlalu berharap dan seolah menjanjikan ke Mbak Laesti bahwa kemungkinan besar aku diterima. Tapi menurutku, aku nggak terlalu salah. Kan Mbak Chua juga seperti memberikan aku harapan saat itu. Tadi di awal wawancara dengan Kepala Bagian Human Resources Department juga perasaanku masih baik-baik saja. Enggak ada deg-degan. Dan tadi itu aku melihat tinggal aku, Irman sama Melna yang datang. Oh, enggak. Aku melihat ada Orang lain. Dua Orang sekaligus. Tetapi anehnya, aku nggak ketemu sama mereka di tahap seleksi yang terdahulu. Kira-kira, Siapa yang mendapatkan pekerjaan ini? Irman dan Melna? Masa sih? Nilai mereka itu terpaut cukup jauh dari aku, pikir Fahri. Saat langkahnya tiba di halte bus, Fahri duduk dan memangku sebelah kakinya. Dia adalah Orang yang mendapatkan kesempatan untuk diwawancara pertama kalinya oleh Sang Kepala bagian Human Resources Department. Usai wawancara, dia diminta menanti sebentar di ruangan rapat dan ditinggalkan oleh Si Pewawancara. Pada saat itu perasaan Fahri mulai tak enak. Tetapi dia berusaha mengenyahkan perasaan yang mengganggunya itu. Lalu ‘kabar tak menyenangkan’ itu datang. Dirinya diberitahu bahwa bukan dirinya yang terpilih untuk menempati Posisi yang ditawarkan oleh perusahaan. Ada ketidaksesuaian antara kebutuhan perusahaan dengan apa yang dapat dipenuhi oleh Fahri. Ketika Fahri hendak bertanya, Sang Pewawancara memberikan bahasa tubuh seolah waktu yang dia miliki terbatas dan tidak ada tanya jawab mengenai hal itu. Fahri tak sanggup protes. Dia hanya merasakan gamang yang menyerang, seiring dengan keluarnya dia dari ruang rapat, yang berpapasan dengan Melna. Melna mendapatkan giliran kedua untuk diwawancara. Dia sempat bertukar senyum dengan Melna. Fahri masih merasa tidak percaya dengan apa yang dia dengar dari Sang Pewawancara. Dia juga agak heran melihat Imran yang duduk di samping dua Orang yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Akan tetapi mereka tak sempat mengatakan apa-apa. Fahri bahkan masih sempat berkata, “Good luck,” kepada Imran. Ucapan yang menandakan bahwa dirinya sudah dinyatakan tereliminasi. Kening Imran berkerut seketika. Imran ingin bertanya tetapi Fahri memberi isyarat akan segera pulang. Dia tak tahu saja, memang wajar bila Imran merasa bingung. Sebabnya jelas, Fahri cukup lama diwawancarai, kurang lebih dua puluh tiga menit sebelum ditinggalkan oleh Sang Pewawancara yang kemudian masuk lagi membawa ‘keputusan final’. Dia tak menyangka kalau hasilnya akan ‘zonk.’ Satu dua bus yang memiliki jurusan menuju ke arah rumahnya melintas di depannya, meninggalkan debu yang beterbangan dan suara Sang Kernet yang berisik berteriak-teriak ‘menawarkan dagangan’nya. Fahri mengabaikannya. “Apa yang dimaksud nggak sesuai tadi, ya? Bukannya apa, aku hanya merasa sia-sia saja. Aku merasa dipermainkan, soalnya dari awal sudah lbagus hasilnya. Dan untuk bolak balik kemari juga perlu uang. Belum lagi mempersiapkan berkas yang diperlukan sebagai pelengkap. Aku juga harus mengurus Surat Bukti berkelakuan baik segala dan itu perlu waktu. Ah. Coba saja kalau dari awal aku sudah gagal dalam seleksi, nggak akan sekecewa ini aku,” gumam Fahri lirih. Selagi Fahri tenggelam dalam pikirannya sendiri, waktu terus beranjak. Fahri terkenang pada sejumlah kegagalannya dalam mendapatkan pekerjaan, yang juga telah dialaminya selepas dirinya menyelesaikan kuliahnya. Kuliah yang juga dapt dinikmati berkat otaknya yang cerdas sehingga memungkinkan mendapatkan beasiswa. Malangnya, setelah lulus dia justru kesulitan mendapatkan pekerjaan. Dia sudah rajin melamar di sejumlah situs pencari kerja. Dia juga aktif mencari informasi di sejumlah grup Pencari kerja yang ada. Di samping itu, Fahri juga tidak gengsi untuk menanyakan kepada Kenalannya dan berpesan kepada mereka untuk menginformasikan kepadanya apabila ada lowongan pekerjaan yang mereka rasa cocok untuknya. Sejauh itu, masih ada yang berbaik hati memberikan informasi kepada Fahri yang tentu ditindaklanjuti oleh Anak Muda ini. Tetapi juga tak jarang yang mencemoohnya dan menganggap dirinya tengah bercanda. “Ya masa sih, Seorang Fahri kesulitan mencari kerja?” “Eh, serius, elo belum kerja juga dari semenjak lulus kuliah?” “Jangan ngeledek deh. Minta cariin kerjaan kok sama gue. Lha gue saja begitu lulus kuliah ya terjunnya ke toko kelontong milik Orang tua gue. Gue bantu-bantu untuk pembukuannya.” “Santai dulu Fahri, kamu itu dari semenjak kuliah serius melulu. Anggap saja senang-senang dulu.” “Iya deh, nanti kalau ada dikabarin. Sekarang sih belum ada. Ya sama aku juga baru saja berhenti bekerja. Berat sih kerjanya. Seperti kerja rodi, sampai nginap-nginap di kantor saking beban kerjanya banyak dan terus bertambah. Nggak kuat badan aku. Aku mau istirahat dulu ya, lain kali kita mengobrol kalau mood aku sudah agak membaik.” “Serius kamu belm dapat kerjaan Makanya, minta gaji jangan ketinggian.” “Katanya kamu sudah sering melamar pekerjaan tapi belum juga dapat sampai sekarang? Kamu kalau pas mau wawancara, coba deh perbaiki sikap duduknya, sikap saat bicara dan sebagainya. Mungkin kamu terlihat kurang meyakinkan pada saat itu jadi nggak dipilih.” Berbagai komentar yang pada akhirnya hanyalah sekadar komentar karena perlahan satu demi satu dari yang berkomentar itu seolah sengaja menjauh, berusaha diterima Fahri dengan hati yang lapang. Kendatipun dia tahu dan mengenal dirinya lebih baik dari mereka, dia tak dapat menyangkal bahwa sesekali komentar mereka membuat dirinya merasa down. Untung saja dirinya adalah Seorang Fahri yang pantang berlama-lama dalam keadaan terpuruk. Dia selalu memikirkan Sang Kakak. Dan dia tahu, dirinya tidak berhak untuk memelihara perasaan sedih itu. Fahri selalu berusaha bangkit dari kegagalannya. Dia kembali rajin mencari informasi tentang lowongan pekerjaan yang dirasanya sesuai dengan latar belakang pendidikkannya. Dia juga tak berhenti sampai di situ. Sementara menanti ‘pekerjaan kantoran’ yang dia dambakan, dia mau bekerja serabutan. Dia mau mengerjakan apa saja. Dari memberikan les privat untuk Anak tetangga, mencuci sepeda motor di bengkel, sampai-sampai membantu apa saja. Pernah, Laesti memergoki Sang Adik tengah menyewa sepeda motor secara harian untuk dipakainya sebagai mencari pendapatan sebagai Tukang Ojek pangkalan. Dia juga kerap menawarkan diri untuk membantu mengirimkan barang buat sekitarnya yang memerlukan. Laesti yang kadang agak keberatan dan mengatakan tak seharusnya Sang Adik memilih pekerjaan yang ‘seperti itu’. “Sayang dong otak dan kemampuan kamu. Mending kamu sabar sedikit deh. Aku akan berusaha mencarikan informasi lagi. Pelan-pelan tidak apa-apa. Yang penting kamu itu berusaha.” Itu komentar dari Sang Kakak. Dan biasanya Fahri hanya tersenyum dan berkata, “Kak, kan lumayan buat uang saku aku. Juga kadang-kadang dari mengantar barang itu aku mendapatkan informasi tentang lowongan pekerjaan.” Laesti jadi menatap penuh iba mendengar alasan Sang Adik yang usianya terpaut hampir 7 tahun darinya. Dia tahu benar Sang Adik tengah menghibur dirinya sendiri. Di dalam hati Laesti, sebenarnya sangat tak rela kalau Fahri tidak mendapatkan pekerjaan yang dipandangnya baik. Dia tahu sekali Sang Adik patut untuk mendapatkannya. Sedangkan dirinya sendiri saja, yang tidak secerdas Sang Adik, cukup beruntung mendapatkan Posisi yang baik di perusahaan tempatnya bekerja. Laesti memang memulai pekerjaan semenjak dirinya baru duduk di semester satu, walau ditentang oleh Kedua Orang tua mereka hingga akhir hayat mereka. Siapa sangka, keputusan pribadinya untuk bekerja sambil kuliah itu menjadi nilai plus di kemudian hari bagi Laesti? Sebab ketika dirinya lulus kuliah, dia sudah mempunyai pengalaman bekerja yang dapat dijadikan modal untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi. Sudah begitu, Laesti ini juga cukup supel. Dia mudah bergaul. Di perusahaan tempat Laesti berkarir sekarang, karir Laesti semakin menanjak. Dia mendapatkan kepercayaan yang besar dari Si Pemilik Perusahaan karena kemampuannya yang baik dalam berkomunikasi. Ketika Orang tua mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan, Laesti langsung tampil untuk melindungi Sang Adik. Dia mengorbankan perasaannya sendiri, agar Sang Adik tidak terlarut dalam duka berkepanjangan. Lebih-lebih, saat itu Fahri baru setahun mencicipi yang namanya jadi Mahasiswa. Laesti gigih mengharuskan Fahri agar tetap kuliah, walau Fahri berkata ingin bekerja membantu Laesti. Sempat terjadi perdebatan di antara mereka, yang pada akhirnya tentu saja dimenangkan oleh Sang Kakak Sulung. Fahri menopang dagunya. Sebenarnya aku ini kenapa? Usaha mencari kerja, aku rajin. Aku juga selalu memperbaharui wawasanku. Walau belum juga bekerja di kantor semenjak lulus kuliah lebih dari dua tahun lalu, aku rajin membaca. Seingatku aku nggak pernah memperlihatkan rasa tertekan atau semacamnya ketika diwawancara. Aku juga memohon sama Yang Kuasa untuk melancarkan urusanku. Tapi sampai sekarang, ujung-ujungnya masih saja nihil. Aku belum mendapatkan kerja juga. Padahal aku sudah cocokkan kriterianya. Penyebabnya juga ada-ada saja, pikir Fahri. Di kejap ini Fahri mulai berefleksi apakah mungkin dirinya sedang sial saja? Memang tidak semua pekerjaan yang gagal didapatkannya kemudian diketahuinya eara pasti apa penyebabnya. Namun setidaknya, ada beberapa fakta yang aneh, yang setelahnya dia ketahui, baik secara selewatan atau sengaja diinformasikan kepadanya. “Fahri, maaf ya. Si Bos sebenarnya sudah cocok sama kamu. Eh tapi tahu nggak, Orang yang bakal kamu gantikan itu mendadak nggak jadi mengundurkan diri. Terus bisa-bisanya dia balik memohon untuk tetap dipekerjakan. Alasannya, dia mengajukan pengunduran diri itu supaya Si Bos tahu betapa dia dibutuhkan dan untuk menggertak Si Bos.” Yang ini adalah keterangan yang didapatkannya dari Ranty, Kenalan Sang Kakak, yang saat itu memberikan informasi lowongan pekerjaan di grup perusahaan di mana dirinya bekerja. Dan Fahri berbesar hati mengucap terima kasih serta mengatakan kemungkinan belum rejekinya dia, kala itu. “Fahri, Temanku berubah pikiran. Tadinya bilang nggak apa Calon Asisten dia itu Oran gyang baru lulus kuliah. Tapi setelahnya dia bilang pengalaman bekerja adalah syarat mutlak. Sabar ya, nanti pasti ada kesempatan lain. Mungkn belum sekarang saatnya.” Yang ini adalah perkataan penghiburan dari Nanang, Lelaki yang selama bertahun-tahun ini memacari Sang Kakak. Masih banyak hal senada yang telah dialami oleh Fahri, yang membuatnya kadang tertawa pahit dan bergumam sendiri, “Jangan-jangan aku harus mandi kembang biar nggak sial.” Perasaan getir itu kini kembali menyapanya. Dan ketika memikirkan Sang Kakak, tambah sedihlah hati Fahri. Kak Laesti semestinya sudah menikah. Kang Nanang itu malahan sudah ingin meminangnya dari tahun lalu. Tapi Kak Laesti bilang sabar dulu, sambil menunggu aku mendapatkan pekerjaan yang bagus dan sembari mereka terus menabung. Ya ampun. Aku nggak mau jadi beban buat mereka. Kang Nanang itu sudah sabar menunggu. Dia juga baik sama aku dan malah berkata bahwa aku sebaiknya ikut mereka saat mereka sudah menikah, dan rumah tempat tinggal kami sebaiknya dikontrakkan agar ada pemasukan. Dia bilang, uang hasil kontrak rumah kan bisa untuk biaya kalau aku mau kuliah lagi atau bagaimana, pikir Fahri. Fahri tersenyum kecut mengenang hal itu. “Jangan-jangan aku memang harus diruwat nih,” gumam Fahri lirih. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN