Episode 12 : Mistei Tetaplah Misteri
Dan sebelum dia bereaksi atas perubahan tersebut, sudah terdengar suara Suster Priska.
“Karena saya datang jauh lebih awal sebelum pergantian shift, Suster Azizah sempat cerita ke saya, sebelum serah terima tadi pagi. Kebetulan pagi ini memang agak santai. Maksud saya, sebelum ada kejadian Nenek Yunita anval.”
“Ya, lalu?” kejar Chika tak sabar.
“Mbak, sebaiknya dilupakan saja, apa yang Mbak lihat, atau dengar. Tenang saja, tidak ada apa-apa, kok. Memang, ada beberapa Orang, yang juga mengalami apa yang Mbak alami,” terang Suster Priska. Dia tampak sangat berhati-hati memilih kata serta mengucapkannya, seolah sambil menyelami perasaan Chika.
Lantas Suster Priska menepuk pundak Chika.
Anehnya, tepukan di pundaknya itu bukannya mendatangkan rasa tenteram di hati Chika, akan tetapi justru membuat Chika gemetaran. Dia merasa ada yang aneh dengan Suster Priska, namun tidak dapat menerjemahkan apa gerangan yang aneh itu.
“Maksudnya? Maksudnya bagaimana Suster?” Chika terlonjak kaget.
Ekspresi wajah Chika benar-benar sudah tidak karuan saat ini.
Suster Priska sudah akan berlalu dari dekat Chika, tetapi lekas dicegah oleh Chika. Dibentangkannya sebelah tangannya tepat di depan tubuh Suster Priska untuk menghalangi pergerakan Sang Suster. Sepertinya dia tidak terima dibuat penasaran begini.
“Suster Priska, itu.., itu..., rumah sakit ini baru dua tahun beroperasi? Maksudnya bagaimana? Coba diperjelas. Jangan seotong-sepotong ceritanya Suster. Saya nggak mau menebak-nebak sendiri. Jadi... gedung lama, yang bekas Rumah Sakit Ibu dan Anak itu, dirobohkan? Bukannya disambungkan ke gedung baru ini?” kejar Chika.
Sekarang Chika bahkan nekad mencekal lengan Suster Priska, demi memastikan agar Suster tersebut tidak pergi meninggalkannya sebelum rasa penasarannya hilang.
Suster Priska memejam mata. Seolah dia sudah terlalu lelah dirongrong pertanyaan dari Chika.
Dia memang baru setengah tahun bekerja di rumah sakit ini.
Namun kurun waktu yang baru setengah tahun itu, sudah lebih dari cukup baginya untuk mendengar sejumlah cerita seram perihal berbagai penampakan yang dialami oleh para Rekan kerjanya dan Para Pengunjung, terutama, para Pasien, maupun Kerabat yang menjaga Pasien.
Dan sejatinya dia sendiri pun pernah melihat hal-hal yang ganjil dan sulit diterima oleh akal sehat, tetapi dia memilih untuk senantiasa membentengi dirinya dengan selaksa doa.
Kadang-kadang, timbul juga rasa takutnya, terutama jika harus mendapatkan shift malam, terlebih pada malam Jumat Kliwon yang konon merupakan saatnya ‘mereka yang berbeda alam’ unjuk gigi, memperlihatkan eksistensinya dan ‘dengan sengaja ‘melintas’. Seakan ada area yang saling beririsan antara dunia mereka dengan dunia manusia sehingga memungkinkan hal itu terjadi.
Suster Priska berdeham.
“Mbak Chika, sebaiknya dilupakan saja ya, semuanya. Yang penting, Bundanya Mbak Chika kan sudah sehat sekarang. Fokus untuk terus menjaga kesehatan Bunda saja, ya,” kata Suster Priska sembari menatap lengannya yang masih dicekal oleh Chika. Seolah-olah itu adalah kode keras supaya Chika segera melepaskan cekalan tangannya.
Namun Chika tidak peduli.
“Suster, tolong jawab saya. Ini dulunya, bekas Rumah Sakit Ibu dan Anak? Lalu, kenapa semua yang saya lihat beberapa hari ini tampak demikian nyata? Saya bahkan mengobrol dengan Suster yang berjaga di sebelah sana, yang menjaga di kamar bayi. Suster itu pula yang bilang ke saya bahwa gedung lama terhubung dengan gedung baru,”cerocos Chika tak puas.
Sekali lagi Suster Priska enggan berkomentar. Namun melihat sorot mata menuntut penjelasan yang terbias di mata Chika, dia merasa kasihan juga. Dia berusaha untuk memahami apa yang dirasakan oleh Chika.
Ia mengembuskan napas sepelan mungkin agar tak terlihat bahwa dirinya sudah mulai kesal dan merasa terjebak harus meladeni kecerewetan Chika.
“Mbak, sebetulnya ini bukan wewenang saya untuk menjawab.”
“Nggak apa, Suster. Tolong, katakan saja,” desak Chika yang mulai tak tahu diri.
Nyaris Suster Chika menggeleng gemas, tetapi ditahannya gerakan itu agar tak membuat Chika meerasa tersinggung.
Ia melanjutkan keterangannya karena sudah merasa kepalang tanggung.
“Tetapi yang saya dengar, rumah sakit ini memang dibangun dari awal, kok. Sedangkan bekas bangunan Rumah Sakit Ibu dan Anak yang Mbak sebut-sebut itu, sudah tidak ada lagi. Lahannya kan sudah dijadikan taman dan tempat parkir, Mbak,” jelas Suster Priska, mencoba untuk berkata-kata sesabar mungkin.
Mendengar penjelasan Suster Priksa, Chika merasa lututnya mulai lemas, berdirinya juga goyah.
“Maksudnya..., Suster di gedung lama itu, gedung lamanya juga..., nggak nyata? Begitu?” tanya Chika ngeri.
Suster Priska diam, bertahan untuk tidak menjawab.
“Dan satu hal lagi, Suster Priska! Soal Wanita hamil tua yang kerap saya lihat itu, masakan itu pasien dari Rumah Sakit Ibu dan Anak yang lama itu? Nggak mungkin, dong!”
Suster Priska menahan napas mendengar Chika masih saja mempermasalahkan hal yang sama.
“Asal Suster Priska tahu, Bunda saya juga melihat Wanita yang saya sebut itu masuk ke ruang perawatan dan itu membuat Bunda saya sangat ketakutan. Makanya tak heran, Bunda saya nggak mau saya tinggalkan sendirian di dalam kamar. Lalu..., tadi pagi itu, dia datang lagi, berdiri lama di sisi pembaringan Almarhumah Nenek Yunita,” ungkap Chika.
“Seperti..., seperti..., mau menjemput?” Chika setengah bergumam.
Dan dia merasa takut dengan pemikirannya sendiri.
“Mbak Chika. Sudah, Mbak. Jangan dipikirkan lagi,” saran Suster Priska. Suaranya melembut kembali. Sepertinya dia tahu betapa perasaan Chika terguncang saat ini.
Di luar sepengetahuan keduanya, Suster Ghea melangkah cepat dari Nurse Station, karena melihat Rekan kerjanya tertahan lama di depan ruang perawatan. Dia bertanya-tanya dalam hati, ada apa sebenarnya. Dan sungguh tak elok jika dia meneriaki Suster Priska. Maka pilihan satu-satunya tentu saja menghampiri mereka.
Sementara itu, Ibu Sarwendah juga sudah memanggil-manggil Chika.
“Chika, kok lama sekali? Kamu ngobrol sama Suster kelamaan nanti ganggu waktunya Suster lho,” seru Sang Bunda dari atas pembaringannya.
Chika menahan napas, mengira-ngira di dalam diamnya, adakah Bundanya mendengar secara utuh segenap pembicaraannya dengan Suster Priska barusan. Betapa dia berharap Sang Bunda tidak mendengar secara utuh terlebih karena dia juga berbicara dengan suara pelan.
“Sebentar, Bunda, sebentar,” seru Chika membalas Sang Bunda.
Dia sedang berusaha keras untuk meredakan gejolak perasaannya.
“Ada apa, Pris? Mbak Chika, ada apa?” tanya Suster yang tahu-tahu sudah berdiri di depan mereka.
Chika malahan menganggap hal ini sebagai celah untuk menuntaskan rasa ingin tahunya. Pikirnya, siapa tahu Suster Ghea bisa menjawab secara gamblang, bukan seperti Suster Priska yang cenderung memintanya untuk melupakan apa yang dia alami.
“Ah! Kebetulan! Suster Ghea, saya mau tanya tentang Wanita hamil yang...”
.. ”Mbak Chika, sudahlah!” potong Suster Priska cepat. Seolah-olah, bahasan tentang Wanita hamil yang disinggung-singgung oleh Chika, membuat batinnya sungguh tersiksa.
“Wanita hamil?” tanya Suster Ghea.
Kening Suster Ghea langsung berkerut.
“Iya, Suster Ghea. Pasti deh, Suster Azizah juga sudah bilang, kan? Saya..., aduh! Pokoknya saya mengalami kejadian yang aneh, selama berada di rumah sakit ini. Saya dikasih lihat gedung tua, lalu saya juga mengobrol sama Suster yang ternyata juga nggak nyata. Aduh, pokoknya semua itu membuat kepala saya seperti berputar. Pusing tujuh keliling. Masa sih, saya sekadar berhalusinasi? Saya ini, bukan termasuk Orang yang peka, kalau menyangkut soal-soal seperti itu. Semua teman saya bilang begitu, kok. Tapi kenapa, semua yang saya alami, dengar, lihat dan rasakan selama di rumah sakit ini terasa begitu nyata? Ini..., saya sebenarnya waras atau nggak, sih?” tanya Chika panjang lebar.
Usai mengungkapkan kalimat super panjang itu, mendadak badan Chika merosot. Dia terduduk di lantai keramik.
“Mbak Chika! Mbak Chika nggak apa-apa? Bangun, Mbak! Mari saya bantu,” Suster Ghea dan Suster Priska bergegas memegangi tangan Chika, membantu Gadis itu berdiri kembali.
Ibu Sarwendah mendengar suara Suster Ghea.
“Chika! Chika! Kamu kenapa?” teriak Ibu Sarwendah dari dalam kamar lantaran mendengar suara gedabruk dan disambung dengan seruan Suster menyebut nama Sang Putri.
Ada keterkejutan serta panik yang terkandung dalam suara Ibu Sarwendah.
Suster Priska menyempatkan melongokkan kepalanya ke dalam.
“Tidak apa-apa, Bu. Mbak Chika ini kelihatannya kecapekan. Mungkin karena terlalu banyak begadang selama menjaga Ibu,” kata Suster Priska, setengah berteriak, demi menentramkan perasaan Ibu Sarwendah.
“Tolong dibantu, Suster,” seru Ibu Sarwendah. pula
Walau berusaha tenang, hati Ibu Sarwendah kebat-kebit juga memikirkan Sang Anak. Dia menyesal, karena secara langsung, bergadang-nya Chika ya karena menunggui dirinya.
“Bunda, aku enggak apa-apa. Aku cuma agak lemas,” teriak Chika dari luar, untuk meredam kekhawatiran Ibu Sarwendah.
“Suster, boleh tolong terus terang Dari pada saya penasaran begini. Rasanya hampir gila, menyambung-nyambungkan semua kejadian ini,” keluh Chika memelas. Suaranya begitu lirih, bagaikan sebuah bisikan saja.
Suster Ghea menatap penuh iba pada Chika. Dia saling pandang dengan Suster Priska. Suster Priska akhirnya mengangguk, meski dengan berat hati. Terlihat sekali ekspresi wajahnya yang amat tertekan.
“Nggak apa, deh, kan Mbak Chika sudah mau balik ke rumah hari ini,” bisik Suster Ghea.
“Oke kalau menurutmu begitu.”
Suster Priska mengembuskan napas perlahan.
“Ya sudah. Jadi begini Mbak, saya sih nggak tahu, keterangan saya ini ada hubungannya dengan apa yang Mbak ingin ketahui ada enggak. Tapi saya bisa memahami, rasa penasaran Mbak. Jadi..., sebetulnya, ruang bersalin dari rumah sakit ini, memang ada di lantai ini..,” kata Suster Priska.
Chika terperangah.
“Hah? Jadi?”
Chika merasa badannya gemetaran lagi. Kali ini getarannya jauh lebih kuat dan lebih lama dibandingkan dengan yang tadi.
“Eng.., jadi dua bulan lalu, ada Serang Pasien yang meninggal, pada saat dia melahirkan secara normal..,” kata Priska sehati-hati mungkin.
“Jadi.. jadi...” kata Chika tersendat.
Kini yang dirasakan Chika tak lain pandangan matanya yang berkunang-kunang. Lantas entah bagaimana caranya, wajah Suster Priska maupun Suster Ghea tampak semakin memucat saja di depannya, dan bibir mereka juga tampak kian membiru. Rambut mereka, yang semula diikat dan diselipkan ke balik penutup kepala khas Perawat, mendadak terurai. Dan wajah mereka berdua..., menyerupai Wanita hamil tua itu, mirip sekali!
Chika merasa pandangan matanya kian memburam, kesadarannya semakin menurun, lantas dia merasa semuanya gelap, pekat, dan yang sempat didengar olehnya adalah teriakan panik . Namun dia tak dapat membedakan, apakah itu Suara Suster Priska, Suster Ghea, ataukah Suara Sang Bunda.
Chika merasa semakin jauh dan semakin jauh, memasuki sebuah lorong yang gelap, seolah ada kekuatan besar yang menariknya, sementara dia tak punya daya sedikit saja untuk melawan.
**
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $